37. 'Kehangatan Matahari Yang Tak Pernah Berubah'

23 6 0
                                    

***

Sepasang mata terlihat tengah mengamati langit gelap tanpa awan yang hanya di hiasi beberapa titik cahaya bintang.

Dalam radius beberapa ratus kilo meter di depan, terdapat sebuah hutan berkabut yang terlihat tak begitu akrab terjamah manusia. Meski begitu, hal tersebut tak berlaku untuk tanah yang kini di pijak Hadriel yang sama sekali tak di anugerahi kesuburan.

Telapak tangan yang semula diam kaku, kini mulai bergerak kecil menyentuh kain perban yang membalut tangan kekar milik Pangeran Timur Laut tersebut.

Sebuah senyum tiba-tiba terlukis tipis di wajah manis Hadriel kala mencium aroma Xavier yang menempel di kain tersebut. Mungkin dirinya tengah memikirkan sebuah kenangan lewat aroma yang memenuhi indra penciumannya itu.

Saat terhanyut dalam lamunan perasaan, terdengar suara langkah ringan menuju arahnya, namun saat di rasakan makin mendekat tiba-tiba suara itu terhenti. Ia kemudian membawa pandangannya ke samping menuju tiga sosok yang kini berdiri kaku di sana.

“Pangeran ...?” ucap seorang pelayan yang kini menundukkan kepalanya rendah.

Akan tetapi pandangan Hadriel tertuju pada sosok wanita yang tengah berdiri canggung satu langkah di depan sang pelayan.

“Jika tidak ada yang ingin Anda sampaikan, aku permisi untuk merawat korban luka lainnya,” Xavier berucap dengan pandangan tertunduk canggung.

“Bisakah kalian memberiku waktu bersama Ratu sebentar?”

Kedua pelayan itu pun segera berjalan undur diri meninggalkan keduanya.

Angin berembus. Menerbangkan partikel kecil butiran pasir di sana. Tak terdengar suara lain selain gemuruh angin yang berembus memenuhi telinga keduanya. Jika di umpamakan dalam pertarungan, diam merupakan langkah yang akan membuat seseorang kalah atau tewas. Sebagai pemikir handal yang tak di ragukan, Hadriel sangat paham bagaimana cara membunuh situasi tersebut.

“Lama tak bicara ... kau semakin dingin saja terhadap kami."

“Hm,”

Respons agak kaku yang keluar dari mulut Xavier seketika mengundang hening untuk keduanya.

"Apakah satu nyawa masih belum cukup untuk mencairkan suasana hangat di antara kita, Yang Mulia Ratu?"

"Jika ingin mengatakan sesuatu, katakanlah langsung pada intinya. Masih banyak orang yang membutuhkanku hari ini."

Hadriel hanya tersenyum tipis membalas sikap dingin yang tak kunjung mereda di antara mereka.

“Satu minggu yang lalu putra kita, Heskiel, baru saja lulus dari Akademi. Aku benar-benar menyesal karena tidak bisa hadir di upacara kelulusannya. Dia pernah meminta satu permohonan kepadaku yang sayangnya sampai sekarang belum bisa terpenuhi atau mungkin tidak akan terpenuhi.”

Xavier menatap gusar suami pertamanya tersebut, ada rasa penasaran & gundah yang kini menghiasi wajahnya saat mendengar nama Heskiel.

“Permohonan apa itu? Hingga kau menyimpulkannya dengan buruk?”

“Dia berharap saat tumbuh dewasa kelak ia dapat melihat sosok wanita hebat yang telah melahirkannya ke dunia ini & menjadi panutan untuk saudaranya yang lain.”

“Tentu saja, itu pasti akan terjadi.”

“Apa kau lupa, di situasi apa kita sekarang?"

Hening sejenak.

"Kita tengah berperang, dimana para malaikat maut tengah gencar menurunkan rantai & sabitnya,” ucapnya. “Mungkin saja hari ini aku di beri kesempatan menunaikan janjiku. Tapi saat matahari muncul besok, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.”

XAVIER & THE 7 PRINCES OF THE WINDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang