Part 20

14 6 2
                                    

"Pertunangan. Ya, Ibuku bertanya, apa kau marah karena aku memarahimu, kau menggeleng?"

Sahara mengangguk singkat.

"Ibuku bertanya lagi, apa kita bertengkar karena wanita lain? Kau menggeleng lagi 'kan?"

"I-iya, aku asal menggeleng saja. Kupikir itu sudah jawaban yang tepat."

"Lalu, Ibuku menawarimu untuk bertunangan denganku. Dan kau, menggeleng lagi?"

Sahara melolot. "Pe-pertunangan?"

"Iya," jawab Madhav mantap. Dia gemas melihat ekspresi bingung beradu lugi Sahara itu. "Aku tidak akan memaksamu jika kau ..."

Suara Madhav takluk saat jari telunjuk Sahara mengarah ke mulutnya. "Aku mengizinkan diriku menjadi tunanganmu. Lagi pula, kita hanya akan bersandiwara, bukan?"

Madhav menegakkan kaki. "Ka-kau serius? Tapi, Sahara. Bukan seperti itu , I-ibuku dia ...."

"Hush! Jangan menolak permintaan orang tua, apalagi ibu. Agamaku sangat menjunjung tinggi kedudukan seorang ibu, berbeda dari kedudukan perempuan yang belum menikah. Bahkan, Rasulullah menyebut Ibu sebanyak tiga kali sedangkan ayah disebut sekali dalam sebuah riwayatnya. Aku tidak sedang membanding-bandingkan atau menyebut perempuan yang belum menikah tidak memiliki harga diri. Karena, perempuan lajang belum melewati 3 fase kesulitan seorang ibu. Mengandung, melahirkan dan menyusui. Begitu juga seorang ayah. Jadi jika dipikir-pikir, banyak hal yang seorang ibu korbankan demi anaknya. Dan aku sangat menghargai itu," jelas Sahara. Perempuan itu berjalan mendekat jendela. Dia sandaran satu bahu ke dinding sambil bersedekap.

"Aku hidup sebatang kara. Tanpa kasih sayang ibu atau ayah, tapi di sini, banyak orang yang mencintaiku seperti putri mereka sendiri. Aku tidak ingin membuat mereka kecewa karena aku. Walaupun, cepat atau lambat aku akan kembali ke negaraku, setidaknya, aku sudah membayar lunas kebaikanmu." Senyum Sahara merekah seiring menoleh ke Madhav yang berdiri mematung.

"Sahara ...."

"Bagaimana jika kita percepat saja pertunangannya. Lalu, kita bisa cepat menemukan jalan agar aku bisa kembali ke Indonesia. Oh iya, apa kau sudah mendapat kabar dari temanmu yang ada di Manali itu?" Entah mengapa Sahara tiba-tiba mengalihkan topik.

"A-aku belum menghubungi lagi. Sahara, sorry. Are you serious? Matlab, kau serius dengan ucapan soal kau yang setuju untuk bertunangan denganku?" Sangking syok-nya, lidah Madhav kelu. Alhasil, dia mengucapkan kalimat yang mengandung tiga unsur bahasa sekaligus.

Sahara mengangguk mantap. "Hei, kau meragukan ucapan perempuan Indonesia sepertiku? Aku 'kan sudah pernah bilang, aku ingin mencicil kebaikanmu. Apa salahnya, lagi pula, kita hanya akan berpura-pura, seperti berakting. Dan itu tidak masalah."

"Tidak, Sahara! Kau salah besar. Kita tidak hanya akan berpura-pura bertunangan. Tapi, menikah. A-aku pikir, kau akan menolaknya dan urusan selesai. Oh cinta, apa yang telah kau lakukan?" Batin Madhav beradu-padu.

"Hei! Kenapa kau malah diam lagi?" Kesal Sahara padanya.

"Aku ... em."

"A-em-a-em, bicaralah yang benar, Madhav!"

"Sa-Sahara, kau yakin dengan keputusanmu?" Dalam hati yang terdalam, Madhav hendak membatalkan rencananya untuk menikahi Sahara tanpa sepengetahuannya. Itu hanya kilasan rencana yang buruk. Dan dia yakin, bila hal itu benar terjadi, dia tidak tahu drama apa lagi yang akan tersaji. "Aku, aku akan berbicara pada Ibu tentang dirimu sebenarnya. Kau ...."

Sigap, Sahara membungkam Madhav. Sahara mendesis. "Diam dan percayakan semua padaku. Ini hanya sekadar pertunangan bukan pernikahan. Jadi, tidak ada ikatan apapun di antara kita, lagi pun, kau masih belum melupakan mantan pacarmu itu 'kan?"

Madhav menepis tangan Sahara dari mulutnya. "Tapi, Sahara."

"Ish! Jangan banyak tapi-tapi lagi, Madhav. Ayo! Sekarang kita turun sebelum semua orang mencurigai kita." Sahara menyeret Madhav yang tengah berada di posisi serba salah.

Kunci pintu diputar, perlahan, pintu terbuka dan menampilkan seisi rumah yang sejak tadi menguping pembicaraan Madhav dan Sahara. Tapi untungnya, ruangan itu kedap suara dan tidak ada satu informasi pun yang mereka dapat. Mereka tersenyum malu karena ketahuan menguping.

"Ne-nek? Ibu? Ayah? Paman Sonu? Ajay? Ka-kalian?" Madhav menunjuk mereka satu persatu. "Apa yang kalian lakukan di depan kamar Sahara?"

Leela dan Nenek Shinde berkacak pinggang. "Harusnya, kami yang bertanya padamu, Madhav. Untuk apa kau masuk ke kamar seorang perempuan lajang, ha?"

Sahara menoleh, meminta penjelasan. Madhav menggeleng pelan, meminta Sahara untuk tetap diam dan tenang.

"Javaab den, Madhav!" Tekan Nenek Shinde dengan mata menginterogasi.

"Ibu, Leela, sudahlah, mungkin mereka sedang membicarakan tentang rencana pernikahan. Ini akan menjadi sebuah momentum paling berharga bagi hubungan mereka. Jadi, tidak masalah jika mereka memerlukan waktu untuk berbicara berdua dari hati ke hati," bela Shankar yang langsung mendorong senyuman hangat Madhav keluar.

Sahara yang melihat Madhav mulai senang, ikut tersenyum. Meskipun, dia tidak dapat menerjemahkan situasi, tapi dia bisa melihat aura orang-orang di sekitarnya berubah dingin usai Shankar berbicara sesuatu.

"Ya, ya, ya, bela saja putra kesayanganmu, tapi tetap saja, apa yang dilakukan Madhav tidak dapat dibenarkan oleh adat istiadat. Terserah, terserah kai mau membelanya atau apa, aku harus istirahat sekarang."

"Nenek." Madhav mencoba menjelaskan pada Nenek Shinde alasan apa yang membawanya ke kamar Sahara, meski dia harus menyatakan sebuah kebohongan, itu tidak masalah, yang penting neneknya tidak murka lagi. Akan tetapi, niatnya itu ditahan oleh Shankar.

"Biarkan Ayah yang berbicara pada nenekmu. Turun dan lanjutkan pesta menyambut hari pernikahan kalian."

"Tapi, Ayah?"

"Sudahlah, Madhav. Ikuti saja ucapan Ayahmu."

Leela menarik Sahara. Sontak, Madhav ikut terbawa langkah keduanya karena tangan Sahara masih menggenggam erat tangannya.

Pesta kecil-kecilan itu kembali dilanjutkan. Sahara terlihat asyik dalam diamnya, sedangkan Madhav sibuk menyimak ucapan Leela yang tidak ada tanda-tanda akan selesai.

"Setelah ini, katakan pada Sahara, suruh orang tuanya datang kemari untuk melakukan lamaran. Katakan juga, bahwa kami tidak mematok mahar, berapapun mahar yang diberikan oleh keluarga calon pengantin perempuan, akan kami terima. Kehadiran Sahara saja, bagi Ibu, itu sudah tidak ternilai harganya."

Madhav terenyuh. Dia tidak menyangka ibunya sebegitu tulusnya menginginkan putranya menikah. Bahkan, ibunya tidak menolak Sahara atas kekurangan yang dia buat-buat itu. Jujur, hatinya merasa marah dan bersalah karena tidak dapat memberitahu yang sebenarnya. Ingin, ingin sekali dia menjelaskan semuanya. Hanya saja, seperti yang Sahara bilang, dia tidak boleh menyakiti atau pun mengecewakan ibunya. Ibu yang telah mengorbankan separuh umurnya untuk membesarkan dirinya menjadi seorang Madhavaditya sampai detik ini. Tak terasa, air mata bahagia mengalir.

Leela mengusap pipi putranya yang berlinang air mata. Lalu, telapak tangannya tertahan di pipi Madhav.

"Kau sudah menepati janjimu. Membawa calon menantu, Ibu. Syukriya, Madhavaditya."

Madhav yang tak mampu mengimbangi suasana haru itu pun memeluk ibunya erat. Sahara menorehkan senyum manis melihat kehangatan antara ibu dan anam itu. Ah, entah kenapa, tiba-tiba dia merindukan pelukan seorang ibu. Terakhir kali dia mendapatkan pelukan dari ibunya saat Sahara berumur lima tahun. Itu pun di saat detik-detik ibunya menghembuskan napas terakhir. Bukan kehangatan yang Sahara terima, justru dinginnya tubuh sang ibu yang perlahan menuju alam keabadian.

Leela yang menyadari bahwa Sahara juga menginginkan pelukan pun memberi tatapan mengajak. Sahara tidak menolak sama sekali, dia turut dalam kehangatan pelukan seorang ibu. Ibu yang telah membesarkan seseorang pria yang akan segera menjadi suami tanpa sepengetahuannya.

"Dewa selalu memberkati cinta kalian," ucap Leela mengusap punggung Madhav, lalu Sahara.

•••

Tera Fitoor [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang