Part 32

14 3 0
                                    

Bersama kedua pipi yang belum kering, Sahara berjalan. Berjalan mengikuti ke mana kakinya melangkah, dia sudah putus arah. Bahkan, dia tidak bisa membedakan di mana utara, selatan, timur maupun barat. Matahari berada tepat di atas kepalanya. Artinya, waktu salat dzuhur sudah tiba. Sekarang, yang dia butuhkan adalah air untuk berwudu.

Dia ingat ucapan Madhav saat mengatakan hampir semua air di Delhi tercemar, jadi, dia tidak boleh sembarangan memakai air. Akan tetapi, dengan keadaan yang tak memungkinkan, Sahara terpaksa memakai air dari sebuah keran yang khusus disediakan pemerintah untuk berwudu. Karena dia juga kehausan, mau tak mau, dia mengisap sedikit air ke dalam mulut guna melumasi tenggorokan yang kering. Air yang dia hisap memang rasanya  sedikit aneh, tapi tak masalah, yang penting, dia sudah terbebas dari was-ws karena belum menunaikan salat dzuhur dan kehausan.

“Agama menjadi akar peperangan. Itu hanya alasan para petinggi negara untuk menghadirkan drama di masyarakat India. Kami saling hidup rukun, melalui setiap perbedaan untuk sebuah kesatuan sebagai orang India, bukan sebagai muslim, umat hindu, katolik, kristen, atheis, atau agama apapun itu. Namun, kesatuan itu kini mulai tersekat karena berbagai sentimen anti-Islam mulai dilakukan secara terang-terangan dan melibatkan aparat negara. Ini terjadi setelah Narendra Modi yang merupakan ketua Partai BJP menduduki tahta perdana menteri. Beliau mengubah negara India menjadi negara nasionalis Hindu dan melupakan keanekaragaman agama, budaya, serta leluhur negeri ini. Negara ini bukan hanya berdiri berkat pejuang hindu, tapi juga muslim, kristen, katolik, budha, dan berbagai kasta terlibat.”

“Kebencian terhadap islam, cukup terjadi. Terlebih setelah kasus-kasus anti-Islam terjadi. Mulai dari kasus penyerangan terhadap peziarah di Ayodya yang diduga diakukan oleh orang muslim. Pelaranggan mengenakan hijab. Dan yang terbaru, terjadi pemenggalan dua warga hindu yang dilakukan oleh warga muslim. Citra buruk muslim di negara ini semakin bersinar. Banyak perusakan masjid dilakukan pihak-pihak penguasa dan banyak lagi. Jadi kusarankan, jika kau ada di luar, tolong, jangan beribadah di luar masjid. Kau tidak akan tahu kebencian seseorang terhadap Islam. Bisa saja sejengkal, bisa juga satu rentangan tangan,” jelas Madhav di suatu hari ketika Sahara hampit ketahuan salat di rumah.

Untuk itulah, Sahara mencari tempat bersembunyi. Dia tidak ingin mendapat masalah di tengah keadaan genting seperti ini. Akhirnya, dia menemukan tempat yang pas, di belakang sebuah rumah, lebih tepatnya semacam gubuk kecil yang hampir roboh. Ada banyak sampah dan bau menyengat menusuk perutnya yang lapar. Diletakkan kardus bersih yang tak sengaja ditemukan sewaktu mencari tempat bersembunyi di tanah kering. Tak lupa, dia memakai selendang sebagai hijab dan memulai salat dengan derai air mata. Sungguh, itu adalah salat paling menyedihkan yang pernah dia alami. Sekaligus, dia menjadi sadar, betapa kurang bersyukur dirinya masih diberi waktu untuk salat. Sedang di belahan bumi lain, banyak umat muslim yang hendak memenuhi panggilan Tuhannya harus dihadapkan dengan malaikat maut.

Selesai salam, Sahara mengangkat telapak tangan, memanjatkan doa. Namun, tangis lebih dulu mengalahkannya. Dia menutup wajah dengan telapak tangan.

“Bagaimana jika aku tersesat lagi? Maksudku, ya … kota ini terlalu luas untukku yang tidak mengenal kota ini. Bisa saja aku pergi atau terpaksa pergi dari rumah ini dan kehilangan arah.”

“Memangnya, selain rumahku. Kau akan pergi ke mana, ha?” tanya Madhav.

“Ya, aku tahu. Tapi, itu hanya kemungkinan dari sekian banyak kemungkinan yang akan terjadi. Setidaknya, aku sudah punya jawaban, Madhav.” Rengek Sahara meminta.

“Dengar. Jika kau tersesat dan tidak keluar dari kota ini, pergilah ke kantor polisi dan sebut nama Shankar Shah Kapadia, hanya orang-orang dalam lingkaran kepolisian Delhi yang mengetahui nama itu. Ayahku adalah pensiunan inspektur polisi yang cukup dikenal, polisi pasti akan langsung menghubungi ayahku. ”

Sahara menurunkan telapak tangan dari wajah. Mengapa dia baru ingat tentang percakapan ketika mereka tengah menuju Masjid Jama?

“Kantor polisi. Ya, itu dia jawabannya!” Buru-buru dia mengurai selendang yang menutupi kepala dan mengambil tas. Sebelum malam tiba, dia harus segera menemukan kantor polisi dan melakukan apa yang pernah dikatakan Madhav. 

•••

Part 32

Selagi berjalan mencari kantor polisi, Sahara disuguhi pemandangan yang begitu miris. Tenda-tenda di trotoar, bahkan tak jarang berdiri di atas selokan dilarikan tempat tinggal orang-orang dari kasta paling rendah di India, yakni, kasta dalit. Siapapun orang yang berasal dari kasta tersebut haram hukumnya disentuh karena mereka tidak memiliki varna atau tercipta dari bagian tubuh Dewa Purusha. Tak jarang, orang dari kasta ini mendapat perlakuan tidak manusiawi dan tak mendapat haknya. Biasanya, kasta dalit hanya bekerja sebagai pemulung, petani miskin yang tak memiliki lahan, pengemis, buruh kasar dan pencuci pakaian.

Betapa banyak rasa syukur yang Sahara harus terima saat melihat kehidupan orang-orang itu. Dia masih memiliki tempat untuk bernaung, sekalipun, saat ini tengah tersesat di negeri orang. Tapi lihatlah, mereka yang justru tinggal di negeri itu justru mendapatkan kehidupan yang tersesat karena lahir dari kasta paling rendah di India.

Berbahagialah dirinya karena sebagai seorang muslim, Allah yang tidak pernah membandingkan manusia satu dengan manusia lainnya, kecuali dari keimanannya.

•••

Kakak ipar hilang.”

Mendengar kabar yang Ajay sampaikan melalui sambungan telepon itu, Madhav yang baru keluar dari kamar mandi lemas seketika.

“Ini sudah tiga jam sejak kakak ipar pergi dari rumah. Tapi, kakak ipar belum kembali. Paman Shankar sudah bertanya kepada supir tuktuk yang mengantar kakak ipar ke kuil. Sayangnya, Paman Shankar hanya menemukan buku, tapi ada yang aneh dari isi buku itu. Di dalamnya, ada tulisan yang meminta kakak ipar agar diantar ke Masjid Jama. Sekarang, Paman Shankar sedang menuju Masjid Jama untuk mencari kakak ipar,” jelas Ajay.

Sangking syok, Madhav tidak membalas satu kata pun dan bergegas pulang. Dia tak peduli apa anggap orang-orang di rumah saat dia berpamitan ke Manali, tapi pulang cepat sekali.  Sahara jauh lebih penting ketimbang melawan amarah orang-orang nanti.

Setelah berpamitan pada teman yang merupakan pemilik rumah itu, Madhav buru-buru pergi dengan mobil putihnya menjelajahi jalanan Delhi yang cukup lenggang. Tujuannya kali ini adalah Masjid Jama.

“Kau ke mana, Sahara? Apa yang terjadi padamu? Apa kau baik-baik saja di manapun kau berada?”

“Ini sudah tiga jam sejak kakak ipar pergi dari rumah. Tapi, kakak ipar belum kembali. Paman Shankar sudah bertanya kepada supir tuktuk yang mengantar kakak ipar ke kuil ….”

Madhav baru ingat!

“Supir tuktuk itu membawa Sahara ke ….” Dia tahu harus ke mana sekarang. Hanya ada satu kuil yang sering dikunjungi keluarga Shah Kapadia.

Dia memacu  mobil dengan kecepatan tinggi sekalipun tidak akan mampu menerobos kemacetan yang mulai memenuhi jalan. Tidak kehabisan akal, Madhav meninggalkan mobilnya di depan toko yang tutup dan berlari menuju kuil. Menempuh hampir 1 km tanpa berhenti, Madhav akhirnya sampai di kuil tempat Sahara ditinggalkan.

Tentu, Madhav tidak masuk ke dalam kuil, jelas, dia tidak akan menemukan Sahara di sana. Bermodalkan foto Sahara yang diam-diam dia ambil, Madhav bertanya kepada beberapa pedagang di sekitar kuil. Tidak ada satu pun orang yang sempat mengetahuinya gerak-gerik perempuan bernama Sahara, sebab, terlalu banyak peziarah siang tadi.

Madhav tak putus asa. Dia tidak henti menanyai satu persatu orang yang dia jumpai.

•••

Tera Fitoor [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang