Selalu saja ada yang salah dari cinta yang diawali dengan pertemuan, sebuah pertemuan yang mengharuskan adanya perpisahan pahit. Tidak ada jalan cinta semulus itu, Tuan. Segala penderitaan akan menyapa dengan girang, menghalang rintang memenuhi perasaan yang bersatu dalam hubungan. Tak peduli, apa nama hubungan itu, hubungan tanpa nama, tanpa status, berstatus, maupun hubungan yang hanya terikat tali paksaan. Semua akan terhubung, membentuk lingkaran takdir yang akan membawa pada akhir. Akhir yang baik, maupun, buruk.
Sekarang, akhir dari takdir cinta Madhav bermuara pada satu kata. BURUK. Sangat buruk untuk dia terima sebagai sambutan atas kedatangannya di tanah kelahiran perempuan yang dia cintai.
“Nona Sahara, beliau telah meninggal. Kalau boleh tahu, siapa dan dari mana Anda berasal, nanti saya sampaikan kepada pihak keluarga Nona Sahara bila ada yang mau disampaikan.”
Air mata berbicara di bawah terik matahari yang menyengat seenaknya. Tidak ada ungkapan yang mampu mendefiniskan perasaan Madhav saat mengetahui, dia terlambat datang menemui perempuan satu-satunya yang selalu ada dalam pembicaraan, siang maupun malam. Nama Sahara itu tak akan lekang dalam ingatan, sekalipun kini, fisik perempuan itu tak lagi nampak oleh netra.
Lutut Madhav terhempas ke bawah, air mata tak berhenti menciptakan sungai-sungai kecil di tengah kehebatan semesta memporak-porandakan harapannya. Harapan hidup bahagia bersama setelah ujian panjang yang mereka lewati tanpa ada kata jeda. Pria yang ikut dalam perjalanan Madhav merendahkan tubuh, mengapai kedua pundak Madhav, mengosoknya pelan, berharap kawannya dapat mengikhlaskan kepergian sang kekasih hati.
“Aku terlambat … aku terlambat … Sahara, maaf, maaf.” Madhav menahan sesengukan tangis yang berubah menjadi badai. Dia yang merasa sangat bersalah karena tidak jua menuruti permintaan Sahara untuk segera datang menerima penyesalan bertuntun. Rutukan demi rutukan amarah Madhav layangkan bersamaan dengan kepalan tangan yang menghantam kepala berulang-ulang. “Maafkan aku Sahara, maaf ….”
“Kau masih bisa bertemu Sahara. Sudahi tangismu, kita berangkat sekarang ke makam Sahara. Sahara pasti sangat menantikan hari ini, hari di mana kalian bertemu kembali. Ayo!” Altaf menarik Madhav yang kini terdiam penuh. Pikiran, hati, dan bibirnya tak berhenti menyebut nama Sahara, Sahara, dan Sahara.
Di sinilah keduanya sekarang, di sebuah makam dengan nisan bertuliskan Sahara beserta tanggal lahir dan tanggal kematian. Madhav ambruk di samping makam Sahara, air matanya tertahan beribu kata maaf yang tak sempat dia ucapkan. Pelukan yang melebur bersamaan dengan kerinduan dia berikan di pusara Sahara. Sebuah pelukan penuh cinta yang tak pernah Sahara dapatkan. Lalu, mengapa harus datang di saat dia sudah tenang di sisi-Nya? Adil kah akhir cinta ini bagi sepasang kekasih yang saling mencintai dengan ketulusan?
“Mengapa, saat aku datang, kau malah pergi? Sebegitu bencikah kau pada kedatanganku? Kau ingin aku pergi, iya?! Jawab!” Jari jemari Madhav mengais tempat peristirahatan terakhir Sahara.
Altaf lekas menahan tangan Madhav agar berhenti mengeruk-ngeruk tanah di pusara Sahara. Sungguh, sebagai seorang teman, Altaf tidak sanggup menyembunyikan kesedihan mendalam atas kepergian Sahara di hidup Madhav. Dia tak mengira, kisah cinta mereka yang tak terukur jutaan perbedaan akan tamat membawa kedukaan.
“Jawab aku, Sahara! Jawab!” pekik Madhav meronta-ronta, meminta agar kekasihnya diberikan pengulangan hidup. Sekuat tenaga, Madhav memberontak dari cengkeraman Altaf, dia kembali memeluk pusara Sahara. Namun, kali ini, emosinya melandai. bola matanya memandang lurus nisan Sahara, sesekali, pipi kiri Madhav bertemu dinginnya tanah. Madhav mengecup nisan Sahara dengan lembut.
Sikap Madhav itu, tentu membuat Altaf semakin ketar-ketir, dia tidak boleh membawa pulang Madhav dalam keadaan hilang akal. Tapi, bisa apa dia, dia tidak bisa menghentikan kedukaan yang memeluk Madhav begitu erat. Hingga, panggilannya tak lagi disahut oleh Madhav.
“Sepertinya akan hujan, ki-kita kembali ke hotel sekarang,” ujar Altaf merasa tidak enak menganggu waktu kebersamaan Madhav dan Sahara.
“Aku akan menunggu seseorang yang seharusnya menjadi milikku kembali. Tuhan tidak boleh mengambilnya dariku, tidak ada yang bisa memisahkan kami, Altaf. Kau … pergilah, aku akan tetap di sini.”
Altaf berkacak pinggang, menyemburkan napas berat dari mulut. “Madhav. Jangan gila, Sahara ….” Bahkan, karena takut menghancurkan Madhav dengan kenyataan yang ada, Altaf tak sampai hati mengatakan bahwa Sahara telah meninggal.
“Pergilah. Pergilah!” Tangan Madhav melambai, mengusir Altaf yang enggan ikut menanti.
Lihat, langit turut menangis atas hari kehilangannya. Bingkai duka Madhav lengkap sudah dalam kesendirian, keheningan, dan kehancuran yang beradu padu meminta air matanya keluar. Jeritan tangis kembali menguncang, Altaf yang semula berjalan mencari tempat berteduh terpaksa memutar jalan. Dia berlari secepat mungkin, menghentikan Madhav yang mengamuk seraya menggali lagi pusara Sahara yang mulai diguyur hujan.
“Hentikan, Madhav! Kau bisa menyakiti Sahara! Berhenti!”
Madhav mendorong Altaf, tidak peduli tubuh pria itu terjungkal ke mana, dia tetap bersikukuh ingin melihat Sahara dan mengembalikannya ke dunia. Jika tidak ….
“Bawa aku pergi … bawa aku bersamamu, Sahara!” Ucapan itu terus menghujam beserta tangisan langit yang semakin mengganas.
Altaf kembali bangkit, menahan tangan Madhav yang terus saja menggali pusara Sahara. Kali ini, Altaf sedikit menang dan berhasil menjauhkan Madhav dari makam Sahara yang rusak karena ulah sahabatnya itu. Keduanya duduk tersungkur di tanah yang sudah berubah menjadi genangan lumpur.
Teriakkan Madhav mengaum di tengah deru hujan. Altaf menepuk-nepuk punggung sahabatnya, sekaligus berjaga-jaga bila Madhav mendekat lagi ke makam Sahara.
“Percayalah, suatu saat, kau akan bertemu kembali dengan Sahara. Dunia hanyalah tempat untuk kalian berkenalan, kebahagiaan yang sesungguhnya akan kalian dapatkan di surga-Nya.”
Kepala Madhav menoleh sebentar. “Kebahagiaan apa? Aku percaya dengan pertemuan di tujuh kehidupan, sedangkan Sahara percaya dia akan berhenti di surga setelah kematian. Itu yang namanya kebahagiaan tanpa ada pertemuan?”
Goresan senyum tergambar di bibir Altaf. “Lalu, mengapa kau tidak mencoba menempuh jalan yang sama agar dapat bertemu Sahara di tempatnya. Untuk apa pertemuan di tujuh kehidupan, bila pada akhirnya hanya ada perpisahan. Lebih baik berpisah sesaat, lalu bertemu dalam keabadian, bukan?”
Altaf membersihkan lumpur yang melumuri celana belakang sebelum berdiri tegak. Sedangkan hujan masih enggan mengalah dengan sinar mentari. Seperti halnya rasa bersalah Madhav yang tak kunjung menghilang dan berganti dengan keikhlasan.
Pria yang duduk di atas genangan lumpur itu meresapi ucapan Altaf, menaruhnya dalam-dalam ke sanubari agar memberikan keputusan terbaik.
Tangan Altaf terulur. “Ayo! Sahara akan memakiku jika membiarkanmu berada di sini seharian dan kehujanan.”
Madhav menerima uluran tangan Altaf. Walaupun, sekarang tengah terpuruk oleh takdir buruk, Madhav tak ingin membuat sahabatnya ikut merasakan dunianya yang kini remuk, cukup dirinya yang merasakan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Tera Fitoor [END]
عاطفية(Juara 1 Event Writing Marathon Cakra Media Publisher Season 4) [ Romance - Religi - Song Fiction] ●●● Madhavaditya baru saja kehilangan cintanya. Dia mendaki Himalaya untuk mengenang kembali pertemuan sekaligus perpisahannya dengan mendiang sang is...