Ketika telapak sepatu yang basah itu meninggalkan jejak di lantai, Madhav seakan menemukan kembali jejak cintanya di kantor polisi. Senyumnya mengembang sempurna tatkala bola matanya menangkap sosok perempuan yang tengah duduk di sebelah dua orang tak dia kenali.
Semua pasang mata langsung tertuju pada kehadiran Madhav yang belum beranjak dari ambang pintu. Sahara berdiri, menyerahkan tatapan dingin pada Madhav yang berdiri cukup jauh.
Dengan langkah tergesa, Madhav menghampiri Sahara dan memeluknya. Tapi, pelukan itu terasa begitu hambar, sebab, perempuan itu hanya diam mematung.
"Kau ke mana saja, ha? Semua orang sangat mencemaskanmu," kata Madhav.
Sahara melepaskan diri dari pelukan Madhav dengan sedikit mendorong dada pria itu. Kemudian, dia menunduk ke Citra dan suaminya meminta pamit sekaligus terima kasih atas kebaikan yang telah mereka berikan kepadanya.
"Senang bisa membantumu, Sahara. Jika ada apa-apa, hubungi saja nomor yang ada di kartu nama itu," ujar Citra.
"Tentu." Sahara menanggapi dengan senyum sumringah. Tapi, saat dia kembali ke Madhav, tampang dingin nan datarnya memenuhi wajah.
Netra Sahara melirik Madhav sesaat sebelum dia berlalu dari kantor polisi. Seakan acuh pada kehadiran Madhav, perempuan itu berjalan meninggalkan pria itu dengan penuh tanda tanya yang memenuhi kepala.
"Sorry, aku harus pergi sekarang." Madhav mengeluarkan dompet, mengambil secarik kartu nama dari sana untuk diberikan kepada Sakti. "Bisakah kita bertemu lagi dan membicarakan apa yang telah terjadi pada Sahara?"
Sakti -suami Citra itu memandang istrinya singkat. "Em, mungkin lain kali."
"Aku tidak tahu kebaikan apa yang kalian berikan pada Sahara. Tapi yang jelas, aku akan membalas kebaikan kalian. Sampai jumpa." Usai mengatupkan tangan sebagai salam perpisahan, Madhav buru-buru menyusul Sahara yang bersikap aneh padanya.
Ternyata, Sahara sudah berada di dalam mobil. Dia duduk termenung dengan tatapan lurus dan kaku ke kaca depan yang berembun. Madhav lekas masuk, menutup pintu juga jendela yang mengakibatkan suara dentingan hujan tersamarkan.
Madhav sengaja belum menghidupkan mobilnya, dia berpikir keras untuk meladeni sikap Sahara itu.
"Em, Sahara ... kau." Madhav yang takut salah bicara diam sejenak.
"Jalan! Aku sangat lelah, aku ingin pulang dan beristirahat." Bahkan, nada bicaranya seperti garis lurus.
Tak ingin memancing sikap dingin itu semakin membeku, Madhav menuruti saja permintaan Sahara.
Seluruh perjalanan mereka lalui tanpa ada satu patah kata yang keluar. Hanya ada kontak mata satu pihak, yakni dari Madhav yang berulang kali mengecek perempuan di sampingnya, takut bila perempuan itu pergi sewaktu-waktu dari pandangannya. Sedangkan Sahara? Perempuan itu tetap mempertahankan wajah bekunya sampai mereka tiba di rumah.
Melihat mobil Madhav berganti di depan rumah, Shankar, Leela, Nenek Shinde, Sonu dan Dami langsung keluar secara bersamaan guba menyambut kembali menantu kesayangan mereka.
Semula, Madhav hendak membukakan pintu untuk Sahara. Tetapi, Sahara lebih dulu keluar sebelum Madhav sempat berdiri di dekat pintu mobil. Tak hanya mengacuhkan Madhav, Sahara turut melawati penyambutan yang keluarga Madhav lakukan untuknya. Perempuan itu main masuk ke rumah dan buru-buru ke kamar.
"Kya hua, Madhav? Apa kalian bertengkar lagi?" tanya Leela usai melihat menantunya masuk.
Madhav menggeleng tak tahu. Tidak mau membuat pertanyaan di kepalanya semakin membesar, dia menyusul Sahara, hendak mencari tahu di mana letak kesalahan yang telah dia perbuat, sehingga Sahara seacuh itu.
Diketuk daun pintu tiga kali. Tak lama, Sahara menampakkan diri setelah pintu terbuka.
"Sahara, bisakah kita berbicara sebentar?"
"Ya, memang sudah seharusnya kau berbicara," tandas Sahara.
"Maksudmu?"
Sahara mendekati pagar balkon, dikuti Madhav di sampingnya.
"Bicaralah!"
"Sahara, aku tidak mengerti, mengapa setelah kau kembali, kau sedingin ini? Aku tidak tahu apa salahku, sehingga kau bersikap seperti ini, jika -"
Sahara menyeringai senyum. "Kau tidak tahu letak kesalahanmu? Sungguh?" Mendadak, tawa kecil hadir seiring tubuhnya berhadapan dengan Madhav. Api kemarahan mulai menyala di kedua bola mata. Sahara melempar koran ke dada pria di hadapannya itu. "Aku tidak tahu, kau selicik itu!"
Madhav menurunkan badan, mengambil gulungan koran yang jatuh ke lantai. Saat membawa koran itu naik, matanya tak berhenti memandangi berita kecelakaan bus yang menewaskan calon suami dan sepupu Sahara.
"Kenapa? Kenapa kau harus membunyikan berita sepenting itu, Madhav?!" ujar Sahara berteriak. "Mengapa kau membiarkanku berada dalam penantian yang tak berujung? Kau selalu bertindak mengambil hatiku, tapi sepengetahuanku, kau ... kau mencurangiku? Apa maumu, ha? Apa yang kau mau dari perempuan yang tersesat dan tak memiliki apa-apa?"
Sahara menyeka kasar air mata. "Seharusnya, jika sejak awal kau memberitahuku bus itu kecelakaan, aku pasti sudah pulang bersama ayahku!" Dia menujuk dadanya sendiri.
Mata Madhav terangkat, seolah bertanya, darimana perempuan itu mengetahui semuanya?
"Harusnya aku sudah pulang sekarang! Pulang ke rumahku. Tapi ...." Sahara mengatur napas yang mulai terasa berat seiring derai tangis membubuhi. "Kau ... kau menawanku dengan sangat manis. Bahkan, kau merantai tubuhku dengan kebaikan-kebaikan yang tak bisa kubalas dan membuatku tak bisa berkata pulang setelah kisah cinta yang kau ciptakan di perjalananku. Aku tidak bisa pulang, meskipun aku ingin, Madhav." Perlahan, suaranya melandai.
"Mengapa cinta ini mengajarkanku menjadi seorang yang ketergantungan padamu? Mengapa?"
"Sahara ...."
"Aku tersiksa oleh cintaku sendiri, Madhav. A-aku sangat." Sahara tak meneruskan kalimatnya, tangis yang sedari tadi dia bendung akhirnya runtuh juga.
Tidak tega melihat istrinya menangis seperti itu, Madhav mengambil Sahara dalam pelukannya.
"Cinta tidak salah. Kitalah yang terlalu egois," kata Madhav.
•••
Dua minggu berlalu usai menghilangnya Sahara. Semenjak hari itu, hubungan keduanya bertolak belakang dengan harapan Madhav, dia pikir, setelah Sahara mengucapkan kalimat tak ingin berpisah darinya, itu adalah sebuah kunci yang dapat menutup ruang untuk mereka berpisah. Namun, dia salah, perempuan itu meneruskan sikap dinginnya, bukan hanya kepada Madhav, tapi juga semua orang di rumah ikut diacuhkan oleh Sahara.
Sahara benar-benar diam membisu seperti peran yang sejak awal Madhav minta. Sahara tak lagi meminta diantar ke Masjid Jama seperti dulu-dulu, dia lebih memilih salat di kamar tanpa mengunci pintu, seolah sudah tak peduli bila ada salah satu keluarga Madhav yang mengetahui agama yang dianutnya. Beruntung, Madhav selalu siap siaga di depan kamar Sahara, berjaga-jaga saja bila ada orang yang tiba-tiba datang.
Seperti saat ini yang tengah dia lakukan, duduk memangku laptop di depan pintu sembari membereskan kerjaan. Angin subuh bertabrakan dengan pori-pori kulit yang hanya terbungkus kaos oblong hitam.
Layar ponselnya menyala, memberitahu bahwa ada pesan masuk. Madhav mengecek pesan tersebut.
Decitan pintu dibuka terdengar, buru-buru, Madhav menyembunyikan ponselnya di belakang punggung. Dia mendongak, melihat Sahara yang masih memegang daun pintu.
"So-sorry, mera matlab, maaf bila aku menganggumu lagi di sini," ucapnya berdiri usai meletakkan laptop di lantai.
"Bisakah kau mengantarku ke Masjid Jama siang nanti?"
Kantuk yang mendera tiba-tiba sirna dalam sekejap. Dia sudah lama tak mendengar permintaan itu.
"Tentu! Aku akan pulang lebih awal untuk mengantarmu ke sana," balasnya girang dan penuh semangat.
"Terima kasih." Kemudian, kalimat itu menjadi ucapan terakhir sebelum Sahara menutup pintu kembali.
Senyum yang sempat mekar harus layu akan sikap dingin Sahara. Dia kira, perempuan itu mau menyudahi perang dinginnya, tapi dia salah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Tera Fitoor [END]
Dragoste(Juara 1 Event Writing Marathon Cakra Media Publisher Season 4) [ Romance - Religi - Song Fiction] ●●● Madhavaditya baru saja kehilangan cintanya. Dia mendaki Himalaya untuk mengenang kembali pertemuan sekaligus perpisahannya dengan mendiang sang is...