Bagian 38

302 33 16
                                    

Kacau. Laven menyerah mendengar perdebatan yang kian pecah. Bahkan, baik ayah maupun mama sibuk dengan argumennya masing-masing tanpa memberi perhatian pada dirinya yang sudah kacau balau jiwa raganya. Suara bunda yang hendak menengahi lenyap begitu saja, bagaimana dengan suaranya yang bahkan hanya terdengar seperti rintihan?

Ya. Hal yang sedari dulu Laven takutkan terjadi. Bagaimana ketika ayah dan mama terlibat obrolan yang menyinggung masa lalu, pasti akan ada keributan yang terjadi. Laven tak kaget jika mama bisa semarah ini, tapi dengan ayah yang juga tersulut emosi? Baru kali ini ia melihatnya. Takut. Rasanya takut melihat ayah yang biasanya tegas tapi tetap tenang menjadi di luar kendali. Nada bicara ayah bahkan meninggi, dengan raut wajah yang tegas bercampur amarah yang tak mau mengalah.

Maka mengabaikan hal yang terjadi di ruang tengah, pun dengan Oma yang sepertinya sudah angkat tangan dan memilih diam menyaksikan, Laven bangkit dan setengah berlari menuju kamarnya.

Kunci pintu yang tergantung itu ia fungsikan untuk mengurung diri. Cukup sudah pening di kepalanya yang kian bertambah rasanya setelah mendengar adu mulut dua orang tuanya. Setelah melihat secara nyata, sepertinya perpisahan memang menjadi keputusan yang tepat untuk ayah maupun mama.

Kini yang ia lakukan adalah menangis di pojok kamar dengan posisi duduk meringkuk memeluk lututnya sendiri. Itu yang Laven lakukan sebagai simbol keputusasaan dan kepasrahan yang ia rasa sudah menjadi satu-satunya pilihan. Perutnya begitu perih, hatinya merintih. Belum lagi rasa mual dan pening yang terus beriringan ingin timbul mendominasi. Kalau saja bisa muntah sekalian, maka rasa lega itu bisa ia dapatkan. Tapi, bagaimana jika mual itu seolah mempermainkannya dan menyita kekuatannya?

Ketukan pintu yang terdengar pelan membuat sosoknya mendongak. Tapi, tak begitu tertarik karena sudah tak punya tenaga lebih membuat sosoknya abai. Hingga entah sudah berapa lama sebab kesadarannya sudah tak sempurna, suara pintu terbuka dapat membuatnya tetap terjaga.

Kelopak matanya sudah membuka-menutup secara berkala. Kini, yang dapat ia lihat dengan cukup jelas ialah keberadaan mama dengan suara panik yang berulang kali memanggilnya sebelum teriakan mama yang memanggil ayah menggelegar terdengar.

"Mana yang sakit? Laven tetep buka mata ya, Sayang. "

Tepukan halus mama dengan perintah agar ia tetap membuka mata berusaha ia wujudkan. Meski tak bisa dipungkiri rintihan yang awalnya hanya dalam batin kini bahkan tertangkap indra pendengarannya sendiri.

Hanya dalam hitungan detik ayah sudah berada di sisinya. Mungkin ayah memang sudah di depan pintu setelah memberikan duplikat kunci untuk mama, itu yang terbesit di pikirannya yang syukurnya masih bisa bekerja.

"Ambil kunci, kita ke rumah sakit."

Laven tak bisa melihat secara jelas. Hanya saja ia bisa merasakan jika tubuhnya terangkat dalam gendongan ayah. Ingin ia menolak karena sungguh ia benci jika harus ke rumah sakut. Namin, apa daya jika untuk memastikan pasokan oksigen keluar masuk dengan semestinya saja ia tak bisa.

"Mobilku di luar. Ayo cepat, Mas!"

Dalam pemglihatannya yang sudah mengabur, Laven bisa melihat jika mama berjalan membersamainya. Suara mama yang menyuruhnya untuk tetap membuka mata dan usapan lembut tangan mama di pipinya masih bisa ia rasakan.

"Tidurkan di sofa dulu."

Sayup-sayup suara yang Laven kenali sebagai suara Oma berhasil membuat tubuhnya merasa tergeletak di lembutnya papan.

Lega. Laven lega luar bisa saat udara pernafasannya kembali ke dalam mode normal. Kelopak matanya juga sudah bisa terkontrol untuk tetap membuka berkat rangsangan sentuh dan suara dari mama.

LavenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang