Part 25

17 4 0
                                    

Dahan pohon yang mereka injak mulai merengek kesakitan dan berderit. Tapi, mereka sama sekali tidak menghiraukan hal itu.

Sahara memotong satu ranting, berusaha memukul Madhav yang masih saja mengejeknya.

"Madhav! Sini kau!" Sahara mencoba menaikkan satu kaki, agar ranting kayu yang dia pegang mampu menjangkau Madhav.

Sejurus, Madhav menyadari ada yang tidak beres dari dahan pohon yang mereka pijakki pun tegang.

"Jangan! Jangan naik!"

"Apa peduliku," sahut Sahara. Dia menaikkan satu kaki dan mulai menjangkau Madhav di sebuah dahan kayu. Saat ranting kayu dia layangkan, bunyi dahan patah mengunci keduanya dalam ketegangan luar biasa.

Dan ya! Mereka harus menerima hadiah perayaan holi, terjerembab ke tanah dari ketinggian dua meter dengan teriakkan menjerit-jerit.

Madhav mengelus punggungnya yang lebih dulu bertabrakan dengan tanah. Sedangkan perempuan di sampingnya mengelus pinggangnya. Mereka yang baru menyadari, jika kelakuan mereka seperti dua bocah bertengkar itu pun bersitatap, lalu tertawa lepas cukup lama. Bahkan, perut Madhav sampai keram.

Menggunakan telapak tangan, Sahara berusaha menahan gelak tawa. Tapi dia tak kuasa dan tetap tertawa meski sedikit lirih.

Madhav menggeleng sembari memperlihatkan telunjuk. "Kau ya? Aku sudah memperingatkan, jangan naik, tapi kau tetap naik."

"Sorry." Sahara mengatupkan kedua tangan, memohon maaf pada Madhav.

Hening sejenak. Giliran lautan awan yang menjadi objek netra keduanya seraya mengatur napas setelah jatuh dari atas pohon.

"Sahara."

Panggilan Madhav sontak mengalihkan pandangan Sahara.

"Hari ini, orang tuamu datang." Buru-buru dia merevisi ucapan. "Maksudku, seseorang yang aku sewa menjadi orang tuamu. Mereka sedang dalam perjalanan kemari."

"Oh, ya?" Respon Sahara terlihat biasa saja. "Baguslah, jadi kita bisa memulai sandiwaranya dan cepat pula mengakhirinya."

"Bahkan, aku tidak tahu apakah ini awal atau akhir dari kisah kita, Sahara. Asal kau tahu, orang tuamu, ayahmu telah datang, dia datang mencarimu, meminta kau pulang. Tapi Sahara, bukankah kau bilang, kau tidak menyukai pria yang telah meninggalkanmu bertahun-tahun itu? Karena pria yang menjadikan dirinya sebagai ayahmu itu hanya memanfaatkanmu? Di sini, kau akan aman bersamaku, bersama keluargaku, kau tidak akan kekurangan kasih sayang dari siapa pun." Madhav menarik napas panjang, lalu menghembuskan secara pelan sambil mengangkat wajah ke langit. Berharap pada Tuhan agar rencananya untuk menikahi Sahara diam-diam tidak terendus oleh perempuan itu. Setidaknya, sampai dia berhasil menciptakan cinta di hati Sahara.

Madhav lebih dulu berdiri, mengulurkan tangan pada Sahara. Perlahan, dia menarik Sahara yang cukup kesulitan berdiri karena pinggangnya yang sakit.

"Ingin kugendong saja?"

"Kau ada-ada saja, punggungmu juga sedang sakit."

Akhirnya, mereka saling merangkul agar bisa berjalan ke dalam rumah.

•••

Seisi rumah bergerak cepat menyiapkan diri untuk menjamu sekaligus menyambut keluarga besar Sahara. Setiap detik yang berlalu, tidak ada satu pun orang di rumah itu yang bolak-balik kesana kemari di sekitar rumah. Shankar dan Leela bersiap dengan perasaan gusar karena akan kedatangan calon besan yang sudah lama dinantikan. Shankar justru dibuat tutup mulut karena Dami tidak berhenti mengomentari kedatangan keluarga Sahara yang begitu mendadak dan merepotkan bagi semua orang. Nenek Shinde yang sibuk mengatur Yohani dalam masalah hidangan. Dan Ajay, pria itu masih asyik menikmati perayaan holi di depan rumah yang belum usai.

Di tempat lain, tidak hanya mereka saja yang kerepotan bersiap-siap. Mengenakan blazer hitam dengan kemeja sewarna, Madhav buru-buru menghampiri Sahara di kamarnya. Berharap, tetangga yang dia tugasi untuk mendandani Sahara sudah menyelesaikan tugasnya. Pintu masih tertutup rapat, tandanya, Sahara belum selesai didandani. Untuk itu, dia memilih menunggu di balkon depan pintu Sahara.

Madhav mengetik pesan singkat, lalu menatap kerumunan orang di bawah sana yang mulai terurai seiring tiga mobil hitam mulai membelah kerumunan itu. Semua orang sontak menganga, bertanya-tanya siapakah gerangan orang yang berada di dalam ketiga mobil tersebut sekaligus kemanakah mobil itu akan berhenti?

"Pas." Madhav melirik jam tangan. Tamunya datang sesuai perkiraan. Dia menoleh ke belakang, tapi pintu di depannya sama sekali tak menujukkan tanda-tanda akan dibuka. Akhirnya, Madhav memberanikan diri mengetuk pintu.

"Sahara, ayo, cepatlah! Orang tuamu sudah datang!" ujar Madhav dari luar.

Sahara menoleh ke arah pintu. Dia yang tengah duduk di depan cermin rias buru-buru meminta perempuan yang mendandaninya keluar dengan isyarat tangan. Berharap, perempuan itu menyuruh Madhav menunggu sebentar karena dia harus mencari cincin. Cincin pemberian Madhav ketika di Manali.

Perempuan yang bernama Shreya itu pun keluar dan mengatakan pada Madhav bahwa Sahara masih di dalam dan tengah mencari sesuatu. Madhav mengucapkan terima kasih pada Shreya dan membiarkan dia pergi.

Madhav masuk, tapi tidak mendapati sosok Sahara di sana.

"Sahara? Kau di mana?"

Sosok Sahara dengan lehenga choli biru putih dengan perpaduan payet emas muncul dari sisi sebelah ranjang, sedang mencari cincin di kolong tempat tidur. Madhav tertegun akan kecantikan Sahara yang sudah seperti seorang pengantin.

"E, Madhav? Tunggu sebentar, aku kehilangan cincinku," ujar Sahara menyambangi Madhav yang mematung.

"Seingatku, aku menaruhnya di kantong baju. Tapi, setelah itu aku ... aku tidak ingat. Ck! Kau pasti sangat marah, karena aku sangat ceroboh menghilangkan cincin mahal itu. Sungguh, Madhav. Aku tidak bermaksud menghilangkan cincinmu, aku ...." Jari telunjuk Madhav tiba-tiba hadir di dekat bibir Sahara yang langsung mengunci suaranya.

"Singkirkan jarimu itu! Jantungku rasanya ingin meledak." Lagi dan lagi, Sahara menghancurkan momen romantis yang tercipta. Bahkan, dia sendiri yang menurunkan tangan Madhav.

Karena merasa ada yang kurang dari penampilan Sahara, Madhav memintanya untuk menunggu sejenak. Dia hendak mengambil sebuah kalung yang sempat ditolak mentah-mentah oleh Sahara sewaktu di rumah sakit. Dengan tergesa, Madhav kembali ke kamar Sahara, meletakkan kotak itu di meja, lalu membukanya.

"Pakailah, itu milikmu."

"Aku tidak pernah mengiyakan itu milikku."

Madhav yang tak ingin membuang-buang waktu itu pun mengambil kalung itu dan memakaikannya ke leher Sahara.

Sahara tidak sempat menolak, karena Madhav sudah selesai menyematkan kalung itu di lehernya.

"Hanya Nyonya Madhavaditya saja yang berhak memakai kalung itu. Sekarang, kalung itu milikmu, Sahara," ucap Madhav.

Kedua tangan Sahara bergerak mencapai leher belakang, berniat melepas kalung itu. Namun, Madhav melarang dengan tatapan memohon.

"Ah, lagi pula, aku hanya akan memakainya sekali ini saja 'kan? Tapi, Madhav, lihat aku!"

Sontak, Madhav mengamati Sahara dari ujung kepala hingga ujung kaki yang bersembunyi di balik lehenga.

"Aku sudah seperti toko emas berjalan." Sahara memperlihatkan kedua pergelangan tangannya. "Memakai gelang sebanyak ini apa tidak berlebihan?" Dia menyentuh anting yang berbentuk seperti kubah dengan. "Telingaku mau copot memakai anting seperti ini. Belum lagi kalung, dan ini."

Sahara mengangkat sedikit rok yang menyentuh lantai. "Ini gelang kaki 'kan?"

Madhav hanya mengangguk sembari menahan senyum.

•••

Tera Fitoor [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang