Part 8

19 11 3
                                    

Madhav melongo dengan kata terakhir yang Sahara ucapkan. Dia seakan mendapat jutaan pujian. Nampak jelas wajah pria itu tersipu malu. Madhav dibuat salah tingkah. 

Madhav mengusap belakang kepalanya. “Ba-baiklah, jika kau setuju. Tapi, aku boleh minta bantuanmu?”

Senyum Sahara lolos begitu ringan. “Bantuan? Tentu, tentu aku akan membantumu. Katakan, apa yang harus kulakukan?”

Madhav menarik paksa kalung dengan cincin yang melingkar di sana. Cincin yang seharusnya Madhav sematkan ke jari manis mantan kekasihnya. Madhav menarik cincin itu hingga terlepas dari kaitan kalung.

“Awalnya, aku merencanakan sebuah kejutan untuk kekasihku. Aku berniat melamarnya di tempat ini.” Madhav menunduk lesu. “Saat aku mengajaknya kemari, dia selalu memberikan alasan yang tidak dapat kupercaya. Lalu, aku menemuinya di rumah sehari sebelum keberangkatanku kemari, dan … ternyata dia sedang menjadi seorang pengantin wanita bagi pria lain.”

Sahara turut prihatin, dia menepuk-nepuk lengan Madhav. Secara, Sahara juga pernah berada di posisi yang sama. Bedanya, Sahara sama sekali tidak mencintai calon suaminya. Dia mengiyakan perjodohan hanya karena paksaan sang ayah. Tangisnya yang lalu-lalu hanyalah wujud kekecewaan atas pengkhianatan Avni dan calon suaminya itu.

“Dengan saree merah mudanya, dia terlihat cantik sekali saat mengitari api suci. Aku terdiam, membayangkan dia menjadi pengantinku suatu hari nanti. Tapi ….” Madhav mengulas senyum singkat. “Itu tidak akan pernah terjadi. Banyak janji-janji yang dia ingkari yang membuat cintaku sekarat. Aku tidak berdaya, Sahara. Bayang-bayang romantika yang sempat berlayar di permukaan tenang, sudah tenggelam begitu dalam. Aku memutuskan untuk mengunjungi Manali, tempat yang kuharap dapat menghalau air mata yang sudah tak berarti, sendiri.”

“Sudah banyak orang yang bertanya, kapan aku akan membawa pulang kekasihku, mengenalkannya pada keluargaku dengan rasa bangga. Terutama, ibuku. Dia sangat mengharapkan kehadiran menantu di rumahnya. Aku putra satu-satunya yang dia punya, para tetangga banyak yang mencibir kesendirianku. Saat aku mengatakan pada ibu bahwa aku memiliki kekasih, ibu bahkan mengadakan pesta dadakan untuk mengarang cerita pada para tetangga betapa hebatnya kekasihku itu. Yang bahkan, aku tidak pernah memberitahu bagaimana kekasihku itu, menyebut namanya saja tidak pernah.”

“Ibu terus mendesak agar aku segera melamar kekasihku. Diam-diam, ibuku menjual perhiasannya agar dapat membelikan cincin terbaik untukku melamar kekasihku itu. Aku tidak tahu bagaimana rekasi ibu dan keluargaku saat tahu, kekasihku telah mengkhianatiku dan memilih menjadi pengantin wanita dari pria lain. Bahkan sekarang, ibu sedang sakit, dia bersumpah tidak akan membuka mata sebelum melihat calon menantunya,” papar Madhav membuat Sahara mengetahui posisinya dalam membantu pria itu.

“Jadi … kau ingin aku menjadi kekasih pura-puramu?”

Madhav mengusap cincin yang dipegang. “Ya. Itu pun, jika kau mau, tapi aku tidak akan memaksamu jika kau tidak mau.”

“Aku mau!” Entah apa yang membuat Sahara begitu semangat mengiyakan permintaan Madhav. “Maksudku, aku bersedia membantumu. Anggap saja, itu sebagai balas budiku atas semua kebaikan yang kau berikan padaku.”

Madhav menghela napas panjang, mengumbar senyum manis yang berhasil menghipnotis kedua mata Sahara untuk tidak berkedip.

“Syukurlah. Thank you. I mind, kau akan menolak permintaan bodohku itu.”

“Aku pernah mendengar pepatah jawa kuno dari kakekku. Urip iku urup. Hidup itu hendaknya memberikan manfaat bagi orang lain. Dengan aku mengiyakan permintaan itu, aku tidak hanya membantumu saja dari kesulitan, tapi juga membantu ibumu yang sedang sakit, membantu keluargamu agar tidak digunjing oleh para tetangga, dan sekaligus menjaga kehormatan keluargamu. Apa yang aku lakukan tidak sebanding dengan bantuan yang kau berikan,” ucap Sahara tersenyum simpul.

“Sekali lagi, terima kasih. Jadi ….” Madhav memberikan cincin pada Sahara. Namun, perempuan itu justru terdiam lama sambil memperhatikan cincin dengan mahkota safir di atasnya.

“A- apa aku harus memakainya?”

Madhav mengangguk mantap. “Tentu. Semua orang di rumah tahu, aku berniat melamar kekasihku.” Dia memajukan sedikit tangan, meminta Sahara memakainya.

Karena tidak sabaran, Madhav mengambil tangan kanan Sahara, menyempatkan cincin ke jari manisnya. Sedangkan, perempuan yang dipakaikan cincin diam tak bergeming. Meskipun, Madhav melamarnya sebagai kekasih pura-pura, tetap saja, perlakukan itu sukses membuat seluruh tubuhnya menegang.

“Selesai.”

Tangan kanan Sahara masih mengambang di udara. Dia tidak percaya, sekarang, jari manisnya melingkar sebuah cincin cantik pemberian Madhav. Cincin yang seharusnya menjadi tali pengikat cinta Madhav dan kekasihnya, kini dia pakai, ya, dia memakainya.

“Sahara? Are you okay? Hello?” Madhav melambai-lambaikan tangan di depan wajah Sahara yang bak menjadi patung.

“Kau hampir membuatku kehilangan napas,” ujar Sahara tiba-tiba. “Jadi, rasanya seperti ini disematkan cincin oleh seorang pria?” Sahara menyentuh dadanya yang berdegup tak karuan.

“Memangnya, calon suamimu itu tidak memberikan cincin?” tanya Madhav. 

Raut muka Sahara berubah kesal, dia memalingkan diri dari Madhav dan beralih ke sungai di depan. 

Sahara menurunkan kedua pundaknya yang berat. “Jangankan cincin, nama lengkapku saja dia tidak tahu.”

“Hah?” Madhav terkejut dibuatnya. “Calon suami macam apa yang akan kau nikahi, ha?”

“Ya, macam dia. Sejujurnya, kami dijodohkan. Tidak ada cinta yang kami sediakan untuk menjamu pesta pernikahan. Semua yang nampak hanyalah kepalsuan. Dia mencintai sepupuku, Avni. Mereka sudah menjalin hubungan, bahkan sebelum aku hadir di rumah itu. Aku menghentikan perjalanan cinta mereka karena paksaan ayahku. Alasanku kemari karena ayah berharap, aku dan Arjun bisa saling mengenal satu sama lain. Tetapi ….” Sahara terlihat menelisik ulang apa yang sudah terjadi.

“Arjun mengajak serta Avni, dengan alasan, Avni bisa menemaniku selama perjalanan kemari.  Justru sebaliknya, aku yang kesepian sepanjang perjalanan kemari. Banyak potret kemesraan yang diam-diam kurekam. Dan banyak pula kekecewaan yang ikut memandang romantisme mereka. Aku mengalah, lagi pula, mengapa aku terlalu percaya diri bisa bersanding dengan Arjuna Wijaya yang berpendidikan tinggi dan putra pebisnis kaya raya itu. Aku hanyalah Sahara, Saharasmara yang berpendidikan rendah, berasal dari desa, dan kuno.” Di balik pintu tenangnya, sebenarnya, hati Sahara masih mengambang tidak jelas memikirkan masalah yang sudah berlalu.

“Arjun selalu terlihat membandingkanku dengan Avni. Dari ujung rambut hingga ujung kaki, dia ingin melihat perempuan seperti angka seratus, harus sempurna.” Tawa kecil terdengar. “Aku tidak secantik, sepandai, selembut, dan se-se-se lainnya seperti Avni. Aku hanya Sahara, Saharasmara yang sederhana, dan apa adanya.”

Bila diberi izin, Madhav ingin sekali menghapus air mata yang tumpah di pipi Sahara. Dia berupaya menahan diri, ingat, dia tidak memiliki posisi penting di hidup Sahara. Dia hanya tamu yang akan segera berpamitan dengan pemilik hidup.

Sahara menghapus air matanya kasar. Suaranya perlahan pecah, diikuti sesenggukan tangis. Sahara melanjutkan bicara. “A-apa aku … aku tidak berhak dicintai dan dihargai, Madhav?” Dia menoleh.

“A-apa a-aku sebegitu me-menjijikan baginya?” Sahara sudah tak mampu melanjutkan bicara. Dia menangis dan menangis menumpahkan kekecewaan yang menancap dalam di relung hati.

Madhav merengkuh Sahara, memberinya ketenangan. Akhirnya, dia tahu apa yang membuat perempuan itu sempat menangis seperti saat ini. Ternyata, cinta mereka sama-sama dipatahkan untuk sebuah pertemuan di waktu dan tempat yang indah. Itulah takdir. Takdir cinta yang  tidak dibumbui dendam dan benci pada orang-orang yang telah menghancurkannya. Kebencian dan dendam adalah racun yang mematikan, dan cinta adalah penawarnya. Mereka hanya perlu menunggu Tuhan mengarahkan pada penawar bagi hati yang teracuni.

•••

Tera Fitoor [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang