"Laven, mau pulang?"
Mendengar namanya disebut, Laven menghentikan langkahnya. Cowok itu berbalik arah, mendapati Lendra tengah melangkah di belakangnya. Tak menunggu lama, keduanya sudah berjalan bersisian.
Laven balas mengangguk singkat. Cowok itu sudah berniat untuk menanyakan balik, tetapi urung. Dari gerak-gerik kakak kelasnya sudah terlihat; Laven pikir pertanyaannya akan terkesan tak penting. Jadi, keduanya hanya jalan beriringan dalam diam.
"Dijemput siapa, Dek?" Lagi-lagi Lendra yang memulai. Laven menoleh, masih diam tak langsung memberi jawaban. Ada desiran tak biasa yang bisa Laven rasa. Prasangkanya mengatakan jika hal itu terasa sebab ia tak biasa menerima. Belum ada satu pun kakak kelas, baik itu cowok maupun cewek sekalipun yang memanggilnya demikian. Akan tetapi, menilik bagaimana tutur kata dan sikap kakak kelasnya, Laven pikir itu hal yang lumrah.
Kadang, untuk seseorang yang berperilaku demikian, Laven jadi ingin tahu bagaimana pola asuh orang tua yang bersangkutan. Dalam pikirannya, apa iya keluarga lengkap, tentram, dan nyaman menjadi kuncinya? Laven pikir juga tidak. Mungkin memang memengaruhi, tapi bukan sebagai kunci; Nanta sebagai contohnya. Nanta itu baik, justru kelewat baik jika padanya. Namun, jika dengan yang lain juga seperti individu pada umumnya.
Jeda.
"Eumm, is't okay if I call like... that?" Tanya yang lebih tua dengan hati-hatu menyadari ucapannya yang mungkin kurang nyaman diterima.
Laven mengangguk. Cowok itu tersenyum tipis, mencoba meyakinkan jika ia tak keberatan dengan panggilan yang didengarnya barusan.
"Ini baru mau order." Balas Laven sedikit mengangkat ponsel miliknya.
"Mau pulang bareng? Ini udah on the way." Lendra menawarkan.
"Thanks, Kak. Next time mungkin." Laven mencoba menolak dengan halus. Cowok itu tersenyum tipis karena memang merasa tak enak hati menolak tawaran kakak kelas yang baru ia kenal.
"It's okay." Giliran Lendra membalas. Tangan cowok itu terangkat, membuat mobil putih yang melaju lambat itu akhirnya berhenti di depannya.
"Masih lama?"
Laven menggeleng. "Kak Lendra duluan aja."
Lendra terkekeh. Panggilan sosok di hadapannya ingin ia ralat, namun tak jadi sebab Lendra menyukainya.
"Oke."
"Wait, boleh kakak minta nomor kamu?"
Nalendra masih menunggu jawaban sosoknya. Laven pun memilih mengulurkan ponselnya daripada menjawab. Lendra yang paham memberikan senyum. Dengan semangat cowok itu meraih ponsel adik kelasnya.
"Kalau udah sampai, chat me!" Pesan Lendra dengan mata yang ikut tersenyum serasi dengan bibirnya yang melengkung.
Laven memgangguk sekali. Pandangannya mengantarkan sosok di hadapannya hingga menghilang. Selang beberapa detik, penampakan mobil hitam yang sudah sangat Laven hafal bahkan untuk nomor plat nya sekalipun menepi berhenti. Cowok itu buru-buru menghampiri sang ayah yang selalu menunggu di dalam. Dari kaca jendela yang setengah terbuka, Laven menatap sayahnya.
"Kenapa?" Tanya Rendra mendapati kemunculan sang putra yang justru tak langsung masuk.
"Di belakang ada abang ojek, Yah. Aku udah order."
Rendra menghela nafas tipis. Salahnya juga yang tak memberi kabar apapun. Pria itu kini membuka pintu mobilnya, lantas menghampiri pria dewasa yang dimaksud sang putra.
Begitu sang ayah kembali mendekat, cowok itu pada akhirnya ikut masuk setelah menyadari bahwa abang ojek yang sebelumnya masih nampak kini sudah menghilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lavenario
General FictionTak ada yang istimewa dari kisahnya. Sebut saja ia terlalu pasrah menerima. Kalau ada kata 'berjuang,' maka perjuangannya hanyalah tentang bagaimana caranya bertahan. Emosinya selalu ia pendam. Kalau pun tidak, maka orang lain hanya boleh melihat em...