Dengan isyarat tangan, Shankar mempersilakan Sahara masuk setelah dibukakan pintu. Untuk mengucapkan terima kasih, Sahara mengatupkan kedua tangan sambil menunduk singkat.
“Pastikan, menantuku tiba di kuil dengan selamat.”
“Yes, Sir,” ucap supir tuktuk yang sudah biasa mengantar Yohani ke pasar untuk berbelanja.
Sebelum tuktuk itu membawanya pergi, Sahara melambaikan tangan pada ayah mertuanya.
Mesin tuktuk mengiringi detak jantung Sahara yang berdegup kencang. Ini akan menjadi pengalaman pertamanya, pergi dari rumah tanpa Madhav. Tentu, dia sedikit gugup. Roda-roda tuktuk mulai membelah kerumunan angin sepoi yang berembus dari rongga-rongga jendela. Sahara hanya terdiam sepanjang perjalanan.
“Setelah masuk ke tuktuk, tunjukkan lembar kedua buku ini. Aku sudah menulis agar kau diantar ke Masjid Jama.”
Sahara lekas teringat ucapan Madhav dan menepuk bahu supir tuktuk itu. Pria yang berumur sekitar 50 tahun itu menoleh, membaca sekilas tulisan pada buku itu.
“Masjid? Tum mandir nahin ja rahee ho, madam? Lagi pula, apa yang akan Nona lakukan di masjid?” ( Masjid? Bukankah kau akan ke kuil, Nona? …)
Hanya satu kata yang Sahara ketahui. Masjid. Sekarang, dia tak tahu harus menggeleng atau mengangguk. Semua sama saja serba salah sekarang.
Sahara menutup mulut, dia mulai gelisah. Kembali dia tepuk pelan punggung supir tuktuk , lalu menunjukkan lembar ketiga. Di sana tertulis, berapa yang harus saya bayar?
“Kau tidak perlu membayar lagi, Nona. Ayah mertua Anda sudah membayar saya.”
Sahara makin bingung. Dia membuka lembar keempat. Dia kembali menepuk bahu supir tuktuk. Karena kebetulan jalanan sedang macet, supir tuktuk itu bisa dengan sigap menoleh. Di lembar keempat tertulis, ambil saja kembaliannya, Tuan.
Sontak, supir tuktuk itu memundurkan wajah beberapa centi. Dia sungguh bingung dengan sikap menantu keluarga Shah Kapadia itu.
Karena tak kunjung mendapatkan respon yang diinginkan. Sahara membuka lembar terakhir. Di sana hanya ada nomor ponsel dan alamat rumah Madhav yang ditulis menggunakan aksara hindi.
Sorak-sorai klakson berpesta di mana-mana guna mengurangi kemacetan yang ada. Udara semakin mencekik tenggorokan Sahara yang kering kerontang. Sudah seperempat jam, tapi tuktuk yang dua tumpangi belum jua beranjak.
Netranya menangkap matahari di atas sana yang mulai meninggi. Sahara yakin, waktu salat dzuhur akan segera tiba. Dia makin gusar dan panik, ingin sekali dia mengatakan pada supir tuktuk itu agar membawanya pulang. Tapi, dengan kalimat apa dia harus memintanya?
Perlahan tapi pasti, tuktuk yang ditumpangi Sahara mulai bergerak menjelajahi jalanan Delhi yang sudah mulai lenggang. Rupanya, biang kemacetan itu adalah segerombolan sapi yang berkeliaran di tengah jalan. Karena sapi adalah hewan yang sangat dihormati umat Hindu India, orang-orang lebih memilih menunggu sapi-sapi itu menyingkir sendiri dari jalanan ketimbang mengusiknya.
Kepala Sahara sedikit menyembul ke luar. Dia nampak asing dengan jalanan yang dia lalui. Jalanan itu berbeda dengan jalan yang biasa dia lewati bersama Madhav. Sahara mencoba berpikir jernih, mungkin, supir tuktuk itu mencari jalan pintas.
Namun, pikiran jernihnya berubah keruh. Sahara keluar dengan mata bertanya, dia memperhatikan sekitar, itu tidak sama dengan kawasan Masjid Jama yang biasa dia kunjungi. Tepat di depannya, ada bangunan kuil yang begitu megah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tera Fitoor [END]
Storie d'amore(Juara 1 Event Writing Marathon Cakra Media Publisher Season 4) [ Romance - Religi - Song Fiction] ●●● Madhavaditya baru saja kehilangan cintanya. Dia mendaki Himalaya untuk mengenang kembali pertemuan sekaligus perpisahannya dengan mendiang sang is...