"Nggak belajar?"
Nanta menggeleng. Cowok itu justru merebahkan diri di bed kamarnya. Laven yang menyangka jika kakaknya tengah kelelahan pada akhirnya memilih keluar kamar sendirian. Tujuannya adalah ruang tengah di mana biasanya semua orang berkumpul jika tak sedang sibuk. Nampak jika Oma tengah duduk di sofa dengan remote televisi di tangannya. Lalu, Bunda nampak sibuk dengan ponsel miliknya, sedangkan ayahnya juga sama seperti saudarinya.
"Om Bram belum pulang ya?" Laven yang masih berdiri setengah membungkuk mendekati Lita. Cowok itu berucap setengah berbisik.
"Belum. Bentar lagi, Sayang." Jawab Lita ikut berbisik. Laven mengangguk, mendudukkan diri di samping Lita.
"Tumben kakakmu nggak nempel." Perempuan itu kini meletakkan benda pipih yang tadinya ia pegang. Fokusnya kini pada sosok yang duduk di sebelahnya.
"Tadi tiduran."
"Biasanya kalau udah begitu minta dipeluk."
Nanta panjang umur. Cowok itu menyusul turun dengan wajah lelahnya. Tiba-tiba saja remaja itu sudah duduk di samping adiknya.
"Kalau capek ya tidur, Kak." Lita menyarankan.
"Yang mau dikelonin malah ngilang."
"Gulingmu banyak 'kan, Kak? Biasanya juga ngelonin guling."
Percakapaan ibu dan anak itu mengundang dua pasang mata lain. Oma yang duduk di single sofa kini mengabaikan layar televisi yang menampilkan sinetron keluarga. Sementara Rendra juga memilih meletakkan ponselnya di meja.
Nanta yang menyadari Oma sudah menatapnya, pada akhirnya memilih merebahkan diri di sofa panjang yang lain. Kalau dengan Oma, Nanta juga harus bisa menjaga sikapnya. Bukannya apa. Perasaannya menyadari jika perlakuan Oma kepada adiknya itu ada tak sealami jika dengannya. Iya, memang sama-sama masih diperlakukan dengan baik, tetapi dari cara dan ucapannya cukup berbeda. Meskipun pada dasarnya Oma memang tak banyak bicara, tetap saja Nanta bisa merasakannya. Dan sudah bisa cowok itu tebak, jika itu juga berhubungan dengan masa lalu. Itu yang tak Nanta suka dari Oma.
Terkadang, cowok itu jauh lebih suka jika ia yang berkunjung ke rumah saudara kembar bundanya. Sebab, di sana ia bisa lebih leluasa. Itu juga alasannya ia sering mengunci pintu kamarnya dan mengurung adiknya di dalam sana. Meski tetap saja kalau adiknya ke sini ya tujuan utamanya menjenguk Omanya itu. Jadi, susah memang menahan adiknya tetap diam di dalam kamar.
"Laven, ikut Oma sebentar."
Cukup bisa ditebak jika Laven tak akan menolak. Cowok itu mengangguk singkat, lantas beranjak dari duduknya, menyeimbangi langkah kaki Oma yang perlahan, tapi pasti. Dan tibalah keduanya di sebuah kamar yang tak lain kamar perempuan sepuh itu.
"Duduklah, ada yang mau Oma bicarakan."
Cowok itu mengangguk, mendudukkan diri di salah satu kursi kayu dengan ukiran kuno yang masih nampak mengkilap.
"Oma minta maaf untuk ucapan yang tadi. Maksud Oma baik. Hanya mau ayahmu dan kamu ada yang mengurus. Tapi, kalau kalian sendiri sudah merasa cukup, Oma bisa apa?" Tanya wanita itu menatap lekat sosok yang kini masih nampak tenang dalam diamnya.
"Untuk itu, Laven minta maaf." Suara itu hanya lirih terdengar. Cowok itu tertunduk menyadari Oma masih menatapnya lekat tanpa ada tanda-tanda mau bicara.
"Kamu tahu orang seperti apa yang tidak Oma sukai?"
Laven menggeleng pelan. Meski ia tahu jika Oma tak menyukai orang-orang dengan karakter buruk seperti pada umumnya, cowok itu paham jika konteks kali ini mungkin tak berkaitan dengan hal tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lavenario
General FictionTak ada yang istimewa dari kisahnya. Sebut saja ia terlalu pasrah menerima. Kalau ada kata 'berjuang,' maka perjuangannya hanyalah tentang bagaimana caranya bertahan. Emosinya selalu ia pendam. Kalau pun tidak, maka orang lain hanya boleh melihat em...