Sekarang, saya lupa caranya tersenyum, saya lupa caranya melupakanmu, sekeras apapun saya mencobanya. Semua akan menjadi kesia-siaan di waktu yang panjang. Penyesalan ini akan menggerogoti jiwa saya sampai berhenti bernapas. Anda adalah waktu saya, tanpa Anda, saya seolah terhenti.
Ketika saya bangun dan terjaga, Anda memberi saya ketidaksadaran, Anda terus mengoreksi saya sepanjang waktu. Apakah Anda tidak lelah bersembunyi di belakang pikiran saya? Kembalilah dan temani sata dalam perjalanan yang menyedihkan ini.
Madhav menorehkan tanda tangan di ujung tulisan, tak lupa membumbui dengan nama lengkap, Madhavaditya di sana. Udara dingin menggempur pertahanan kulit Madhav, sekali pun, dia sudah berada di dalam tenda. Suara hembusan angin melambai-lambai di tengah gemericik Sungai Beas, sungai yang memanjang hingga 14 kilometer di kawasan lembah terbuka bernama Kullu. Madhav menidurkan diri, menggunakan tasnya sebagai bantal sembari melipat satu tangan di bawah kepala. Bola matanya terbuka, memandang atap tenda yang berwarna abu-abu polos. Tidak ada yang istimewa dari atap tenda itu, dia hanya mencari jalan keluar agar malam kali ini bisa merapatkan diri ke alam mimpi, berharap di sana akan menemui sang kekasih.
Tidur dengan posisi terlentang membuat dadanya semakin tertekan oleh angin yang masih saja tidak mengalah pada lapisan jaket tebal. Madhav merubah posisi, tidur miring, dan memulai perjalanannya dengan hasrat bersua dengan cintanya. Pelan, namun pasti, dia terlelap dibungkus dinginnya malam yang menyertai.
"Tolong! Aku mohon, tolong aku, aku tidak memiliki siapa-siapa lagi di sini, bus yang seharusnya aku naiki sudah pergi, aku sungguh tidak tahu harus berbuat apa, semua barang-barangku juga ada di sana. Aku mohon, tolong aku, Tuan. Aku berjanji, jika kau bisa membawaku ke bus itu, aku akan membayarmu, sungguh, aku tidak berbohong."
"Khsama Karen, main aaraam karane mein vyadt tha. Krpaya mujhe pareshaan na karen!" (Maaf, saya sedang sibuk bersantai. Tolong jangan ganggu saya."
"Hei, kau berbicara apa? Aku tidak paham? Bicaralah dengan Bahasa Indonesia."
"Main nahin kar sakata." (Saya tidak bisa)
"Aku tidak paham! Tolong, bantu aku menyusul bus tadi, Tuan. Please ... please. Tadi aku mendengarmu berbicara Bahasa Indonesia, tolong, bantu aku." Perempuan tanpa nama itu berlutut, menahan tangan Madhav, agar pria itu tidak pergi. Tangis adalah senjata utama seorang wanita, senjata yang akan mendatangkan gejolak hati siapa pun yang melihatnya. Namun, tidak dengan Madhav, pria yang baru saja dikhianati mantan kekasihnya itu bersikap acuh, bahkan tak segan menarik kasar tangan perempuan itu dari pergelangan tangannya.
"Pergi! Pergilah! Aku sudah lelah mencari bantuan dan tidak ada yang mau membantuku! Orang-orang di negara ini sungguh tidak memiliki perasaan! Aku benci negara ini! Aku benci! Aku bersumpah, aku tidak akan kemari lagi!"
Madhav menoleh malas, menyoroti perempuan yang masih berlutut di atas bebatuan besar di tepi Sungai Beas.
"Hei, kau! Lihat saja nanti, Tuhan akan membalas keangkuhan itu!" pekik perempuan yang tak diketahui namanya. Kemudian, perempuan itu berteriak sangat kencang hingga suara teriakkkan itu mendorong Madhav dari buaian mimpi. Dada Madhav kembang kempis, keringat dingin menembus dinding kulit.
Madhav duduk terdiam, merekam kembali mimpi yang baru saja dia terima. Sebuah mimpi yang merupakan potongan kenangan saat pertama kali dia berjumpa dengan Sahara.
Madhav menunduk, mengintip cincin yang melingkar menjadi liontin kalung di dadanya. Dia mengusap cincin pernikahan Sahara yang sempat dikembalikan sebelum perempuan itu pergi. Senyuman mengembang lembut di wajah Madhav. Dia kembali mengenang runtutan kisahnya bersama Sahara, dua tahun yang lalu ...
Ketika kedua kakinya melepaskan langkah dari Sahara yang tidak berhenti mengoceh, mengumbar umpatan-umpatan dengan Bahasa Indonesia, Madhav bersusah payah menahan diri untuk tidak ikut campur dalam masalah yang menimpa Sahara. Dia ke Manali bertujuan membebaskan diri dari masalah, bukan malah mencari masalah baru.
Sekali pun jarak Madhav dengan Sahara sudah cukup jauh seiring bus yang ditumpangi melaju meninggalkan kawasan Manali, tetap saja, pria itu tidak bisa dibuat tenang. Dia sangat gelisah memikirkan nasib kedepannya perempuan yang tiba-tiba menghampirinya dan meminta tolong karena ketinggalan bus. Terlebih, badannya sudah meminta istirahat usai berpetualang di Rohtang Pass ketimbang memikirkan apa yang akan terjadi kedepannya pada perempuan tadi.
Madhav bersembunyi di balik mata yang tertutup. Namun, otaknya tak dapat lepas dari wajah mengenaskan Sahara yang tak henti-hentinya memohon-mohon.
"Tolong! Aku mohon, tolong aku, aku tidak memiliki siapa-siapa lagi di sini, bus yang seharusnya aku naiki sudah pergi, aku sungguh tidak tahu harus berbuat apa, semua barang-barangku juga ada di sana. Aku mohon, tolong aku, Tuan. Aku berjanji, jika kau bisa membawaku ke bus itu, aku akan membayarmu, sungguh, aku tidak berbohong."
Madhav menggeleng penuh, mengusir suara Sahara dari pikiran. Matanya terbelalak.
"Tidak, tidak, tidak! Untuk apa kau peduli pada perempuan itu? Duduk dan beristirahatlah!" tegasnya pada diri sendiri. Madhav merapatkan punggungnya di sandaran kursi, menoleh ke luar jendela yang diisi barisan perbukitan Himalaya berselimut salju.
Madhav meneguk salivanya dengan berat, di luar sana begitu dingin, ditambah hujan salju yang kapan saja bisa turun. Dia tidak bisa membayangkan betapa sulitnya perempuan tadi bertahan di cuaca dingin yang ekstrem.
Madhav kembali mengusir empati yang mulai tumbuh.
"Perempuan itu akan baik-baik saja. Ya, dia akan baik-baik saja selagi dia tidak mencoba keluar dari Manali. Ya, kau tidak perlu mencemaskannya, Madhav." Senyuman merekah berat, begitu pula hatinya yang mendorong Madhav agar kembali, menolong Sahara.
Madhav medengus kesal, merutuki diri sendiri.
"Sial! Kebodohan apa yang telah kuperbuat!" Madhav menarik ransel ke punggung, berjalan ke depan.
"Tolong, berhenti! Ada barang saya yang tertinggal," ujar Madhav pada supir bus.
Sejurus, aksi main turun Madhav menjadi perhatian penumpang lain. Madhav masa bodoh dengan itu, dia berlari menyusuri Jalan Raya Leh Manali yang berselimut salju, rusak parah, dan banyak genangan air di beberapa titik. Beruntung, bus yang ditumpangi belum jauh dari kawasan wisata Manali, Madhav membutuhkan kurang lebih dua jam untuk tiba di tempat terakhir meninggalkan Sahara.
"Tum kyon bhaag rahe ho tum kahaan ja rahe ho? Main rohataang darra ja raha hoon, lagata hai ham usee disha mein hain." (Kenapa kau berjalan kaki? Aku akan ke Rohtang Pass, sepertinya kita satu arah)
"Chalo!" (Ayo!)
Madhav tidak ambil pusing menerima tawaran dari seorang pengendara mobil yang tiba-tiba berhenti setelah melihat dirinya berjalan setengah lari, sendirian.
Setelah sampai, Madhav tidak langsung keluar, dia memberikan sedikit uang pada pria yang menolongnya. Pria itu tidak menolak sama sekali seraya menerima ucapan terima kasih.
Madhav menggunakan sisa tenaga yang tersisa untuk berlari menyusuri Sungai Beas, berharap menemukan perempuan yang membuatnya begitu iba.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Tera Fitoor [END]
Romance(Juara 1 Event Writing Marathon Cakra Media Publisher Season 4) [ Romance - Religi - Song Fiction] ●●● Madhavaditya baru saja kehilangan cintanya. Dia mendaki Himalaya untuk mengenang kembali pertemuan sekaligus perpisahannya dengan mendiang sang is...