Part 38

12 3 0
                                    

Perlahan, Madhav menurunkan lutut hingga bersentuhan dengan lantai. Bersama rasa bersalah, dia mengulurkan tangan sebagai tanda permintaan maaf.

"Ya, aku akui. Aku tidak pernah datang ke Manali saat itu, Sahara."

"Karena?" Sahara memotong kalimat Madhav tak sabaran.

"Karena ...." Wajahnya yang semula menunduk terangkat, mengarah ke Sahara yang kembali bersikap dingin. Dia tidak memiliki kelanjutan penjelasan, apakah dengan alasan cinta, perempuan di depannya itu akan menerimanya? Yang Madhav tahu sekarang, Sahara butuh penjelasan yang tak sekadar omong kosong belaka, tapi sebuah perbuatan yang nyata.

"Kau tidak bisa menjawab? Baiklah, itu artinya benar, kau tidak bersungguh-sungguh ingin mengantarku pulang, Madhav. Jika sejak awal aku mengetahui kelicikanmu ini, aku pastikan tidak akan ikut denganmu kemari. Lebih baik aku mati kedinginan di sana, daripada mendapatkan nasib percintaan yang penuh kebohongan seperti ini!" Sahara memutuskan untuk hengkang dari hadapan Madhav. Dia berlari menyusuri jalanan kecil menuju pintu keluar ditemani derai air mata kekecewaan yang begitu mendalam.

Tangan kanan Madhav masih terjaga di udara. Kali ini, maafnya tertolak. Dan kini, dia tambah tidak yakin, apakah setelah Sahara mengetahui tentang pernikahan yang telah terjadi di antara keduanya, Sahara mau membukakan pintu maaf. Atau justru ....

Madhav menggeleng tegas, mengusir pemikiran buruk yang belum tentu akam terjadi. Yang paling penting sekarang, dia harus buru-buru menyusul perempuan itu sebelum pergi jauh. Ya walaupun, dia tahu, Sahara pasti tidak akan pergi cukup jauh dari kawasan Red Fort, secara, perempuan itu tidak tahu jalan menuju rumah.

Namun, ternyata Madhav salah. Madhav kehilangan jejak perempuan berselendang hitam itu, dia tidak menemukannya di perkiran atau jalanan depan Red Fort sekali pun.

"Apa jangan-jangan, Sahara tersesat lagi?" Madhav panik. Diambil kunci motor dari dalam saku kemeja. Menggunakan motor yang dipacu perlahan, dia menyusuri jalanan sekitar Red Fort sembari menoleh kanan kiri.

Belum jauh dari area Red Fort, Madhav menghentikan motornya di depan sebuah gerobak penjual pani puri. Dia turun, mencoba bertanya kepada salah satu pembeli pani puri dengan menunjukkan foto Sahara.

"Kya vah mahila nahin hai jise aap apanee motorcycle par dhoondh rahe hain?" (Bukankah perempuan yang Anda cari ada di atas motor itu?) kata pria berumur sekitar empat puluh tahunan seraya menunjuk motor Madhav.

Madhav mengikut gerak telunjuk pria itu dan menemukan Sahara duduk membonceng di atas jok motor. Entah sejak kapan perempuan itu ada di sana, tapi yang jelas, Madhav bisa bernapas lega. Walaupun, hubungan keduanya kembali mengalami perang dingin, setidaknya, untuk beberapa saat, dia sudah menjumpai Sahara yang seperti cerewet dan sedikit manja. Dan ... itu sudah cukup untuk mengobati kerinduannya pada sosok Sahara yang bersemayam di balik sikap dingin nan datarnya.

Dia mengulas senyum singkat, menemui Sahara yang acuh tak mau bersitatap dengannya.

"Bisakah kita pulang ke rumah?" tanya Sahara tak bersemangat.

"Oh, sorry, sorry. Baiklah, kita pulang sekarang."

"Untuk Anda, saya tinggalkan dunia saya. Saya acuhkan diri saya sendiri. Bahkan, saya menghancurkan harapan Anda hanya karena ego saya. Mungkin, maaf tidak akan mengambilkan waktu Anda yang telah saya curi. Waktu yang seharusnya membawa Anda pulang, Sahara. Tapi percayalah, saya melakukan ini bukan tanpa alasan. Alasan yang bahkan Anda sendiri tahu, bukan? Cinta." Madhav mengintip dari kaca spion. Ekspresi Sahara benar-benar kosong, tapi tidak dengan bola matanya yang penuh lara.

•••

"Sahara." Madhav mencoba mengejar Sahara yang berlari menuju kamar. Karena tangis perempuan itu tiba-tiba pecah, dia dibayangi rasa bersalah yang semakin menjadi-jadi.

Tera Fitoor [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang