Di kantor, Madhav berjibaku melawan waktu yang semakin mendekat ke arah jam tiga sore. Waktu salat Sahara akan segera tiba, tetapi, pekerjaannya belum selesai. Ditambah kini, perasaan Madhav tiba-tiba menjadi tidak tenang.
Madhav mengambil ponsel di saku kemeja, menelepon Ajay. Cukup lama teleponnya dibiarkan berdering oleh Ajay. Dia tak menyerah, sekali lagi, Madhav menghubungi sepupunya itu. Sama seperti tadi, hanya berdering. Sambungan terputus. Dia giliran mengirim pesan pada Ajay, bertanya apakah Sahara baik-baik saja atau tidak. Terkirim, tapi belum dibaca.
“Kenapa aku mendadak gelisah sekali?” Madhav menggeser posisi duduk agar lebih nyaman. Manik matanya bergeser ke patung kecil yang ada di atas meja kerja. Dia memejamkan mata seraya menyatukan kedua telapak tangan. Bukannya ketenangan yang hadir, bayangan Sahara justru muncul di pikirannya. Kelopak matanya terbuka lebar-lebar.
Madhav buru-buru mematikan komputer, lalu menyambar tasnya selagi berlari ke luar ruangan. Berbagai tanya Madhav terima dari rekan kerja maupun karyawan yang lagi-lagi mendapati Madhav pergi di jam kerja. Tapi, tak ada satu pun jawaban yang Madhav berikan, pria berkemeja biru itu menghampiri motornya yang terparkir. Dia harus segera mengantar Sahara ke masjid sebelum azan datang. Tak hanya itu, kegelisahan yang semakin menggila tidak kalah membuatnya memacu motor dengan cukup kencang di jalanan yang ramai.
Madhav melirik jarum jam di tangannya. Waktu yang dia miliki semakin mepet, dia tidak mungkin tiba tepat waktu untuk mengantar Sahara ke masjid.
Samar-samar, Madhav mendengar lantunan azan di jalan. Madhav kesal sendiri karena tidak bisa menepati ucapannya sendiri. Nasi telah menjadi bubur. Mau tidak mau, Madhav harus mencari cara lain agar Sahara bisa beribadah dengan tenang tanpa rasa was-was.
Karena sangat mencemaskan Sahara, setibanya di depan rumah. Madhav sampai tidak sadar masih memakai helm saat masuk ke rumah. Alhasil, seluruh keluarganya yang sedang berkumpul merayakan Sahara yang setuju menikah dengan Madhav itu pun menatapnya heran.
“Kya? Kenapa kalian menatapku seperti itu?” tanya Madhav yang sudah berada di tengah-tengah keluarganya.
“Nak, pegang kepalamu!” pinta Shankar.
Tangan Madhav meraba kepala yang masih dilapisi helm. Sontak, Madhav terkekeh diikuti gelak tawa semua orang. Tanpa terkecuali Sahara yang tengah menuruni tangga. Suara tawanya dia bungkam cepat saat Madhav memperingatkan dengan isyarat telunjuk di depan bibir. Sahara mengangguk saja.
“Ada apa ini? Sepertinya kalian sedang merayakan sesuatu?” tanya Madhav beruntun.
Shankar mendekati putranya, memberikan sebutir manisan. Tidak peduli ekspresi Madhav yang bertanya-tanya, Shankar menyuruhnya memakan manisan itu. Satu gigitan Madhav berikan.
Kemudian, Shankar menepuk pundak Madhav tegas.
“Congratulations, mere bete. Aap jald hee pati ban jaenge. Sahara ke lie pati.” ( Selamat, Putraku. Kau akam segera menjadi seorang suami. Suami untuk Sahara )
Mulut Madhav kaku, matanya tak dapat berkedip, oksigen di ruangan itu seakan habis dan mencekik dadanya. Netranya menangkap Sahara yang berdiri di sebelah kiri kursi Nenek Shinde. Sahara nampak tersenyum santai karena sama sekali tidak tahu apa dampak dari gelengan kepala yang dia beri pada Leela.
“Me-me-menikah?” Bibir Madhav bergetar hebat.
Leela tidak tinggal diam, dia ikut dalam pembicaraan putra dan suaminya.
“Memangnya kenapa? Apa kau tidak ingin menikahi Sahara, Madhav? Apa karena kau sudah memiliki wanita lain?”
“Hah?” Jarak kedua alisnya sempat menipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tera Fitoor [END]
Romance(Juara 1 Event Writing Marathon Cakra Media Publisher Season 4) [ Romance - Religi - Song Fiction] ●●● Madhavaditya baru saja kehilangan cintanya. Dia mendaki Himalaya untuk mengenang kembali pertemuan sekaligus perpisahannya dengan mendiang sang is...