Bagian 20

340 35 10
                                    

Bagi Laven, memahami ayah jauh lebih sulit daripada memahami mekanika kuantum yang pada akhirnya bisa ia kuasai saat ujian akan tiba. Laven pikir, tahun demi tahun yang ia lewati untuk berusaha menangkap pola pikir dan sikap ayah selama ini sudah cukup, dan lantas dibuktikan dengan tatapan dan sikap ayah yang lebih melunak belum lama ini. Tapi sepertinya tidak, ayahnya itu masih hobi membuatnya berpikir keras, memaksa ia mencari jawaban dari setiap hal yang mengganggu pikirannya.

Misalnya saja subuh tadi, saat Laven hendak ke dapur untuk menanak nasi, presensi ayah yang sudah siap dengan setelan formal terlihat menuruni tangga. Laven tak tahu pukul berapa ayahnya tiba di rumah dan dengan apa atau siapa pula yang menjemput ayah. Namun, perkiraannya mungkin sebelum subuh sebab saat semalam ia terbangun hampir jam dua dini hari, tanda-tanda kepulangan ayah tak terdeteksi olehnya.

Lantas, apakah kebingungannya terletak pada hal itu? Tidak. Sependek pengetahuannya, jaringan pertemanan ayah itu luas. Level pertemanannya juga beragam, mulai dari yang hanya sebatas teman kantor, relasi, teman lama, ataupun sampai ke teman yang benar-benar teman. Meski ayah tak bercerita, Laven tahu sebab cerita bunda. Kalau tidak, mana mungkin ia tahu sedang ayah saja tak pernah mengenalkan satupun padanya atau bahkan membawanya ke rumah.

Kembali pada kebingungannya, saat berpapasan dengan ayah tadi, cowok itu ingat betul bagaimana tatapan ayah yang sudah melunak itu balik ke mode semula. Datar, selaras dengan raut wajah ayah yang padahal akhir-akhir ini sudah sangat bersahabat. Tak ada satu patah kata pun yang ayah ucapkan. Laven juga akhirnya mengurungkan diri untuk bertanya sebab ketergesa-gesaan ayah seolah menyuruhnya untuk diam. Laven harap perubahan ayah hanya berlangsung sementara sebab faktor lelah ataupun yang lainnya.

Namun, harapannya pupus kala malam hari setelah mengantarkan Nanta ke stasiun kereta ayah masih diam. Bahkan, sepanjang perjalanan hanya suara riuh kendaraaan yang berlalu lalang yang terdengar. Laven masih tak berani buka suara sebab jalanan sedang ramai-ramainya hingga fokus ayah nampak ada pada aktivitas menyetirnya.

"Ayah, aku ada salah ya?" Tak ada angin tak ada hujan, pertanyaan itu akhirnya lolos dari bibir tipis sosoknya. Kalimat tanya yang mengudara saat pintu utama baru saja terbuka. Jelas ayah abai dan memilih masuk melanjutkan aktivitas lainnya. Baru saat Laven selesai membersihkan diri, pintu kamarnya diketuk pelan dari luar. Tak perlu dibuka, sebab pemilik rumah yang tak lain adalah ayahnya melangkah masuk. Raut wajah ayah jelas menyiratkan rasa lelah, jauh lebih bisa dibaca daripada pagi dan sore tadi.

"Maaf, aku nggak ada maksud buat sembuyiin ini dari ayah. Cuma, aku pikir nggak seharusnya aku kasih tau langsung soal mama karena waktu itu posisinya juga lagi nggak pas."

Jeda. Hening menyapa. Ayah masih berdiri di samping kursi belajar tempatnya duduk. Sementara sosoknya sendiri hanya bisa mendongak, lalu tertunduk mendapati ucapannya mungkin bagai angin lalu.

"Ayah sudah tau. Mama kamu yang bilang."

"Ada hal lain yang kamu sembunyikan?"

Spontan sosoknya menggeleng, mengundang kekecewaan di wajah sang ayah yang kini menghela nafas lelah. Pria itu menarik kursi lain yang tak serupa dengan kursi tempat putranya duduk, menggunakannya untuk mendudukan dirinya sendiri.

"Soal kamu yang sampai pingsan itu, kenapa diam?"

"Karena ayah punya banyak kepentingan. Di situ juga ada Kak Nanta sama Om Bram yang ngurus. Aku ada niat kasih tau ayah, tapi nggak jadi karena semua juga udah baik."

Laven dengan tegas, tapi tetap hati-hati mencoba menjelaskan. Tentang itu, ia bahkan tak menyangka ayah akan berespons seperti saat ini. "Maaf." Cicitnya tak mendapati tanggapan dari ayah.

"Ayah yang mau minta maaf. Ucapan ayah kali ini mungkin bertentangan sama apa yang pernah ayah bilang," sahut Rendra menyambung ucapan sosoknya.

Laven diam, berpikir keras dalam ruang waktu yang diambil ayah untuk menjeda kalimatnya. Ia paham jika ayah akan mengubah topik obrolan. Namun, mengingat ucapan ayah yang kompleks dan susah dicerna itu sulit bagi Laven. Jadi, daripada tak membuahkan hasil, sosoknya kini sedikit mendongak, pertanda bahwa ia siap mendengarkan sekaligus kode untuk meminta ayah agar segera melanjutkan perkataanya.

LavenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang