"Sahara. I didn't mean anything, tapi, apa yang kau lakukan? Kau ...." Madhav menarik raut kesal seketika usai perempuan di depannya berkacak pinggang, menatapnya marah.
"Hei, hei, hei, Tuan India. Harusnya kau marah pada dirimu sendiri, kenapa kau tidak memberitahu keluargamu jika aku tidak bisa berbicara dengan Bahasa Hindi? Kau juga tidak mencoba memberiku arahan, jadi jangan heran bila aku melakukan apapun sesukaku." Sahara membelakangi Madhav. Wajahnya murung menatap jalanan depan rumah sakit yang sangat ramai.
"Ck! Baiklah, aku mengakui, aku yang salah. Seharusnya, aku mengarahkanmu, bukannya menyalahkanmu," tukasnya. Madhav menarik pundak Sahara, agar perempuan itu menghadap kembali. Madhav menaruh kedua tangan di telinga. "Maaf."
"Apa yang kau lakukan? Kau ingin mengejekku?"
"Bu-bukan." Madhav menurunkan tangannya. "Biasanya, kami memegang kedua telinga sebagai tanda maaf."
"Seperti itu cara meminta maaf? Maaf, aku tidak menerima permintaan maaf seperti itu." Kembali, Sahara memalingkan muka.
Perlahan, Madhav menurunkan lututnya ke lantai. Dia bersimpuh di samping Sahara yang bersikap dingin. Rupa-rupanya, Sahara mengintip Madhav yang berlutut sambil mengulurkan tangan padanya. Semula, Sahara berniat mendiamkan pria itu. Akan tetapi, dia luluh dan tidak tega melihat wajah memelas Madhav.
Sahara menyusul Madhav duduk di lantai sembari menyilangkan kedua kaki. Madhav mengikuti dan duduk berhadapan.
"Maaf," ujarnya tidak jera mengulurkan tangan.
Sahara menerima uluran tangan Madhav sebagai permintaan maaf. Senyum kecil Sahara menerangi dunia Madhav. Lalu, keduanya tersenyum canggung, disusul senyap yang hinggap cukup lama.
Madhav berdeham. "Keluargaku, mereka sangat menjunjung tinggi tradisi." Dia membuka suara pada akhirnya.
"Sejak membuka mata, hingga mata mereka terlelap dalam tidur, semua diatur oleh tradisi dan aturan agama. Oleh karena itu, tidak heran jika keluargaku sedikit bingung dengan sikapmu. Tapi itu tidak masalah, Sahara. Di sini, aku yang salah, jadi, aku juga yang akan mencari cara untuk memperbaikinya."
Sahara mengangguk tegas. "Harus!"
"Seharusnya, aku tidak hanya membekalimu dengan menyatukan telapak tangan lalu tersenyum pada semua orang saja, tapi juga hal-hal sepele yang sering kami lakukan. Mungkin, karena aku sedikit gugup bertemu ibuku, aku menjadi lalai soal itu." Madhav tampak merasa begitu bersalah. "Sahara, dengarkan aku! Setiap kali kita bertemu orang yang lebih tua, hendaknya kita membungkuk, mengulurkan tangan kita ke punggung kaki para orang tua, meminta berkat, itu yang kami lakukan. Dan itu pula yang sejak tadi ingin aku sampaikan."
Sahara menggaruk kening. "Yah, aku kira, ibumu memintaku untuk memijat kakinya, karena ibumu terus menujuk-nunjuk kaki," ujarnya penuh kepolosan.
Muka lugu Sahara menarik senyum Madhav keluar dari sarangnya.
"Tidak, kau salah. Memang, terlihat sedikit berlebihan, tapi tidak masalah jika kau menyalami mereka seperti budaya di negaramu."
Sahara menggeleng penuh. "Aku pernah membaca pepatah di sebuah bungkus makanan. Bunyinya begini." Sahara memperbaiki letak suara agar terdengar seperti penyair. "Di mana bumi dipijak, di situ langit di junjung. Di manapun kita berada, kita harus menghormati tradisi dan adat istiadat di tempat kita berdiri atau tinggal. Sekali pun, aku tidak berada di negaraku, aku akan tetap menghormati budaya dan tradisi di negara ini."
"Kau tahu, di negaraku memiliki ribuan suku, ribuan budaya, ratusan bahasa, dan enam agama yang berbeda, tapi kami bisa saling menghormati satu sama lain tanpa melihat perbedaan yang kami miliki. Itu yang telah negaraku ajarkan, bahwa perbedaan itu menyatukan, bukan menjatuhkan satu sama lain. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh." Sahara mengepalkan tangan, layaknya berorasi di hari 17-an.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tera Fitoor [END]
Romance(Juara 1 Event Writing Marathon Cakra Media Publisher Season 4) [ Romance - Religi - Song Fiction] ●●● Madhavaditya baru saja kehilangan cintanya. Dia mendaki Himalaya untuk mengenang kembali pertemuan sekaligus perpisahannya dengan mendiang sang is...