Part 37

7 2 0
                                    

Dengan kedua tangan memegang es krim yang mulai meleleh tersengat sinat matahari, Madhav berdiri menunggu Sahara yang belum jua keluar dari dalam Masjid Jama. Padahal, semua jamaah salat dzuhur sudah membubarkan diri sepuluh menit yang lalu. Karena takut perempuan itu tersesat lagi, Madhav terpaksa membuang kedua es krim itu ke tempat sampah, dia sudah sangat mencemaskan keberadaan istrinya itu.

Semula, Madhav ragu untuk masuk ke Masjid Jama, karena, seumur-umur tinggal di Delhi, dia sama sekali belum pernah menjajakan diri di masjid peninggalan Kekaisaran Mughal, yakni pada pemerintahan Sultan Shah Jahan yang juga telah membangun Taj Mahal tersebut. Merasa tidak enak hati kepada Tuhannya, Madhav mengatupkan kedua tangan sejenak sebelum masuk, meminta maaf pada Tuhannya karena masuk ke tempat ibadah umat muslim itu.

Sangking ragunya, seusai melepas kedua sepatu, dia menutup mata sebelum telapak kakinya menyentuh lantai masjid. Satu matanya terbuka seiring telapak kaki kanan berpijak di lantai.

“Oh Khuda, mera koi matlab nahi tha, main bas apana premee se milana chaahata tha.” (Oh Tuhan, aku tidak bermaksud apa-apa, aku hanya ingin menemui kekasihku) Lekas, Madhav melanjutkan langkah masih dengan tangan mengatup di depan dada.

Netra Madhav berkeliling, mencari sosok perempuan berselendang hitam. Namun, ada cukup banyak perempuannya yang mengenakan selendang hitam di kepala. Madhav terus berkeliling dengan harap akan segera menjumpai Sahara.

“Sahara, di mana kau?” Batin Madhav berbisik berkali-kali.

Dia menjajakan kakinya di pelataran masjid yang terbuka. Bola matanya yang nampak kebingungan itu mengidentifikasi satu persatu orang yang ditangkap oleh indera penglihatannya. Satu dua menit, dia tak kunjung mendapati wajah Sahara di satu sudut manapun Masjid Jama. Dia mulai menaruh cemas, dia tidak ingin kejadian menghilangnya Sahara kembali terjadi karena kelalaiannya.

Di bawah terik matahari yang semakin menggila, Madhav akhirnya menemukan Sahara. Terlihat, dia sedang mengobrol dengan seorang perempuan. Akan tetapi, Madhav tidak tahu siapa perempuan yang diajak mengobrol oleh Sahara karena perempuan itu berdiri membelakangi. 

Ketika Madhav menyusul Sahara, sekaligus mencari tahu siapa perempuan yang diajak mengobrol oleh Sahara itu, perempuan itu sudah pergi karena ditarik-tarik oleh bocah laki-laki yang Madhav duga adalah putra perempuan tersebut.

“Ma-Madhav?” tanya Sahara melihat kehadiran Madhav itu dengan intonasi sedikit gugup.

Sementara itu, Madhav memperhatikan punggung perempuan tadi yang semakin jauh. “Siapa perempuan yang kau ajak berbicara tadi itu?”

“Bu-bukan siapa-siapa. Oh iya, bukankah kau mau mengajakku ke suatu tempat?”

Madhav sebenarnya tahu bahwa Sahara tengah mengalihkan topik pembicaraan menahan diri untuk bertanya lebih jauh. Dia pikir, ini bukan waktu yang tepat untuk memulai perkara baru.

•••

Ditemani semilir angin yang menerpa wajah, Sahara mengingat pertemuannya dengan Citra di Masjid Jama tadi. Sebenarnya, itu bukanlah pertemuan tidak sengaja. Sahara memang merencanakan pertemuan itu jauh-jauh hari dengan cara mengirim pesan kepada Citra menggunakan ponsel Madhav yang dia pinjam diam-diam. Dan tadi pagi, ketika ponsel Madhav tertinggal di teras kamarnya, Sahara mengkonfirmasi Citra agar mereka bertemu di Masjid Jama di waktu salat dzuhur.

“Aku tidak bisa membantu banyak, mungkin ini jalan satu-satunya yang bisa kau ambil. Besok, datanglah kemari, aku akan mengantarmu ke KBRI. Aku yakin, orang-orang di KBRI pasti bisa membantumu pulang, secara, kau sempat menjadi orang yang paling dicari saat namamu masuk di daftar korban kecelakaan bus itu. Terutama, kau putri dari seorang petinggi di pemerintahan, orang-orang KBRI pasti akan langsung menghubungi ayahmu,” tukas Citra usai Sahara bertukar kisah cintanya.

Tera Fitoor [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang