Anda tahu, Nona. Anda tidak bisa dipisahkan dari saya, Anda selalu mengatakan tidak, saat saya ingin pergi tanpa Anda. Anda akan hadir di mana saja saya berdiri. Saya menerima takdir pertemuan. Namun, dipisahkan dari Anda, saya tidak bisa menerima. Saya ingin mengikuti setiap jejak Anda ketika berlari, mengukir senyum di pagi hari untuk saya. Anda adalah rahasia terbesar saya. Tetapi, saat ini, saya kehilangan rahasia itu, Anda membawanya pergi jauh tanpa saya tahu. Dapatkah Anda kembali dan mengembalikan nafas yang telah Anda curi dari saya.
Madhav menyelipkan pena di tengah-tengah buku, menutup buku segera setelah kereta tiba. Diambil tas carrier yang sejak tadi berada di samping kursi tunggu. Tidak banyak penumpang yang terlihat masuk ke dalam gerbong kereta. Dari bawaan yang dibawa, Madhav bisa menduga kebanyakan para penumpang memiliki tujuan yang sama dengannya, Manali. Sebuah surga kecil di dataran tinggi Negara Bagian Himachal Pradesh, India bagian Utara. Tempat itu, tak hanya tersimpan berjuta keindahan yang menawan mata, bagi Madhav, Manali adalah saksi perjalanan bertemu seorang perempuan yang kehilangan identitas diri di tengah kesendirian di negeri orang. Perempuan payah yang tak dapat berbicara dengan Bahasa Hindi maupun Bahasa Inggris. Perempuan yang teramat mengagungkan budaya dan tradisi negaranya. Perempuan yang akan marah tiap kali negaranya disebut sebagai negara berkembang. Perempuan yang mampu mengacaukan hidupnya hingga akhir hayatnya. Dan perempuan satu-satunya yang namanya akan selalu muncul di setiap kata.
Usai kereta mengucapkan selamat tinggal pada Stasiun Jogindernagar, Madhav bangkit, mengambil tas carrier yang semula duduk manis di sampingnya. Madhav memilih duduk ditemani semilir angin yang berhembus liar dari pintu gerbong. Punggungnya yang lelah bersandar penuh. Mata dan hati pria 28 tahun itu terhenyak memandangi perempuan yang mengenakan saree merah sembari mengumbar senyum manis ke kamera. Itu adalah foto Sahara di hari Diwali, dua tahun yang lalu sebelum kepergiannya.
Kembali, tangan Madhav meraih buku yang sempat dia simpan di ransel. Madhav mencari kata pertama, mengambil satu kata yang tepat untuk melanjutkan tulisannya.
Dia mendapatkannya.
Saya kembali ke tujuan awal saya. Mengawal perjalanan saya berjumpa dengan Anda saat itu. Saya membawa perjalanan bersama sakit hati karena pengkhianatan seorang kekasih lama, tentu Anda tidak ingat siapa dirinya. Yang harus Anda ingat, Tuhan memberikan perjalanan ini agar saya menemukan Anda di suatu tempat di kaki Pegunungan Himalaya yang membentang di antara empat negara. Negara kebanggaan saya India, Nepal, China, dan Tibet.
Ditutup sementara buku bersampul coklat, lalu ditaruh di atas ransel. Madhav berdiri tepat di ambang pintu gerbong, mengekspos keindahan di luar kereta. Tangan kanannya membentang keluar, menangkap angin yang berlalu tanpa henti.
"Aku datang merayakan kepergianmu dengan tangisan. Sekarang, kita impas, Nona Sahara." Madhav menarik tangannya kembali dari batas pintu gerbong. Dia memilih duduk, menggali ruang khayalan yang nampak nyata di ingatan, sebuah kenangan. Kenangan panjang yang diukir dari kereta yang sama seperti hari itu.
Kelopak mata Madhav berserah diri menutupi kepedihan. Kerinduan yang menyiksa fisik juga jiwa membara seketika. Ingin berteriak pada angin lalu, dia tak berdaya. Air mata mengalir tanpa mengabari akan datang. Hanya air mata yang berbicara, tak ada suara mengiringi.
"Cinta hanya kata yang menggambarkan penggalan perasaan tak beraturan. Kau mengatakan aku mencintaimu hanya melalui mulut saja, memangnya, aku tidak bisa, ha? Aku bisa melakukannya, aku mencintaimu, ya, aku mencintaimu. Mulut bisa berbual manis, tapi tidak dengan hati dan mata, mereka akan jujur dengan rasa cinta yang tulus, Tuan. Dan aku tidak menemukan cinta di hati, mata, dan juga sikap licikmu!"
Sehebat apapun ucapan Sahara mengundang kebencian yang sempat bertamu dahulu, Madhav masih tak mampu bangkit dari keterpurukan. Jujur, Sahara tak seburuk yang dia pikirkan. Justru sebaliknya, dia lah keburukan yang menghantui Sahara selama berada di negaranya, negara yang begitu asing bagi Sahara.
"Maafkan aku, maaf."
•••
Menempuh 550 km bersama duka dan luka bukanlah impian Madhav ketika bertamu ke Manali. Semua kenangan kelabu memeluknya erat di atas bus Himachal State Transport. Wajah-wajah penumpang lain nampak tak sabar menantikan kedatangan mereka di Manali, tapi tidak dengan Madhav. Sejauh manapun dia pergi, waktu terus menemukan pikiran pria itu dengan Sahara, Sahara dan Sahara.
"Sebegitu bencikah dirimu pada kedatanganku, Tuan? Sehingga kau begitu curang padaku?Sejak awal, aku asing di matamu, mata teman-temanmu, keluargamu, bahkan negaramu tidak mau menerimaku beristirahat sejenak di sini."
Madhav menutup rapat kedua mata, mencoba mengusir potongan-potongan suara Sahara sebelum meninggalkan dirinya, dua tahun yang lalu.
"Kau sendirian?" tanya pria yang duduk di sebelah Madhav. Pria yang berumuran sekitar 40 tahun itu memberikan sedikit senyuman di tengah cuaca dingin.
"Tidak. Aku tidak sendiri."
Pria tadi menoleh ke belakang, tepat ke punggung para penumpang lain yang sibuk bercengkerama.
"Di belakang sana, mereka semua temanmu?"
"Bukan."
"Lalu?"
"Aku tidak sendiri, Tuan. Ada kekasihku bersamaku."
"Di mana? Di atas sini, hanya ada penumpang pria, dia ada di bawah?"
"Tidak," jawab Madhav singkat.
"Dia ada di sini. Bersama setiap hembusan napasku, detak jantungku, dan kedipan mataku. Dia selalu bersamaku, memilikiku dari jauh," ucapnya tak bersemangat.
Pundak Madhav mendapat tepukan dari pria tadi.
"Semua orang berpetualang untuk bersenang-senang, tapi kau malah larut bersama kesedihan. Apa kekasihmu meninggalkanmu? Bukan apa-apa, sebagai seorang tua, aku pernah berada di posisi itu, dan itu sangat menyakiti hatiku," ujar pria berjaket hitam dengan syal abu-abu yang melilit leher.
"Tuhan telah menyelesaikan kisah kami dengan perpisahan yang tak ingin aku terima."
Pria itu langsung paham bagian akhir kisah Madhav. Dia turut menampakkan raut berdukacita untuknya.
"Sorry. Mera matlab aapako chot pahunchaana nahin tha." (Maaf. Aku tidak bermaksud menyakitimu)
Madhav mengangguk lemah. Netranya kembali menikmati hamparan lukisan Tuhan yang tertuang di barisan perbukitan. Madhav merapatkan jaket di tengah gempuran cuaca dingin dan malam yang mulai menyapa.
Ketika bus yang dia naiki berhenti, Madhav memilih turun dari atap bus dan beralih ke dalam. Dia tak ingin kehilangan keseimbangan dan jatuh ketika terjaga, ditambah, jalan yang dia tempuh bukan jalanan beraspal.
Perjalanan kembali berlanjut. Madhav tak mempedulikan percakapan hangat beberapa wanita di bus, dia sibuk bercengkerama dengan suara Sahara yang tak henti-hentinya mengusik tidur. Mata Madhav terjaga, dia sudah lelah memaksakan diri untuk tidur.
Usai menaiki bus, Madhav melanjutkan perjalanan menuju Rohtang Pass dengan berjalan kaki ketimbang menyewa taksi atau transportasi lain. Dia melewati pedesaan Suku Tibet yang mendiami sepanjang lereng hingga bukit Himalaya. Tentu, Madhav tidak menemui kesulitan yang berarti, karena ini adalah perjalanannya yang ketiga kali ke Manali.
Di tengah jalan, ketika berjumpa warga lokal, Madhav mengucap salam seraya memperlihatkan deretan giginya yang putih bersih. Warga lokal yang mayoritas Suku Tibet berbeda dari kebanyakan orang India. Tipikal wajah mereka unik dibalut kulit putih dan mata yang sipit. Mereka cenderung masih menganut kehidupan tradisional yang diwarisi secara turun temurun.
Geliat ekonomi modern di sekitar Manali mayoritas dilakukan oleh para pedagang keturunan Kashmir. Mereka membuka gerai-gerai modern di kaki Himalaya. Mulai dari toko tekstil sampai makanan cepat saji terhampar luas di sepanjang perjalanan Madhav di Manali.
Kaki-kaki yang sempat layu diterpa gulungan ombak kehidupan berjalan pelan, menempuh jalan setapak sembari memegang kedua tali tas. Cuaca semakin menggila dengan udara dingin, walaupun, cahaya mentari masih mengudara.
Madhav berhenti di sebuah gerai warga lokal Manali. Dia memesan chai untuk menghangatkan badan sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Sembari menunggu pesanan datang, Madhav duduk di sebuah kursi panjang yang sengaja di letakkan untuk turis beristirahat.
"Bagaimana saya hidup tanpa detak jantung Anda, Nona Sahara," gumamnya tanpa membuka suara.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Tera Fitoor [END]
Romance(Juara 1 Event Writing Marathon Cakra Media Publisher Season 4) [ Romance - Religi - Song Fiction] ●●● Madhavaditya baru saja kehilangan cintanya. Dia mendaki Himalaya untuk mengenang kembali pertemuan sekaligus perpisahannya dengan mendiang sang is...