Part 24

13 5 0
                                    

Terlepas dari banyaknya sekat di antara manusia-manusia yang ada di tanah hindustan, perayaan holi menjadikan perbedaan melebur dalam kebersamaan dan persamaan sebagai manusia ciptakan Tuhan. Bubuk warna-warni menghiasi wajah-wajah dengan identitas berbeda dalam satu warna yang sama. Merah, biru, hijau, orange, kuning, semua itu adalah warna. Warna yang mewarnai setiap  perbedaan kasta,  gender,  profesi, gelar, umur dan banyak lagi. Semua orang bersukacita merayakan festival keagamaan yang biasa digelar di akhir musim dingin itu.

Tak terkecuali, keluarga besar Madhav yang mengadakan pesta menyambut perayaan holi di depan rumah bersama warga lainnya.  Semua orang larut dalam perayaan itu dengan tarian dan nyanyian yang menambah semarak perayaan holi.

Di saat semua orang berpesta ria, Madhav justru sibuk bercengkerama dengan seseorang di telepon. Karena dia tidak ingin pembicaraannya didengar oleh siapapun, dia memilih menepi ke kamar. Tepat di depan jendela yang menampilkan kemeriahan perayaan holi, Madhav menghubungkan ulang telepon dari seseorang.

Kaise? Apa kau mendapat informasi tentang kecelakaan itu?” ( Bagaimana? … )

Mainne ek riportar se poochha tha, adhik sateek roop se, mainne use durghatana ke baare mein kuchh jaanakaaree dene ke lie bhugataan kiya tha. Ada tiga warga negara Indonesia yang menjadi korban dalam kecelakaan itu. Satu di antaranya belum ditemukan sampai sekarang. Tapi, besar kemungkinan, korban hanyut di sungai. Petugas masih menyisir lokasi kejadian.  ” (Aku sempat bertanya kepada seorang wartawan, lebih tepatnya, aku membayarnya agar memberikan sedikit informasi mengenai kecelakaan itu …)

“Kau tahu siapa nama korban kecelakaan yang hilang itu?”

“Petugas hanya mengevakuasi tasnya dan menemukan sebuah paspor dengan nama Saharasmara. Dan kudengar, keluarganya sudah datang ke Manali untuk memastikan kebenarannya.”

Madhav tidak lagi menangkap suara temannya yang berada di Manali itu. Tangannya terkulai lemah, tatapannya penuh dengan bayang-bayang Sahara.

“Keluarga  Sahara ada di Manali? Haruskah aku mengatakan ini pada Sahara? Dan setelah itu … aku akan kehilangan dirinya? Aku benci, aku benci mengatakan ini, tapi Sahara, dia harus pulang, pulang kepada keluarganya yang sangat menantikan keajaiban. Aku tidak boleh egois, Sahara, dia milik keluarganya. Ya! Aku harus mengajaknya ke Manali untuk berjumpa keluarganya.

Dia mengintip keramaian jalan depan rumah yang penuh dengan orang-orang berwarna-warni.

Cintanya tiba-tiba memberontak. Menolak sebuah titik terang yang selama ini Sahara harapkan. Titik terang yang justru menuntutnya kalah dan mengalah  pada takdir Tuhan. Dia tidak paham, mengapa dirinya sulit menerima konsekuensi dari sebuah pertemuan? Pertemuan yang tak pernah lepas dari perpisahan menyisihkan duka dan air mata. Apa dia bisa melewati hari-harinya tanpa ada Sahara setelah perempuan itu pergi? Kapal yang dia bangun sendiri, apakah akan berlayar tanpa kepastian?

“Hati saya, sepenuhnya telah Anda  tutup melalui doa-doa Anda, namun saya lupa menguncinya dengan doa yang sama. Setiap detak jantung Anda adalah hidup saya. Bagaimana saya bisa melepas Anda dari hidup saya? Saya akan mati, ya, tanpa Anda, saya mati.”

Di sela jejak kakinya bersemayam di lantai yang dingin, batin Madhav yang tengah kalut mengambil keputusan untuk memulangkan Sahara pada keluarganya atau tidak semakin menjadi-jadi di saat berdiri di balkon kamar. Dari atas, netranya tak sengaja menangkap sosok Sahara di bawah sana yang terlihat senang melempar bubuk warna-warni ke udara dengan gelak tawa.

Bersama hembusan angin yang menusuk-nusuk pori-pori kulit, kaki Madhav saling bergantian melangkah menjajaki setiap anak tangga. Setibanya di bawah, sejurus, netranya takluk pada sosok perempuan dengan anarkali yang kini sudah tidak berwarna putih lagi. Dari ujung rambut hingga ujung kakinya dipenuhi bubuk warna-warni. Perempuan itu tersenyum menyambut Madhav yang masih sepenuhnya bersih dari bubuk warna-warni.

Sahara mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengecek apakah ada orang lain di rumah. Sebab, dia ingin berbicara sejenak dengan pria yang kini telah berada di depannya.

Aman.

“Lihatlah, aku seperti adonan kue. Aku tidak mengira akan ada perang tepung warna-warni seperti tadi, aku kira, satu kompleks mau jalan santai.”

Madhav tak mengambil suara, dia sibuk bercengkerama dengan bola mata Sahara yang berbinar-binar, seakan ada rembulan bercahaya di sana.

“Kau tahu, aku kaget saat Ajay melempar tepung warna-warni padaku, begitu juga semua orang, mereka saling bertukar tepung warna-warni. Padahal, aku sedang tidak ulang tahun, aku juga tidak melihat siapa pun yang berulang tahun hari ini. Buktinya semua orang malah asyik sendiri. Sebenarnya, acara apa yang aku ikuti tadi, Madhav?” tanya Sahara kemudian.

Tiba-tiba, Leela datang membawa sekantong bubuk warna-warni dan menyerahkan pada putranya.

“Ise apane preeme ko de do, beta.” (Berikan ini pada kekasihmu, putraku )

Madhav mengambil satu kantong bubuk warna-warni itu seraya mengucap terima kasih. Setelah itu, Leela beranjak pergi. Karena tidak ingin menganggu waktu putra dan kekasihnya itu.

Maa.”Panggil Madhav membuat Leela berputar arah.

Haa?”

“Kedua orang tua Sahara sedang dalam perjalanan kemari.”

Sontak, Leela melotot tak percaya. Antara panik dan bahagia, Leela buru-buru memanggil anggota keluarganya yang sedang menikmati perayaan holi di luar sana.

Sedangkan kini, Madhav malah tampak canggung ketika ditanya dengan bola mata Sahara. Madhav menggeleng penuh.

“Sungguh tidak ada apa-apa? Kenapa ibumu ….”

Madhav mengambil tangan Sahara dan menggenggamnya. Kemudian, dia membawa perempuan itu ke taman belakang rumah.

“Nanti kuberitahu,” ungkap Madhav disela berjalan.

Di taman belakang rumah, tanpa aba-aba, Madhav langsung melumuri pipi Sahara dengan bubuk warna-warni berwarna merah. Tidak terima, Sahara spontan merebut kantong berisi bubuk warna-warni itu dan menghujani Madhav dari atas kepala. Bukannya marah, Madhav mengeruk bubuk warna-warni yang ada di lantai dan balik menyerang Sahara. Tidak ingin terkena bubuk warna-warni lagi, Sahara berlari menghindari kejaran Madhav. Namun, seberapa cepat dia berlari, tetap saja, Madhav berhasil mencekalnya.

“Madhav! Awas kau!” teriak Sahara yang langsung membungkam mulut sendiri. Bola matanya celingukan, takut ada orang lain yang mendengar suaranya, begitu pula Madhav. 

“Astaga, kau hampir saja membuatku ketahuan,” desis Sahara menepuk punggung Madhav cukup keras berulang kali.

Madhav tidak membalas pukulan Sahara, justru dia malah meledeknya dengan tawa kuda. Dia pun berlari ke bawah pohon untuk menghindari Sahara.

“Sini kau!” Pekik Sahara setengah berteriak.

Madhav tidak kehabisan akal, dia pun memanjat pohon seraya menjulurkan sedikit lidah, berusaha meledek perempuan itu kembali.  Sahara tentu tidak tinggal diam, dia ikut memanjat pohon yang sebenarnya tidak cukup kuat menahan dua beban sekaligus.

Pria yang sudah bertengger di pohon menaikkan sedikit posisi saat melihat Sahara mulai menaiki dahan pohon. Karena saat tinggal di desa sering memanjat pohon kelapa, bagi Sahara, memanjat pohon setinggi 3 meter itu bukanlah hal yang sulit.

•••

Tera Fitoor [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang