Part 4

37 11 15
                                    

Napas Madhav ngos-ngosan, dia membungkuk, mengatur napas sebentar. Garis bibir pria itu tercetak manis memandang punggung perempuan yang berjongkok sambil melempar kerikil ke aliran sungai. Madhav mendekat, berdiri tepat di belakang Sahara yang belum menyadari kehadirannya.

Tum abhee bhee yahaan kyon ho?” (Kenapa kau masih ada di sini?)

Sahara mengangkat wajah ke atas, persisnya menatap lurus wajah Madhav. Melihat pria di hadapannya kembali, Sahara mengangkat badan.

“Kau kembali?”

“Tolong, jawab. Kenapa kau masih ada di sini?”

Sahara mengangkat senyum lebar. “Sudahlah, jangan mencoba menipuku. Kau bisa berbicara dengan Bahasa Indonesia. Aihhh … kau sungguh membuat perempuan Indonesia ini kesal,” ujar Sahara tanpa beban. “Berbicara mengenai pertanyaanmu. Aku masih di sini karena aku pikir, sepupu dan calon suamiku akan menyadari bahwa aku tidak bersama mereka. Lalu, mereka akan kembali menjemput.”

“Bukankah kau tadi bilang, kau membenci negara ini, seharusnya kau pergi dari sini. Negaraku tidak menerima orang-orang yang membencinya, ingat itu!” tegas Madhav.

“Apa peduliku? Aku kemari hanya diajak oleh sepupu dan calon suamiku. Lagi pula, aku tidak bercita-cita untuk kemari. Ya … tempat ini memang bagus, tapi tidak sebagus negaraku, Indo-ne-sia,” ujar Sahara dengan semangat ’45 dan mengepalkan tangan.

Madhav yang kesal atas pernyataan Sahara hendak meninggalkan perempuan itu kembali. Namun, dengan cepat Sahara menghalangi Madhav dengan cara merentangkan kedua tangan lebar-lebar.

Kau ingin ke mana? Ayolah, jika kau tidak bisa membantuku menyusul bus yang seharusnya aku tumpangi, setidaknya, temani aku sampai sepupu dan calon suamiku datang menjemput.” Sahara mengatupkan kedua tangan, memohon pada Madhav. “Di sini, tidak ada satu pun orang yang bisa memahami ucapanku. Aku merasa seperti alien yang tersesat di bumi. Aku berbicara, tapi tak ada yang mengerti.”

“Kenapa kau tidak berusaha berbicara dengan Bahasa Inggris dengan mereka, ha?”

“Aku bisa apa, aku hanya lulusan terburuk di SMA. Nilai Bahasa Inggris-ku sangat rendah, sampai-sampai, aku hanya bisa mengatakan yes atau no. Tolong, jangan tinggalkan aku sendiri di tempat ini.” Sahara menampilkan mimik mengenaskan yang dibalut binar-binar kasihan di matanya.

Madhav mendengkus berat.

Theek hai, main unake aane tak tumhaare saath rahoonga.” (Baiklah, aku akan bersamamu sampai mereka datang)

“Kau bisa berbicara dengan Bahasa Indonesia, jadi tolong, gunakan bahasaku,” tukas Sahara. 

“Hei, hei, hei. Kau membanggakan negaramu ‘kan tadi? Jadi, kenapa kau melarangku menggunakan bahasa resmi negaraku? Itu wujud banggaku terhadap negaraku.”

“Aishh! Aku tidak peduli sekali pun kau berbicara dengan bahasa kucing, yang terpenting, kau mau menemaniku di sini.”

Kemudian, Sahara kembali duduk di atas batu besar di tepi Sungai Beas. Madhav yang lelah, ikut serta duduk di atas batu.

Kya aapane khaana kha liya?” (Apa kau sudah makan?) Madhav sendiri heran, mengapa dia bisa mempertanyakan hal sepele itu.

Sahara menoleh malas. “Dari nada bicaramu, aku tahu kau sedang bertanya. Setidaknya berbicaralah denganku sesama manusia  yang mengerti Bahasa Indonesia. Jika begini, sama saja aku bisu. Bisu karena tidak bisa membalas ucapanmu yang terdengar seperti sekumpulan huruf alfabet dijadikan satu.”

Omelan Sahara membuat selera bicara Madhav turun.  Dia hanya berbicara sebaris, tapi perempuannya di sampingnya selalu membalas lima baris.

Sahara menggosok telapak tangannya yang sedikit kotor karena mengambil kerikil.

Tera Fitoor [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang