Aku gatau apa masih ada feel-nya. Tapi semoga nggak terlalu buruk ya ;)
***
Sepulang dari rumah sakit tadi siang, Laven memang tak keluar dari kamar. Sosoknya lebih memilih berbaring, mengatakan berniat tidur karena sedikit mengantuk saat Nanta menyusulnya. Bahkan, Laven sengaja mengabaikan Panca yang betah berjam-jam berada di rumahnya. Suara Panca dan kakaknya itu acapkali terdengar dari kamarnya, membuat sosoknya menduga jika tidak hanya belajar sebagai keperluannya.
Barulah menjelang ashar, tak ada lagi suara tawa, canda, ataupun riuh yang terdengar. Dari sana, Laven bisa menyimpulkan bahwa mungkin saja Panca sudah pulang. Nahasnya, Laven justru baru merasakan kantuk setelah membuang hampir dua jam lamanya hanya untuk memejamkan mata dengan kesadaran yang mengantarkannya untuk meresapi kejadian-kejadian yang baru-baru ini menimpanya.
Suara handle pintu yang ditarik pertanda akan dibuka membuat sosoknya mempertahankan posisinya, seolah memang tengah tidur. Hingga kemudian, bed miliknya terasa bertambah bebannya, dan pelukan seseorang dari belakang itu dapat Laven rasakan.
"Udah mau ashar."
Laven membuka kelopak matanya perlahan, mengubah posisinya menjadi telentang, membuat pelukan Nanta mengendur dan akhirnya terlepas. "Aku udah bangun. Tapi masih ngantuk, Kak."
"Tumben lama. Nanti malem kalau susah tidur gimana?"
Laven menoleh, menghadap wajah yang lebih tua yang mungkin tengah menunggu jawabannya. Namun, alih-alih membalas dengan jawaban yang diharapkan, sosoknya justru memutar halauan ke topik yang lain. "Panca udah pulang?"
Nanta balas mengangguk, "Barusan, belum lama."
Secara bertahap, Laven bangkit dari pembaringannya, duduk beberapa saat sebelum akhirnya meinggalkan bed-nya. Daripada membasuh wajahnya terlebih dahulu, sosoknya langsung memilih mencari pakaian ganti, memutuskan langsung mandi meskipun tubuhnya agak sedikit kedinginan. Sedangkan, baginya mandi dengan air hangat justru meninggalkan rasa yang lebih dingin setelahnya nanti.
Keluar dari kamar mandi, manik mata kelam sosoknya memendar. Nanta yang tadi membangunkannya justru berbaring memungunggi arahnya. Entah apakah kakaknya itu benar-benar memejamkan matanya atau hanya berbaring menunggunya saja. Maka, untuk melihat lebih jelasnya, Laven yang masih mengenakan bathrobe miliknya kini melangkah mendekat.
"Udah?"
"Giliran kakak, biar nggak ngantuk."
"Mana ada ngantuk." Nanta bangkit, melenggang pergi ke kamar mandi hanya dengan membawa handuk. Sebagai sosok yang cukup pengertian, Laven justru menyiapkan pakaian ganti yang lebih tua terlebih dahulu sebelum mengganti bajunya sendiri.
Melihat ponselnya yang terakhir kali ia buka untuk menelepon Panca, sosoknya kini beralih mengambilnya. Dan, satu pesan dari Nalendra lah yang kini menarik perhatiannya.
Kak Lendra
 ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄
Assalamu'alaykum
Dek? Kalau boleh,
kakak mau telfon..12.19
Salam itu Laven jawab dalam hati. Bahkan, kalau saja tak teringat akan mama yang kemungkinan besar tengah berada di dekat kakaknya, Laven berinisiatif untuk menelepon lebih dahulu.
Kurang lebih, ia tahu apa yang akan Lendra katakan, dan ia sendiri pun juga menyimpan pertanyaan.Laven
 ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄
Kak Lendra bs telp klo
mama lg nggak di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lavenario
General FictionTak ada yang istimewa dari kisahnya. Sebut saja ia terlalu pasrah menerima. Kalau ada kata 'berjuang,' maka perjuangannya hanyalah tentang bagaimana caranya bertahan. Emosinya selalu ia pendam. Kalau pun tidak, maka orang lain hanya boleh melihat em...