Part 27

11 4 0
                                    

Sahara kembali menegakkan punggung, sejajar dengan Madhav. “Aku heran, kenapa pihak perempuan yang memberikan seserahan pertunangan? Di negaraku, keluarga pria yang memberikan barang-barang semacam itu kepada keluarga wanita saat mereka  menikah. Mahar, ya, kami menyebutnya dengan mahar. Bahkan dalam Islam, mahar adalah bentuk kewajiban seorang pria bila ingin menikahi seorang wanita. Mahar sendiri juga sebagai wujud seorang pria yang siap memberi nafkah pada calon istrinya.”

Giliran Madhav yang merebahkan punggung di sandaran kursi sembari melipat tangan di belakang kepala.  “Hem, begitu, ya?”

Sahara mengangguk singkat.

“Aku tidak pernah sepenuhnya setuju dengan tradisi berabad-abad yang masih berlanjut hingga kini. Budaya di negeri ini, kurasa, banyak yang membentak posisi kaum perempuan. Kau harus paham, di sini, kedudukan perempuan dan pria tidak sama, ada sekat yang cukup tebal. Sebut saja masalah mahar. Hanya harta ingin mengalahkan kekuatan cinta, setiap jam, perempuan India meninggal karena perkara mas kawin atau mahar. Belum lagi, tuntutan pihak keluarga  suami yang tidak dapat dipenuhi setelah menikah,” kata Madhav.

“Hukum India sudah melarang praktik itu. Namun, hukum itu baru dibuat tak kurang dari satu dekade, sedangkan adat istiadat dan budaya itu sudah ada beratus-ratus tahun yang lalu. Bahkan, ada sebuah berita yang membuat tentang pembakaran seorang perempuan karena tuntutan mahar yang tidak bisa dipenuhi. Aku menyadari, ini adalah suatu budaya keserakahan, tapi, kenyataan di lapangan, orang menganggap ini sebagai sebuah penghormatan pada keluarga mempelai pria dan tali pengikat kedua keluarga.”

Sahara menatap miris apa yang telah Madhav paparkan padanya. “Sebegitu rendahnya posisi perempuan di negara ini? Negara yang bahkan sudah berjalan bersama modernisasi. Mengapa pikiran-pikiran sekolot itu masih menetap di sini? Maaf, aku tidak bermaksud menghina negaramu. Sebagai perempuan, aku tidak bisa menerima praktik-praktik yang merendahkan harga diri wanita. Kau tahu.” Dia menelan ludah dengan getir.

“Perempuan juga manusia, sama seperti pria. Perempuan, itu hanya label yang orang sempatkan. Label yang membawa kaum perempuan pada posisi lemah dan rendah. Tapi, perempuan tidak selemah dan serendah itu. Perempuan memiliki hak yang sama, hak untuk hidup terhormat, hak terbebas dari segala bentuk ketakutan dan hak menentukan pilihan! Di sini, aku tidak mengatakan bahwa kedudukan perempuan harus di atas pria, tidak. Perempuan juga harus tahu batasan-batasan yang ada, begitu pula pria, jangan sampai menjatuhkan batasan-batasan seorang perempuan. Akan terlihat lebih adil bila pria menempatkan seorang perempuan sebagai pendamping, bukan bawahan,” tutur Sahara.

“Aku rasa, negaramu menempatkan  perempuan di posisi yang baik.” Madhav melepas napas panjang hingga kedua pundaknya ikut turun. “Masalah mahar, hanya satu dari sekian banyak tuntunan yang harus dialami perempuan negeri ini.”

“Nenekmu.” Tiba-tiba, Sahara memotong jalan bicara Madhav. “Sejak datang dan tinggal di rumah ini, aku tidak pernah menyaksikan nenekmu memakai pakaian seperti ibumu. Dan, setiap selesai salat subuh, aku selalu melihat Nenek Shinde keluar dari rumah membawa tas. Mengapa Nenek Shinde seakan tidak memiliki haknya sebagai orang yang dituakan di rumah ini, Madhav? Bahkan, terkadang, aku melihat dari balkon kamar, nenekmu tidak diperlakukan dengan hormat oleh orang-orang.”

“Itu karena, nenekku sudah kehilangan suaminya. Ya, sebut saja, janda. Ini salah satu budaya yang menyedihkan di sini, Sahara. Setiap perempuan penganut Hindu yang sudah menikah, lalu suaminya meninggal, maka, perempuan itu harus menanggalkan semua perhiasannya, termasuk cara berpakaian, seumur hidup, mereka hanya diperkenankan memakai pakaian putih, harus mandi di Sungai Yamuna setiap pagi, tidak diperbolehkan mengikuti perayaan keagamaan, perayaan pernikahan, dan bahkan ada yang tidak memperbolehkan mereka menikah lagi.”

Raut wajah Sahara nampak tambah kesal. Dia merasa  tak habis pikir saja.

“Tapi, Sahara. Nenekku termasuk beruntung dari janda-janda lain di luar sana. Kebanyakan, perempuan yang menjadi janda akan dikirim oleh keluarganya ke Vrindavan, berjarak 100 km di selatan Delhi, sebuah kota tempat bernaung lebih dari dua puluh ribu janda. Mereka akan menghabiskan usia mereka dengan tekanan dari masyarakat yang cukup menyulitkan. Kami tidak bisa mengirim nenek  ke sana, karena kami sangat menghormatinya. ”

“Sebagai perempuan muslim, hal itu sangat disayangkan dari kacamata kemanusiaan. Hanya karena mereka perempuan, mereka dikeluarkan dari hak-hak kebebasan sebagai seorang manusia. Aku sangat menghargai budaya di negaramu, tapi tidak dengan budaya yang merendahkan harga diri perempuan. Karena sejatinya, perempuan dan pria memiliki kedudukan yang sama sebagai hamba Tuhan. Manusia yang tinggi derajatnya bukan pria, bukan pula wanita, tapi yang paling baik akhlak dan imannya,” ujar Sahara.

Satu kata yang menghiasi otak Madhav. Kagum. Sampai-sampai, dia tak yakin dengan ucapan Sahara yang mengatakan dirinya adalah siswa peringkat terakhir sewaktu SMA.

“Aku setuju. Hem, sepertinya kita sudah berbicara terlalu jauh dari topik utama. Aku sedikit lelah hari ini, punggungku juga masih sedikit sakit. Bagaimana jika, kita lanjutkan besok saja saat mengantarmu ke masjid?”

Sahara terkekeh. “Astaga, aku tidak tahu kita berbicara sejauh itu. Baiklah, baiklah, aku juga sangat lelah, apalagi tidak bersuara dalam satu jam, rasanya benar-benar menyiksa pita suara. Sebentar, kau bilang, kau akan mengantarku ke masjid? Masjid yang besar itu?”

Madhav menganggukkan kepala.

“Sungguh?”

“Iya. Kau sudah lama tidak ke sana ‘kan?”

“Aku benar-benar merindukan ketenangan. Bukannya apa-apa, setiap kali salat di rumah, aku selalu was-was, takut ada orang yang tahu. Tapi, Madhav.” Dia menunduk singkat, lalu menatap Madhav di sampingnya. “Em, biarkan aku salat di rumah saja, lagi pula, sampai sekarang identitasku sebagai seorang muslim masih aman. Kau bisa  mengantar Nenek Shinde ke Sungai Yamuna. Aku merasa malu karena lebih diutamakan olehmu daripada nenekmu sendiri. Ya?”

Madhav menggeleng pelan. “Ya. Aku akan  menuruti permintaan calon menantu Nyonya Leela Shah Kapadia.”

Sahara memberikan dua jempol pada Madhav. “Sip!” Kemudian, dia berpamitan untuk beristirahat di kamar.

“Sahara!” Panggil Madhav lekas membuat Sahara memutar badan.

"Main aapse pyaar karatee hoon. Mujhe aapakee saadagee pasand hai. Aapake saath khush ho."  (Aku menyukaimu. Aku menyukai  kesederhanaanmu. Senang bisa bersamamu.)

“Hah?” Kening Sahara bertanya. “Berbicaralah yang benar, Madhav. Aku tidak paham.”

“Em, aku hanya berkata, selamat beristirahat.”

“Kau juga. Selamat malam.”

Lambaian tangan Sahara mengakhiri percakapan mereka, sekaligus melegakan napas Madhav yang sempat tertahan karena entah dorongan apa membuatnya menyatakan cinta. Pernyataan yang bahkan tak dapat Sahara pahami.

•••

Untuk menghindari kecurigaan teman-teman kantor, Madhav sengaja menarik rencana pernikahannya ke Mumbai, tepatnya di sebuah rumah mewah yang sengaja dia sewa sebagai rumah keluarga Sahara. Berbagai persiapan menjelang pernikahan sudah hampir selesai, walaupun terkesan dadakan, tapi Madhav mampu bergerak cepat membereskan setiap masalah yang ada. Seperti sekarang ini, di saat keluarganya mempertanyakan status pernikahannya dan Sahara, kenapa Madhav tidak mendaftarkan pernikahan mereka di bagian hukum negara dan memilih melangsungkan upacara pernikahan saja.

Madhav berdalih, mereka tidak memiliki banyak waktu, mengingat, Sahara akan segera berangkat ke London untuk kuliah. Semua orang percaya. Dan tidak ada yang mempermasalahkan lagi hal itu.

Tera Fitoor [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang