Part 14

17 9 2
                                    

Setibanya di rumah, sambutan hangat Sahara terima. Sahara melakukan apa yang Madhav katakan, jika menemui seorang yang lebih tua, dia harus menyentuh punggung kakinya. Dan Sahara melakukan itu sebagai rasa hormat, terutama kepada seorang paruh baya yang dia yakini sebagai nenek dari Madhav. Wanita ber- saree putih itu bahkan cukup lama memeluk Sahara sambil mengatakan sesuatu yang tidak dia mengerti.

Madhav kemudian memperkenalkan Sahara sebagai kekasihnya kepada nenek, bibinya, dan dua pembantu di rumahnya. Tak lupa, dia turut membeberkan kebohongan perihal Sahara yang bisu kepada semuanya. Dan, Sahara tetap diam, diam dalam ketidaktahuan dan kepatuhan pada Madhav yang sangat dia percayai.

Perbincangan kembali berputar di titik kekurangan Sahara yang Madhav ciptakan. Beberapa ada yang kurang setuju, beberapa yang lain ada yang prihatin, tapi tetap mendukung penuh, terutama neneknya.

"Kau pasti sangat lelah, Sahara. Yohani, antar Sahara ke kamarnya!" titah Leela pada salah satu pembantunya itu.

"Theek hai, Madam." (Baiklah, Nyonya)

Yohani menarik pelan Sahara agar ikut dengannya.

Sahara mengatupkan kedua tangan, menggeleng lalu meraih tangan Madhav yang tepat berdiri di samping. Sahara menatap sedikit ke atas, meminta dengan bahasa mata agar dia tidak dibiarkan berpisah dari Madhav.

Madhav berbisik. "Tidak ada apa-apa. Yohani hanya ingin mengantarmu ke kamar untuk beristirahat."

Sahara langsung paham dan melepas kekhawatirannya. Dia mengira, dia akan dilempar ke luar dari rumah. Tangan Sahara pun menjauh dari Madhav seiring menaiki tangga bersama Yohani di sisinya. Sekali pun sudah jauh, mata Sahara tak berpaling dari Madhav, dia takut, Madhav akan pergi dan meninggalkan dirinya di tengah orang-orang asing.

Sahara tidak menemukan ketenangan tatkala semakin jauh dari Madhav. Dia tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Untuk itulah, dia berbalik, menuruni tangga dengan setengah berlari menghampiri Madhav dan langsung memeluknya. Bukan hanya Madhav yang tercengang dengan kembalinya Sahara, tapi semua orang yang ikut menyaksikan betapa eratnya hubungan di antara keduanya.

Madhav kehilangan napasnya. Tidak ada pasokan oksigen yang masuk, begitu pula seluruh tubuhnya yang tidak dapat bergerak di dalam pelukan Sahara.

"Sa-Sahara?" Menyebut nama itu perlu kesadaran seratus persen. Madhav menarik Sahara agar sedikit menjauh. "Kya hua?"

Sahara tidak menjawab, dia malah menarik Madhav ke luar rumah untuk membicarakan sesuatu secara empat mata.

"Kau ingin berbicara sesuatu?"

Anggukan kepala menjadi jawaban. Madhav buru-buru mempercepat langkah menuju samping rumah, tepat di bawah pohon.

"Ada apa?"

"Aku ...." Suara Sahara tertahan sejenak. "Madhav. Tolong, tolong jangan memberiku posisi yang jauh darimu."

"Sahara, apa maksudmu? Ibuku hanya memintamu beristirahat."

"Ya, kau sudah memberitahu! Dan aku tahu itu. Sebenarnya ...." Sahara mengatur napas sesaat. "Ada sesuatu yang aku sembunyikan." Dia menunduk tajam ke semut-semut yang lalu-lalang mengantar makanan ke sarang.

"Sebelum aku bertemu denganmu, aku mengalami hal yang sangat membuatku takut dengan orang asing. Waktu itu, aku berusaha mengejar bus yang seharusnya aku naiki, aku tidak tahu ke mana harus melangkah. Lalu, aku memutuskan untuk kembali ke sungai itu, berharap, Avni dan Arjun akan datang menjemput. Di tengah perjalanan, aku tersesat dan mencoba bertanya sebisaku pada dua orang pria asing. Tapi kau tahu ...." Suaranya mulai parau. "Mereka malah berusaha menculikku dan hampir melecehkanku. Bahkan, aku harus kehilangan ponselku karena insiden itu. Untung saja, aku berhasil kabur dan kembali ke sungai. Lalu, aku tidak sengaja mendengar kau berbicara dengan Bahasa Indonesia di telepon. Untuk itu, aku langsung meminta tolong padamu."

"Sa-saat itu aku sedang menelpon Altaf." Dada Madhav ikut sesak. Dia mengusap penuh rambutnya ke belakang. Akhirnya, dia paham, mengapa Sahara selalu terlihat panik bila jauh darinya. Dia tidak menyangka, Sahara melalui waktu yang berat untuk mendapatkan pertolongan darinya. Dia tidak tahu apa jadinya bila saat itu benar-benar meninggalkan Sahara sendirian di Manali.

"Astaga, a-aku sungguh tidak tahu, kau ...." Madhav memutus bicara. Dia ikut syok. "Ba-baiklah, aku janji, aku tidak akan jauh atau pun pergi darimu. Tapi satu yang harus kau tahu, Sahara. Keluargaku, mereka adalah orang-orang baik, mereka tidak akan menyakitimu. Jika ada satu orang pun dari keluargaku menyakitimu atau membuatmu menangis, aku sendiri yang akan membuat perhitungan dengan mereka," ujarnya.

Sahara menepuk lengan Madhav. "Kau berlebihan! Jangan begitu, aku ini bukan siapa-siapamu, kau tidak berhak memperlakukanku dengan istimewa. Aku hanya tidak ingin jauh darimu, itu saja. Bukan, bukannya aku ... ya, kau tahu sendiri, aku sangat ketakutan karena tidak tahu jalan pulang." Sahara kesulitan mendefinisikan perasaannya sekarang.

"Hei, kau lupa. Kau adalah calon menantu ibuku."

Sahara tertawa singkat. "Ya, ya, ya. Kau benar."

Walau kedengarannya sebuah lelucon, Madhav mengatakan hal itu dengan penuh harap. Harapan jika suatu hari nanti, Sahara akan benar-benar menjadi menantu ibunya.

"Aku akan mengantarmu ke kamar. Kau melewati banyak hal untuk sampai di rumah ini. Kau perlu banyak waktu untuk menghapus jejak hitam itu, dan aku akan berusaha membantumu."

Pundak Sahara turun ke bawah seiring tembusan napasnya keluar. "Jujur, aku tidak ingin kau merasa semakin memiliki tanggungan yang lebih besar setelah mengetahui apa yang sudah kualami di Manali. Kau baik, orang terbaik yang pernah aku kenal. Suatu hari nanti, jika aku bisa pulang, aku akan kembali lagi ke sini, menemuimu di tempat kita bertemu. Tempat yang menjadi saksi kebaikanmu padaku. Lebih tepatnya, kita akan bertemu di puncak gunung Rohta apa itu."

"Ah, itu. Sudahlah, aku tulus membantu. Semakin kau memuji, hatiku merasa diuji."

"Maksudmu?"

Madhav gugup. "Ti-tidak. Lupakan! Ayo!"

•••

Part 15

Hari ini, selesai mengambil cuti, Madhav kembali ke kantor, menyelesaikan pekerjaannya yang sempat terbengkalai beberapa hari. Dia sengaja datang lebih awal dari biasanya untuk segera merampungkan pekerjaan. Namun sebelum itu, dia menemui Sahara untuk berpamitan. Pintu diketuk untuk ketiga kalinya, tidak ada sahutan dari dalam kamar.

Madhav mengecek jarum jam tangan. Matahari belum juga bangun dari peristirahatannya, dia mengira, perempuan itu belum bangun. Madhav sempat ingin pergi tanpa berpamitan pada Sahara. Akan tetapi, mengingat bagaimana ketakutan yang Sahara alami bila dia tidak ada membuatnya berbalik. Pintu yang tidak dikunci itu mengangga, Madhav terpaku, tubuhnya kaku menyaksikan Sahara yang sedang salat di atas karpet. Tatapan perempuan yang kepalanya terbungkus selendang putih terlihat khusyu' memenuhi panggilan Tuhannya sampai tidak tahu kehadiran Madhav.

Tentu, ini menjadi keterkejutan yang begitu besar bagi Madhav. Dia sama sekali tidak mengetahui atau pun menyadari bahwa Sahara adalah seorang muslim. Penganut agama Islam yang sangat dibenci oleh seluruh keluarga dan lingkungan sekitarnya, terkecuali, Madhav. Pria itu memiliki pemikiran yang luas untuk tidak menganggap rendah agama lain. Pun, dia banyak memiliki teman muslim, dan itu tidak menjadi masalah baginya. Hanya saja, Sahara.

Tera Fitoor [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang