40

115 7 0
                                    

Pagi yang cerah, dengan sinar mentari yang tak di selimuti awan hitam. Suara aliran air terasa menenangkan dengan angin sepoi-sepoi yang sesekali menerbangkan dedaunan.

Pemandangan Surai panjang yang di terbangkan bebas sejenak memanjakan mata. Di tambah dengan senyum yang menunjukkan bahwa ia menikmati aktivitas nya itu seketika membuat perasaan pria itu teduh. Iya, ia pikir sebahagian dari mimpinya telah terwujud.

Di sisi lain, seseorang terus menggerutu. Tatapannya bercampur aduk antara rasa takut dan kebencian. Hati nya dengan busuk terus memaki dan memaki. Itu seharusnya posisi ku, senyuman itu milik ku, dan tatapan senang itu milikku, seharusnya itu milikku.

Namun, ia tak melakukan apa-apa, ia seolah tak berdaya, yang dapat lakukan hanyalah menahan amarahnya. Sebab, posisi nya saat ini hanyalah hama kecil di hadapan kedua orang itu.

"Bagaimana?"

Sebuah kata terlontar begitu saja dari kedua bibir Claude. Tangan yang sedari tadi menahan kepalanya bahkan tak terasa lelah sedikitpun kala melihat sang putri yang selama ini tertidur pulas tengah menyantap makanan dengan lahap. Pipinya yang menggembung terlihat layaknya putri kecil yang baru menginjak umur 5 tahun.

" Manis "

Satu kata yang dikatakan Athanasia membuat Claude nyaris menarik kedua bibir nya. Tingkah Athanasia saat ini seketika melupakannya pada Athanasia yang dulu, Athanasia yang membencinya, Athanasia yang selalu menghindari nya, Athanasia yang tak pernah memaafkan nya. Padahal dia adalah orang yang sama. Athanasia yang sama yang bangun dari tidurnya dan langsung memanggil dirinya, Athanasia yang menyebutkan dirinya ayah, dan Athanasia yang tersenyum sembari mengatakan bahwa ia merindukan ayahnya.

Claude hanya dapat menerima hal itu. Bohong jika Claude tak menyadari hal itu. Walau keduanya adalah Athanasia, namun, mereka seperti orang yang berbeda. Seperti bukan Athanasia.

Bztt ...

" .. ugh ... "

Claude menggerang kecil kala merasakan sesuatu seakan menghantam kepalanya. Rasanya begitu sakit, dan Claude tak tau apa penyebabnya. Sakit kepala itu mulai menyerangnya sejak Athanasia kembali sadar, dan entah mengapa ... Itu sedikit mengganggunya.

" Ayah "

Claude akhirnya menolehkan kepala, menatap gadis berambut kecoklatan yang telah bangkit dari kursinya. Claude menaikkan salah satu alisnya begitu melihat wajah murung dari gadi itu.

" Maaf ayah, saya baru ingat saya memiliki urusan lain, saya pamit undur diri "

Kata kata manis dan penuh rengekan dari gadis itu hilang, tentu Claude menyadari itu. Namun, ia membuang pandangannya kepada Athanasia. Ia terlihat berpikir sejenak, lalu ikut bangun dari kursinya.

Jennette juga adalah anaknya.

" Felix, jaga Athanasia. Aku harus pergi"

Selepasnya, Claude benar benar pergi, meninggalkan Athanasia yang dilanda kebingungan. Namun, anehnya meski Claude tak berkata apapun, Jennette ikut ikutan berjalan, menyelaraskan langkahnya dengan milik Claude.

Claude mengernyitkan keningnya. Matanya melirik kecil pada putri yang dahulu begitu ia cintai itu. Selama sedetik ia menatap wajah sang putri, kepalanya terasa ringan. Itu aneh, bahkan sangat aneh. Mengapa kepalanya yang selalu terasa sakit akan hilang saat ia bersama dengan Jennette?

Apakah ada sesuatu yang salah, apa Claude tak seharusnya melakukan hal ini?

" ... "

' tidak, tidak ada yang salah. Karena Athanasia adalah putriku'

...

Drap ... Drap .... Drap

Suara langkah dari kaki jenjangnya terdengar dari balik taman mawar. Setelan putih yang ia kenakan bagaikan tokoh utama di tengah tengah merah nya bunga mawar, begitu menarik perhatian.

Di balik setelan putihnya, tersembunyi sebuket mawar putih yang telah tertata rapi. Ia pikir seseorang yang akan menerima bunga itu akan menyukainya. Atau mungkin tidak?

Mata emas milik lelaki itu menatap hangat. Tak dapat di pungkiri bahwa dirinya sedang berada dalam kebahagiaan. Dirinya mencoba mengingat kembali bagaimana mata biru berlian itu menatapnya dengan polos dan sedikit gugup. Bagaimana tingkah lakunya yang bebas tanpa terikat apapun, dan bagaimana gadis itu selalu menghindarinya.

Ah ... Mungkin poin terakhir itu adalah poin yang tak begitu ia sukai.

Jika dipikir-pikir lagi, sang putri tak pernah menatap langsung matanya. Terlihat dari iris mereka yang tak pernah bertemu pandang. Tatapannya begitu datar, ia pernah berpikir, apakah sang putri membencinya?

Srak

Baru saja dipikirkan, sang putri yang terus dibicarakan dalam pikiran nya kini tergambar jelas dalam mata nya.

Surai emas yang beterbangan dari sisi sampingnya bagaikan latar yang begitu indah untuk sang gadis. Dress biru  senada dengan langit melekat jelas pada sang gadis, memberi kesan manis untuknya. Tak lupa lagi, iris berlian yang terlihat samar menatap hangat pada sang bunga, seketika membuat mata tertegun menatapnya. Dirinyalah sang putri, tuan putri Athanasia de Alger obelia.

" Ah ... Tuan muda Alphelus"

Matanya yang melirik kecil menyadari kehadiran pemuda berambut perak. Dirinya yang disebut sebagai tuan muda Alphelus seketika tersadar, lalu segera mengalihkan pandangan dari lukisan indah yang begitu candu untuk dipandang itu.

"Ada apa, tuan muda?"

Izekiel dengan ragu melirik kembali pada sang putri. Tatapannya berbinar tercampur dengan bahagia. Saat melihat kembali iris biru permata yang telah lama tenggelam dalam mimpi, tanpa ia sadari senyum nya mengembang.

'cantik'

Lelaki itu menutup matanya. Jari jemari nya dengan kuat menggenggam bunga putih yang ia pegang. Berbanding terbalik, kakinya melangkah lembut mendekati sang putri. Hingga jarak mereka mulai menipis, langkahnya berhenti dan ia pun membuka matanya.

Angin kencang menerbangkan kedua Surai mereka. Kedua lawan jenis itu terdiam. Iris biru berlian itu menatap iris emas itu dalam diam, begitu pun sebaliknya. Untuk pertama kali, kedua iris itu bertemu pandang, mungkin Izekiel akan menarik perkataannya sebelumnya.

"Tuan putri" di tengah kesunyian, Izekiel mengangkat bibirnya. Kedua tangan yang sedari tadi ia sembunyikan dibalik tubuhnya ia angkat tanpa ragu, "terima kasih karena sudah kembali" Izekiel menyodorkan sebuket bunga tanpa ragu sedikit pun.

" ... "

" Ah ... Ini hadiah kecil dari saya atas kesembuhan anda. Anda adalah matahari obelia, semua orang membutuhkan anda, termasuk saya. Saya harap, anda menyukai--"

Srak

Izekiel tertegun. Athanasia sama sekali tak merespon. Bibirnya yang datar sama sekali tak mengeluarkan senyuman. Matanya menatap sayu, namun jari jemari nya dengan begitu hati hati menarik setangkai bunga dari sebuket utuh bunga mawar itu.

Tatkala mendapat setangkai bunga mawar putih itu. Athanasia hanya tersenyum tipis. Lagi lagi pandangan mereka bertemu, tatapan Athanasia begitu hangat, begitulah pikir Izekiel.

Namun, kala Izekiel menyadarinya, terdapat rona merah tipis di pipi sang putri, rona merah yang sebelumnya tak ada.

"Ini cukup untukku, Izekiel"

" ... "

Izekiel tak habis pikir. Matanya bahkan tak mampu berkedip saat bertatap dengan sang putri. Bahkan saat angin yang begitu nakal menerbangkan Surai emas milik Athanasia, itu sama sekali tak mengganggunya.

Satu pertanyaan yang begitu serakah muncul dibenak nya, 'bolehkah aku memiliki nya?'

Grep

Izekiel menguatkan genggaman nya. Matanya berganti menatap dengan penuh keyakinan.

Kali ini, aku akan berusaha untuk ada di sisi mu.

second lifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang