• 07| [Little Hands] •

211 17 0
                                    

-———-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-———-

"The Four Horseman!"

Cass, Rolex, Dixon dan Jack bersitatap sebelum akhirnya berbalik badan menghadap ke seorang yang memanggil dari depan pintu dark brown. Tatapan aneh menghiasi keempat nya ketika Mary dengan senandung dan lompatan, serta putaran bak ballerina menuju ke arah mereka. Bisa-bisanya Mary masih sempat tersenyum dengan tatapan berbinar penuh harap, padahal dunia sudah lama menghancurkan harapannya. Semoga dia masih normal.

"Boleh aku ikut?"

Jack tidak bisa tidak menatap sarkastik. Rolex menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, melihat dari ujung kaki hingga kepala gadis berambut ginger dengan twin buns dan short dungarees-hampir seperti bocah yang pernah ditemui di taman kanak-kanak, sangat disayangkan jika dia mati begitu saja.

"Nggak," putus Rolex sebelum melanjutkan langkahnya.

Tentu saja mereka tidak akan membawa pemula di perjalanan yang penuh rintangan karena untuk membawa diri sendiri saja perlu perjuangan.

"Sabar, ya, Mar." Cass yang mengerti hanya bisa cengengesan. "Mendingan kamu di sini aja, pastiin jangan sampe Cleo sama Jane berantem."

Mary bergidik sekilas, membayangkan betapa mengerikannya berada dalam ring pertarungan antara beruang Grizzly dan beruang kutub. Gadis itu masih ingin hidup, dia tidak mencalonkan diri sebagai samsak gratis incaran emosi semua orang.

Sudut bibir yang awalnya ditarik ke atas perlahan hilang, berganti dengan sebuah pertanyaan. "Wait, kenapa?"

Cass mengedikkan bahu, lantas berjalan menyusul Rolex yang sudah berada di luar gedung sekolah.

"Marilyn, aku tau kamu 11-12 kaya bocah, tapi dunia luar jauh dari kata taman bermain." Sarkasme itu meluncur begitu saja berasal dari mulut Jack diselingi dengan kekehan kecil. Mary merengut kesal. Jika dia masih memiliki Burn Book, mungkin di sana akan terukir nama Jack Van George dengan gambar wajah tengil khas nya.

"Aku janji nggak akan beban."

Dia melirik Dixon begitu setelah mengetahui punggung Cass yang mengecil kemudian ditelan tikungan pintu keluar. Saat ini, bernegosiasi dengan dua orang brengsek di depannya.

Dixon mengeratkan genggaman pada parang yang dibawa. "Nggak bisa jamin," ujarnya seraya meninggalkan Jack bersama Mary di tengah koridor. Dua orang itu hanya menatap kepergian si topi hitam dengan parang tajam-sahabatnya.

Kemudian, lelaki berambut pirang itu segera menatap gadis di depannya. "Aku kasih kisi-kisi." Ucapannya mampu membulatkan mata Mary yang kini tengah menunggu kalimat selanjutnya.

"Well, technically. Kamu boleh ikut kalo lulus seleksi." Kali ini bukan smirk yang terlihat, melainkan senyuman tulus. Serius? Jack tersenyum tulus?

HEREAFTER ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang