Part 9

23 9 16
                                    

Madhav mengusap-usap telapak tangannya yang hampir membeku. Dia tidak tahu apa yang dilakukan perempuan di dalam kamar mandi, dia hanya menyuruhnya berganti baju yang dia belikan, tapi ini sudah seperempat jam, perempuan itu belum jua menampakkan diri.

Notifikasi pesan masuk memecah dinginnya ruang tengah yang berada di antara kamar Sahara dan Madhav. Dari ayahnya.

Ayah:

Kapan kau akan kemari dan membawa calon menantuku?! Aku bisa mati dalam kegelapan jika kau tidak segera kemari.

Itu bukan gaya bicara ayahnya. Melainkan sang ibu. Tentu, Madhav dibuat tersenyum karena hal itu, sebab, bisa saja, ibunya meminjam ponsel ayahnya untuk mengirim pesan itu.

Madhav mengetik pesan balasan. Tidak sempat mengirim pesan yang sudah diketik, pandangan Madhav jatuh pada kedatangan Sahara yang tampak cantik dengan balutan anarkali berwarna hitam berpadu dengan payet emas sepanjang mata kaki dengan selendang senada bertengger di pundak. Madhav spontan berdiri. Sangking terpesona akan penampilan Sahara, dia menjatuhkan ponsel yang baru dia beli kemarin.

"Ponselmu!" pekik Sahara menunjuk ponsel Madhav yang terjerembab ke lantai.

Parahnya, Madhav hanya menatap heran ponselnya yang ada di lantai tanpa ada niat mengambilnya. Matanya kini penuh akan pesona Sahara yang membekukan seluruh aliran darah.

Takut ponsel Madhav kembali rusak, Sahara berinisiatif mengambilnya, lalu diberikan pada pria itu. Tangan Madhav menerima ponsel pemberian Sahara, tapi tidak dengan matanya yang tak beralih menatap cahaya rembulan di wajah Sahara.

"Saya hanya memiliki dua mata, mengapa Anda menawannya dan tidak memberikan saya kesempatan untuk beralih dari Anda. Kacamata saya rusak, karena tak berhenti menyoroti kecantikan Anda. Saya sudah mencoba beralih, akan tetapi, Anda selalu lewat di depan mata saya. Kedua mata saya penuh dengan wajah Anda, senyum Anda, dan kedipan mata Anda."

Tepuk tangan cukup keras Sahara berikan di depan wajah Madhav. Membuat pria itu tersentak kaget.

"E, e ... kau ... cocok memakai itu," ujar Madhav berhasil membuang muka salah tingkahnya, mengambil tas yang ada di sofa.

"Apa aku harus memakai pakaian seperti ini? Aku merasa tidak nyaman, dan -" Sahara mengangkat kain selendang di pundak. "Apa gunanya selendang sepanjang ini? Untuk menari?"

Madhav sedikit terkejut mendapat pertanyaan itu. Dua puluh delapan tahun hidup di tanah hindustani, baru kali ini ada seorang perempuan yang mempertanyakan apa gunanya selendang yang dipakai oleh wanita-wanita India pada umummya.

"Dupatta. Negaraku menyebutnya dupatta. Dupatta bukan sekadar selendang, itu adalah simbol kesopanan bagi seorang wanita. Dan lambang kesederhanaan wanita India," jelas Madhav. Dia mengencangkan tali tas yang belum pada tempatnya.

Sementara Sahara hanya mengangguk-angguk.

Sebelum meninggalkan penginapan, Madhav mengambil sebuah jaket yang dia belikan juga untuk Sahara.

"Di luar sangat dingin, kau tidak akan tahan jika memakai pakaian itu saja. Setelah sampai di Delhi, kita langsung ke rumah sakit menjenguk ibuku."

Sahara menerima jaket pembelian Madhav dan langsung memakainya. Tak lupa, dia mengambil selendang di bahu untuk digunakan sebagai penutup kepala.

"Kita berangkat sekarang."

Madhav membuka pintu, mempersilakan Sahara keluar terlebih dahulu. Sahara melangkah keluar.

"Sebentar, sepertinya aku meninggalkan sesuatu di kamarku," tukas Madhav buru-buru masuk ke dalam.

Tiba di kamar, Madhav mondar-mandir tidak jelas sembari memegang dadanya yang tak karuan. Jantungnya hampir meledak karena kecantikan Sahara. Napasnya dibuat ngos-ngosan untuk mempertahankan harga dirinya yang dibuat tak berdaya. Satu detik berada di dekat Sahara saja, dia hampir mengidap asma, apalagi, dia akan tinggal satu atap dan otomatis melihat wajah Sahara setiap hari.

Tera Fitoor [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang