ஓ๑ BAB 14 ๑ஓ

23 4 0
                                    

⊱──────ஓ๑☬๑ஓ──────⊰

Terlihat seorang wanita berjas memberikan amplop berisi uang pada pria pemilik panti asuhan. Keduanya berjabat tangan.

"Anda sangat murah hati, Nyonya. Terima kasih karena telah mendonasikan uang untuk anak-anak panti. Uang ini akan digunakan untuk keperluan mereka," ucap pria itu.

Wanita berjas menganggukkan kepalanya. "Berkat panti asuhan yang Anda bangun, anak-anak yang tidak memiliki orang tua, anak gelandangan, dan anak korban bencana alam lainnya sekarang memiliki tempat bernaung."

Nathan kecil mengintip dari jendela lantai dua bangunan panti asuhan.

Setelah sedikit berbincang, wanita berjas itu pun pamit pergi.

Nathan segera pergi ke ranjangnya dan berpura-pura tidur.

Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki menuju ke kamar di mana Nathan berada. Tidak hanya Nathan kecil yang berada di kamar itu. Terlihat beberapa anak lainnya yang tidur di ranjang susun kamar tersebut.

Pintu kamar dibuka.

Mendengar suara pintu yang dibuka dengan agak dibanting, anak-anak di kamar itu tersentak bangun, kecuali Nathan yang masih berpura-pura tidur.

Pria pemilik panti memasuki ruangan. Ia menghampiri ranjang Nathan. Tanpa ba-bi-bu, pria itu menghantam perut Nathan dengan keras membuat Nathan terlonjak bangun.

"Kenapa jam segini kau masih tidur?! Dasar pemalas! Bangun dan bekerja!" Pria itu melemparkan baju kumal ke wajah Nathan kemudian berlalu.

"Kalian dipelihara untuk menghasilkan uang. Enak saja memakan uang donasi dari orang kaya. Lebih baik uang ini aku simpan sebagai ganti rugi karena membangun tempat sialan ini," gumam pria itu.

Nathan melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 9 malam. Bocah itu pun beranjak dari ranjang dan mengganti pakaiannya dengan pakaian kumal yang diberikan pria tadi.

Malam hari di jalanan kota, Nathan kecil mengemis meminta belas kasihan pada orang-orang yang lewat. Ia mendapatkan beberapa lembar uang recehan dan uang koin dari orang-orang yang iba padanya.

Tidak hanya Nathan kecil, anak-anak dari panti asuhan lainnya juga sama, mengemis.

Pagi harinya, mereka kembali ke panti asuhan dan berdiri berjejer. Pria pemilik panti mengambil uang yang mereka dapatkan.

Salah seorang anak ada yang tidak mendapatkan uang sama sekali. Pria itu marah lalu menyeretnya ke salah satu ruangan kemudian mengunci pintunya.

Entah apa yang dilakukan oleh pria pemilik panti, tapi terdengar suara teriakan kesakitan anak laki-laki itu dari dalam ruangan.

Nathan mengepalkan tangannya geram. Ia sudah tidak bisa lagi menahan kemarahannya yang sudah menumpuk dan terpendam selama ini.

Perlahan manik birunya berubah menjadi kuning terang. Seketika waktu berhenti, begitu pula dengan orang-orang di sekitarnya.

Nathan perlahan berjalan menuju ke ruangan itu. Ia membuka pintu yang ternyata dikunci dari dalam.

Pandangan Nathan tertuju ke tongkat baseball di kolong meja. Nathan mengambilnya lalu menghantam pintu ruangan itu dengan tongkat baseball tersebut hingga retak karena sudah lapuk.

Nathan menendang pintu sampai tengahnya menjadi bolong besar. Ia pun bisa masuk ke dalam melewati lubang tersebut.

Kedua mata Nathan terbelalak lebar ketika melihat anak laki-laki itu terbujur kaku di lantai dengan darah segar mengalir dari perut dadanya.

Jelas saja jika anak malang itu sudah tewas.

Ada pisau di tangan pria pemilik panti asuhan. Nathan mengambil pisau itu. Tanpa bada-basi, ia langsung menusuk perut pria itu berkali-kali. Cairan kental berwarna merah tampak merembes membasahi pakaian pria itu lalu menetes ke lantai.

Nathan terdiam sejenak. Ia baru menyadari kalau dirinya telah membunuh seseorang. Warna matanya kembali berubah menjadi biru.

Anak-anak panti yang berada di luar ruangan terkejut melihat pintu yang memiliki lubang besar entah bagaimana caranya. Mereka mengintip ke dalam dan terkejut saat melihat dua mayat yang tergeletak di lantai dengan bergelimang darah.

Sore harinya polisi datang untuk melakukan penyelidikan setelah dihubungi.

Di kamarnya, Nathan terlihat panik. Ia takut karena telah membunuh seseorang. Ditambah lagi para polisi itu datang untuk menangkap pelaku.

Lewat pintu yang sedikit terbuka, Nathan mengintip. Ia melihat kedua polisi itu sedang berbicara serius.

Perhatian salah satu polisi tertuju padanya. Nathan panik dan refleks menutup pintu.

Mendengar suara langkah kaki yang mendekat, Nathan semakin khawatir. Ia pun memutuskannya untuk kabur dengan keluar lewat jendela.

Namun, karena posisi kamarnya di lantai dua, Nathan tidak bisa bergerak. Ia menunduk ke bawah.

"Tinggi sekali," gumam Nathan dengan suara bergetar.

Terdengar suara ketukan di pintu. Nathan menoleh ke pintu. Ia semakin panik.

"Apa kau di dalam? Aku hanya ingin bertanya sesuatu," suara polisi dari luar kamar.

Daun pintu bergerak menandakan jika polisi itu tengah mencoba membuka pintu. Namun, Nathan sudah menguncinya tadi.

Nathan melihat atap kanopi kain yang membentang di depan sana. Ia perlahan melangkahkan kakinya dengan hati-hati di bagian tembok yang menonjol.

Setelah dekat dengan kanopi, Nathan menjatuhkan dirinya di atas kanopi. Ia pun akhirnya bisa turun dengan selamat. Nathan segera pergi dari tempat itu.

Setelah kabur dari panti asuhan, Nathan kecil duduk di sudut jalan. Ia menunduk ketakutan. Di depannya terlihat seorang pria berbadan tambun berdiri sembari berkacak pinggang.

"Masih kecil sudah belajar mencuri." Pria itu menjentikkan jarinya.

Dua pria berbadan kekar menghampiri. Mereka menyeret Nathan ke dalam mobil.

"Kalian membawaku ke mana?" tanya Nathan yang ketakutan. Ia duduk diapit oleh kedua pria berbadan kekar di kursi belakang.

Pria berbadan tambun menoleh pada Nathan sebentar. Ia tidak memberikan jawaban.

Sopir menghentikan mobil di sebuah gedung terbengkalai. Mereka keluar dari mobil. Pria kekar menyeret Nathan agar keluar juga.

Mereka memasuki gedung tersebut.

Nathan mengedarkan pandangannya ke sekeliling ketika indera penciumannya mencium aroma besi berkarat yang kuat, tapi itu bukan besi, melainkan darah segar. Tentu Nathan mengenali bau itu yang masih menghantuinya setelah membunuh pemilik panti asuhan. Aroma dari cairan kental berwarna merah itu seolah masih menempel di hidungnya.

Nathan dimasukkan ke dalam jeruji yang lebih mirip seperti kandang besar. Pria kekar itu mengunci jeruji besi tersebut dengan gembok. Tidak hanya Nathan. Terlihat beberapa anak kecil yang usianya sekitar 8-16 tahunan di tempat itu. Mereka berada di dalam jeruji besi yang terpisah satu sama lain.

Selama berada di tempat itu, Nathan dan anak-anak itu diperlakukan seperti binatang. Mereka memberikan makanan pada Nathan berupa makanan yang sehat, tapi diletakkan di atas mangkuk tanpa sendok atau garpu sekali pun. Mangkuk berisi makanan itu dilemparkan ke dalam kandang. Sebagian berceceran ke lantai.

Tak jarang pria berbadan kekar itu menyiksa anak yang memberontak. Bahkan ada juga anak yang dicekoki makanan karena mereka menolak makan.

Melihat itu semua, Nathan kecil sangat ketakutan. Ia terkadang mendapatkan perlakuan kasar juga.

⊱──────ஓ๑☬๑ஓ──────⊰

12.00 | 4 Oktober 2016
Penulis Asli : Ucu Irna Marhamah

DRUSILLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang