Part 5

34 9 9
                                    

Karena Madhav tidak kunjung membuka pintu kamar, Sahara terpaksa masuk sendiri, kebetulan pintu sengaja tidak Madhav kunci. Berjaga-jaga bila Sahara menginginkan sesuatu, sebab, siapa lagi yang akan perempuan itu mintai tolong selain dirinya?

Ternyata, Madhav tengah mengangkat telepon dari seseorang. Sahara tidak berani mengganggu percakapan Madhav dengan orang yang menelponnya. Dia memilih menunggu sampai Madhav mengakhiri percakapan yang entah Sahara tidak tahu apa topik permasalahannya karena Madhav berbicara dengan Bahasa Hindi.

Tak sengaja, netra Sahara melihat betapa berantakannya tempat tidur Madhav. Selimut yang menggantung di tepi ranjang, bantal yang berkeliaran tak beraturan di atas ranjang, kaleng minuman berserakan di meja dan handuk basah yang tergeletak di lantai.

Sahara mendesis risih melihat kekacauan kamar Madhav. Dia bangkit, merapikan selimut dan bantal, membuang bungkus makanan dan minuman serta menaruh handuk basah di tempatnya.

Tapi, sampai selesai merapikan kamar Madhav, pria itu tidak kunjung mengakhiri teleponnya. Sahara yang duduk di tepi ranjang menangkap ekspresi bimbang Madhav, berbeda dari ketika dia masuk tadi.

Tangan Madhav menurunkan ponsel lemas. Dia meninggalkan balkon kamar dan sontak terkejut mendapati Sahara yang duduk di tepi ranjang.

"Se-sejak kapan kau di sini?" Perhatian Madhav teralihkan oleh sudut-sudut kamar yang sudah bersih dan rapi. "Kau yang merapikan semua ini?"

Sahara berdiri, mengangguk singkat.

"Maaf, aku tidak bermaksud lancang. Aku sudah mengetuk pintu berkali-kali, tapi kau tidak membukakan pintu. Aku pikir, kau meninggalkan aku sendiri di sini."

Benak Madhav bergetar. Dia tidak pernah merasakan sangat begitu dibutuhkan oleh seorang perempuan. Selama ini, dia yang selalu membutuhkan seorang perempuan karena cinta gilanya, dia akan melakukan apapun agar perempuan yang dia cintai tidak lepas darinya. Tapi perempuan di hadapannya sungguh berbeda, dia merasa diistimewakan olehnya.

Madhav menggaruk tengkuk leher belakang sembari menarik senyum kaku.

"Sorry, aku tidak dengar. Mungkin karena aku terlalu fokus menelepon. Memangnya, ada apa kau kemari?"

"Em ... maaf jika permintaanku kali ini sedikit merepotkan. Kau sudah banyak membantuku sampai detik ini sampai aku tidak tahu bagaimana diriku membalas kebaikanmu. Semalaman aku berpikir, mengapa kita tidak ke Roh ... Roh apa? I-itu ... tempat yang ada saljunya, aku lupa namanya."

"Rohtang Pass," jawab Madhav.

"Nah, iya. Bagaimana jika pagi ini kita ke sana, siapa tahu, Avni dan Arjun datang lagi ke sana mencariku."

Madhav menggigit bibir bawah, menimang-nimang permintaan Sahara.

"Kau sungguh ingin pulang?"

"Ya, tentu saja. Aku tidak ingin terus menerus merepotkanmu. Aku ini orang yang tidak suka bergantung pada orang lain. Tapi, keadaan sekarang lain, selain Tuhan, hanya kau yang bisa kuharapkan saat ini," tukas Sahara.

"Baiklah. Kita ke Rohtang Pass sekarang, bersiap-siaplah!" ujar Madhav berubah riang.

Aura bahagia terpancar dari wajah Sahara.

"Kau tidak bercanda 'kan?"

Madhav menggeleng.

"Thanks."

"Senang bisa membantu."

Lekas, Sahara berlalu dari kamar Madhav. Dia harus mengambil jaket, sarung tangan, dan sepatu untuk menghadapi cuaca dingin. Sedangkan Madhav, pria itu menurunkan ekspresi senangnya, bagaimana tidak, wanita yang melahirkannya ke dunia ini dilarikan ke rumah sakit karena serangan jantung. Namun, Madhav tidak bisa membuat kebahagiaan Sahara ikut padam karena masalah yang dia hadapi. Hatinya sulit memilih untuk duduk tenang memikirkan satu jalan, pulang atau bertahan demi perempuan asing yang kehilangan arah di negaranya.

Madhav bergerak mengambil jaket serta beanie hat biru muda. Dia menatap cermin, melatih bibirnya tersenyum di atas kesedihan karena ibu tercinta masuk rumah sakit.

Belum sempat beranjak dari depan cermin, Madhav kembali mendapatkan telepon dari orang yang sama.

"Hallo?"

•••

Suhu yang berkisar antara 8° sampai 10° memberikan sapaan selamat datang. Belum genap semenit menginjakkan kaki di perbukitan salju Rohtang Pass, bibir Sahara mengigil, wajah kuning langsatnya berubah pucat.

"Kakiku mati rasa, di sini dingin sekali," ujar Sahara dengan bibir bergetar.

Madhav menarik syal yang menggantung di leher, dia lilitan syal itu ke leher Sahara.

"Kau tunggulah di situ." Madhav menunjuk sebuah kursi yang sengaja disediakan bagi pengunjung Rohtang Pass. "Aku akan bertanya ke beberapa pengunjung, siapa tahu mereka didatangi sepupu dan calon suamimu."

Sahara hanya bisa mengangguk sambil menahan hawa dingin. Kemudian, Madhav menghampiri kerumunan pengunjung yang sedang beristirahatlah usai bermain ski.

Sahara berjalan pelan, menapaki jalanan bersalju yang licin. Karena jalanan yang dilalui tertutup salju cukup tebal, telapak kaki Sahara yang terbungkus sepatu tipis menginjak sesuatu dan memberikan jejak merah di hamparan putihnya salju. Sahara meringis kesakitan, dia mengangkat telapak kaki kiri untuk melihat apa yang terjadi. Sebuah besi kecil yang berbentuk seperti gagang kacamata patah menancap di sana. Sahara menahan napas, mencabut besi kecil itu dari telapak kakinya.

Dengan tertatih-tatih, Sahara merapatkan diri di sebuah kursi kosong. Dia melepas sepatu kiri, melihat seberapa dalam luka yang dia terima. Darah mengalir lembut diterpa gempuran cuaca dingin. Sahara merapatkan kelopak mata melihat darah yang menetes ke tumpukan salju yang putih bersih.

"Seharusnya aku terima tawaran Madhav meminjamkan sepatu yang lebih tebal." Sahara menaruh sepatu dengan telapak tipis yang merupakan hadiah ulang tahunnya dari sang kakek ketika dia masih berumur 17 tahun. Bukannya dia tak mampu membeli sepatu baru, tapi bagi Sahara, dia ingin mengajak kenangan satu-satunya yang dia punya dari kakeknya ke negara yang nun jauh, sebuah negara yang tak pernah dia catat dalam list keinginannya.

"Mainne suna hai ki kaee videshee paryatakon ko le ja rahee bas rasaatal mein gir gaee." (Aku juga mendengar, bus yang membawa beberapa wisatawan asing jatuh ke jurang)

Madhav yang tak sengaja mendengar percakapan dua orang pengunjung Rohtang Pass itu pun bergegas menghampiri. Dia ingin memastikan apakah benar yang dibicarakan oleh keduanya.

"Sorry, aap kis baare mein baat kar rahe hain kya khadd mein jaane vaalee bas hai?" (Maaf, apa kau yang kau bicarakan? Ada bus masuk jurang?)

"Haan. Kya aap nahin jaanate? Agar main galat nahin hoon to bas haadase ko teleevijan par bhee dikhaaya gaya tha. Bas mein visphot ke samay koee jeevit nahin bacha tha." ( Ya. Apa kau tidak tahu berita itu? Kalau tidak salah, tidak ada penumpang yang selamat karena bus itu meledak )

Madhav terhenyak. Pikiran buruk berlarian di kepala.

"Apa jangan-jangan, bus itu adalah bus sama yang membawa sepupu dan calon suami Sahara?"

Netra Madhav menyorot tubuh mungil Sahara yang terukur dari jarak cukup jauh dari tempatnya berdiri. Madhav tidak bisa membayangkan jika benar, bus yang mengalami kecelakaan adalah bus yang seharusnya Sahara naiki.

Madhav kembali ke dua pengunjung yang tadi membicarakan kasus kecelakaan bus.

"Agar mujhe pata hai, to durghatana kab huee? Aur peedit videshee paryatak kahaan se aate hain?" (Kalau boleh tahu, kapan kecelakaan itu terjadi? Dan dari mana asal turis asing yang menjadi korban?)

Pria berjaket merah menggeleng pelan. "Main jyaada nahin jaanata lekin mainne jo suna vah indoneshiya ke do videshee paryatak the." (Aku tidak tahu banyak, tapi yang kudengar ada dua wisatawan asing dari Indonesia yang menjadi korban )

Batin Madhav semakin berkecamuk, dia tidak bisa mematahkan semangat Sahara untuk pulang ke negaranya. Namun, sebelum dia memastikan sendiri kebenaran apakah sepupu dan calon suami Sahara menjadi korban atau tidak, dia akan menyembunyikan perihal kecelakaan bus itu sampai semua benar-benar menemui titik terang.

Setelah mengucapkan pamit, Madhav menemui Sahara yang terlihat menopang kaki kiri ke kaki satunya agar tidak menginjak salju.

•••

Tera Fitoor [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang