Part 33

13 5 0
                                    

Saat Madhav begitu mencemaskan keberadaan dan keadaannya, Sahara justru melewati seorang polisi yang tengah bertugas. Karena seragam yang dipakai polisi itu seperti warna seragam PNS, Sahara tidak tahu bahwa orang itu adalah polisi.

Sekarang, dia terus berjalan menahan lapar. Perutnya sudah kembung makan angin dan polusi. Dia menggosok perutnya yang mulai berteriak minta makan.

“Apa aku akan mati sebelum bisa pulang ke Indonesia?” Entahlah, kenapa tanya itu tiba-tiba mencuat.

Karena bisingnya lalu lintas, Sahara sama sekali tak mendengarkan suara azan. Mengandalkan gerak matahari, Sahara hanya mengira-ngira waktu salat asar. Kembali, dia mencari tempat bersembunyi. Dia tidak berwudu lagi karena masih menjaga wudunya. Hal itu terus dia lakukan sampai menjelang malam. Berjalan tanpa kepastian dan ditemani ketakutan.

Di tengah gelapnya malam, telapak kakinya sudah meminta jatah istirahat. Dia harus menyimpan energi untuk esok hari mencari kantor polisi.

Dengan bersandar dinding sebuah toko yang tutup dan beralaskan kardus, Sahara tertidur diselimuti lelah.

Baru beberapa menit dirinya hanyut ke alam mimpi, mendadak, Sahara dibangunkan oleh rasa sakit yang luar biasa di bagian perut. Dia menggerang kesakitan dan hampir menangis. Maag-nya kambuh! Ditambah, air yang dia minum tadi siang menambah rasa sakitnya menjadi dua kali lipat. Karena tidak kuasa menahan rasa sakit itu, Sahara berniat  meminta pertolongan kepada pengguna jalan.

Namun, ditengah malam yang senyap itu, tidak ada satu pun kendaraan yang lewat. Kebisingan siang hari bak lenyap dalam satu waktu.

Sambil setengah membungkuk dan memegang perut, Sahara melambaikan tangan kepada mobil yang sorot lampunya menyorotinya. Belum sempat melihat apakah mobil itu berhenti atau tidak, rasa sakit di perutnya menumbangkan Sahara ke aspal.

•••

Dengan punggung bersandar pintu mobil, Madhav yang bersedekap diselimuti angin malam tak mampu menyembunyikan kesedihan mendalam atas menghilangnya Sahara. Rasanya, baru tadi pagi dia berpamitan pada istrinya itu, tapi sekarang, justru Sahara yang pamit pergi tanpa memberitahu ke mana tujuannya.

Madhav mengabaikan dering ponsel yang sejak tadi berbunyi. Panggilan dari orang rumah tak ada yang dia tanggapi, dia hanya bisa fokus mencari Sahara untuk saat ini.

Meninggalkan mobilnya yang terparkir di bahu jalan, pria berjaket hitam itu mengeluarkan ponsel, mencari foto Sahara untuk diperlihatkan kepada orang sekitar. Dari pencarian yang dilakukan sejak siang, hanya ada satu petunjuk yang didapat. Seorang penjual es krim kulfi tidak sengaja melihat Sahara yang meneguk air keran. Penjual itu mengatakan, Sahara berjalan seperti orang kebingungan ke arah selatan  kuil.

Tapi sampai saat ini, belum ada petunjuk lagi mengenai keberadaan Sahara. Semua orang yang dia tanyai hanya memupuk keputusasaan Madhav semakin besar.

Madhav berdiri di samping tiang listrik, menyandarkan sebelah bahunya di sana. Sosok Sahara yang nampak cantik di galeri ponsel dia usap pelan. Dia sangat tersiksa oleh kerinduan yang tak memiliki jalan bertemu.

“Bagaimana Sahara akan pulang? Oh Dewa, mengapa. Mengapa di saat kami mulai bersama, Engkau menjauhkan kami dengan cara yang tak dapat aku terima?” 

Madhav berlalu, menemui mobilnya yang tadi terparkir. Kini, dia sudah mengerahkan seluruh upayanya. Bahkan, ayahnya juga sudah membuat laporan tentang menghilangnya sang menantu. Saat usaha telah bekerja, maka, doalah yang akan menyempurnakannya.

Usai memarkirkan mobil, Madhav turun dari mobil dan langsung disambut hangat oleh angin kosong. Telapak kakinya bergantian berpijak di deretan anak tangga. Dilepas kedua alas kaki sebelum memasuki kuil. Kemudian, tangannya yang jenjang menggapai lonceng.

Tera Fitoor [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang