Part 36

9 4 0
                                    

Madhav menerima bagaimana pun sikap Sahara. Dia sendiri tidak tahu apa yang bisa mencairkan sikap dingin perempuan itu. Untuk saat ini, dia lebih memilih memberi Sahara waktu dan ruang menikmati amarahnya, biarkan dia meluapkan segala amarah yang telah dia bangkitkan oleh kebohongan.

Tanpa permisi atau apa, Sahara kembali ke dalam, tak lupa mengunci pintu rapat-rapat. Madhav hanya bisa mendesah berat sembari memungut laptop dan sebuah makalah yang tergeletak di lantai. Dia menenteng dua barang itu di kanan dan kiri selagi berjalan menuju kamar.

Setibanya di depan pintu kamar, Madhav bertanya dalam hati, mengapa pintu kamarnya terbuka, karena seingatnya, sebelum dia pergi, dia sudah menutup pintu itu. Karena kedua tangannya tak dapat menggapai gagang pintu, dia mendorong daun pintu dengan ujung kaki. Perlahan, punggung   pria paruh baya yang tengah mengamati luar jendela itu nampak seiring pintu dibuka lebar.

“A-ayah?” Madhav meletakkan laptop dan makalah di atas meja terlebih dahulu sebelum menemui sang ayah.

Shankar berbalik badan.

Ada ketegangan  yang merasuki pikiran Madhav ketika mendapati raut wajah sang ayah terlihat tak begitu semangat menyambutnya. Madhav langsung paham akan sikap ayahnya itu pun langsung mendobrak ketegangan dengan senyum halus.

“A-ada apa? Ti-tidak biasanya Ayah kemari.” Madhav menarik senyum tipis.

Telapak tangan Shankar menempel pundak Madhav dengan tegas. “Saat Ayah memasukki kamar ini, hanya ada aroma Madhavaditya, tidak ada aroma Sahara. Bahkan, di atas meja rias itu.” Telunjuknya menujuk meja rias. “Tidak ada perhiasan atau pun alat rias Sahara. Begitu pula lemari pakaianmu, di sana hanya ada pakaianmu. Apa ini, Madhav? Apa kalian sedang berselisih paham?”

Sebelum menjawab, Madhav memaksakan senyum di wajahnya yang linglung. “I-iya. Kami ... kami sedang bertengkar, hanya masalah kecil. Sebentar lagi, kami juga akan segera berdamai. Ayah tenang saja. Cinta kami kuat untuk mengalahkan amarah di antara kami.”

“Kapan cinta kalian bisa mengalahkan amarah itu?”

“Se-secepatnya,” jawab Madhav tanpa kepastian. “Ini hanya masalah waktu.”

“Ya, kau benar. Tapi sampai kapan kalian berpisah kamar seperti ini, ha?” tanya Shankar menginterogasi.

Madhav yang tidak memiliki jawaban pun hanya menggeleng pasrah sambil mengangkat kedua pundak.

“Setelah Sahara hadir di kehidupanmu, Putraku. Kau mulai hidup, lebih dari sebelumya. Kau menikmati hari-harimu dengan siraman cinta yang sebelumya belum Ayah lihat. Tapi, Nak. Sebesar apapun caramu mencintai Sahara, jangan lupa, kau juga harus menyimpan cinga bagi dirimu sendiri.” Ujunh telunjuk Shankar menunjuk dada putranya. “Boleh saja kau dibutakan cinta, tapi jangan kau buat tuli terhadap kata hatimu.”

Hanya anggukan kecil menemani tatapan yang berlalu ke lantai. Saat ini, dia tak yakin terhadap kata hatinya, yang bahkan, kata hatinya selalu meminta dia bersihin dengan alasan tak ingin ditinggalkan. Sebegitu pengecut kah dirinya saat ini?

“Sahara?”

Pandangan Madhav beralih ke ambang pintu yang di sana berdiri Sahara. Entah sejak kapan perempuan itu datang, tidk ada yang tahu.

Andaar ao, mere beta. Yahaan!” (Masuklah, Nak. Kemari!) Pinta Shankar.

Madhav menginterupsi dengan ajakan tangan, meminta Sahara agar masuk. Sahara mengangguk kecil, lalu berjalan mendekati keduanya dengan langkah pelan.

Sahara menyerahkan ponsel Madhav yang tertinggal di lantai depan kamarnya. Madhav langsung menerima ponselnya.

“Syukriya,” (Terima kasih) ujar Madhav.

Tera Fitoor [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang