Happy reading, semoga suka.
Untuk yang mau baca cepat, di Karyakarsa sudah tamat ya sampai extra parts. Kalian bisa ke bagian seri untuk cari kumpulan babnya/ke bagian paket - kalau paket, lebih memudahkan saja, sekali transaksi, semua bab langsung masuk ke library kalian.
Ini paketnya, untuk prolog tidak bisa dimasukkan ke paket krn jadinya harus berbayar, jadi bisa cari saja di bagian seri, gratis kok.
Untuk playstore, masih lagi diproses ya.Tetap semangat puasanya ya, tinggal bentar lagi ^^
Luv,
Carmen
__________________________________________________________________________
"Sudah waktunya bangun, Anakku."
Alaina pelan membuka mata. Sejenak ia masih kebingungan, bertanya-tanya di mana ia berada. Lalu ingatan akan beberapa hari yang lalu kembali seperti banjir yang menenggelamkannya dan ia mengerang keras. Oh Tuhan, jadi ini bukanlah mimpi.
"Ayo bangun, Nona Alaina. Ini akan menjadi hari yang panjang. Kita harus mencarikanmu pakaian-pakaian yang pantas," bujuk Habiba sambil menarik selimut dari tubuh Alaina. "Kau sudah tidur cukup lama, Anakku."
Alaina kembali mengerang lalu bangun perlahan. Ia lalu dudu dan mengosok matanya yang lelah sambil menarik napas dalam sebelum menatap Habiba.
"Oke, kita akan pergi berbelanja baju?" tanyanya kemudian untuk memastikan. Apakah itu artinya ia bisa mendapatkan kesempatan untuk keluar dari istana bagai penjara ini? Pelan-pelan, harapannya tumbuh. Begitu juga semangatnya. Alaina merasa kantuknya menghilang dan tubuhnya menjadi lebih segar. "Aku akan mandi dan bersiap-siap dulu?"
Habiba tertawa kecil sambil menggeleng. "Tidak, Anakku. Kita tidak perlu pergi berbelanja. Pakaian-pakaian itu yang akan diantarkan pada kita."
Pelan, semangat Alaina kembali turun. Rasanya ada batu di dadanya yang pelan menenggelamkannya. Really? Apakah selamanya ia tidak akan pernah diizinkan keluar dari tempat ini?
"Pakaian-pakaian itu diantarkan?" bisiknya pelan.
Sebagai jawaban, Habiba mengangguk.
Alaina baru akan membuka mulutnya lagi tapi ketukan di pintu mengalihkan perhatian mereka. Habiba bergegas meminta izin untuk pergi membuka pintu. Dan tak lama, Alaina melihat kamar yang ditempatinya itu dipenuhi dengan rak-rak gantung yang kesemuanya adalah pakaian. Ada pakaian khas Timur Tengah, berhelai-helai kaftans, abaya, jilbab, gaun-gaun panjang yang indah. Tapi yang melegakan, ada juga pakaian-pakaian yang lebih umum dan normal, rak-rak penuh kaos, sweater, celana jins, rok panjang dan pakaian tidur serta pakaian dalam. Yang membuat wajah Alaina memerah, ia bahkan melihat sederet lingerie seksi.
Sial, ia merutuk dalam hati. Putra Mahkota Zimmdabbad memang tidak bermoral. Tapi apa yang bisa dilakukan Alaina sekarang, bukan?
"Baiklah, Nona Alaina, saatnya mencoba semua pakaian-pakaian ini."
Mereka membutuhkan empat jam lebih untuk mencoba semua koleksi pakaian itu, Alaina sudah berhenti menghitung jumlahnya setelah ia mengenakan gaun yang kesepuluh. Begitu selesai, ia langsung mengerang keras sambil merebahkan dirinya ke ranjang dan memejamkan mata. Alaina selalu benci berbelanja pakaian tapi setelah hari ini, ia yakin kalau ia tidak akan pernah melakukannya lagi.
"Baiklah, sekarang saatnya kita bertemu dengan dr. Fatin," ujar Habiba tiba-tiba.
Mata lelah Alaina langsung terbuka lebar.
"Apa? dr. Fatin? Mengapa aku harus bertemu dengan dokter?" tanyanya was-was.
Habiba tersenyum membesarkan hatinya. "Ya, ada pemeriksaan yang perlu kau jalani, Anakku."
"Oh Tuhan, tidak itu lagi," erang Alaina keras. "Kumohon jangan."
Tapi tidak peduli seperti apapun ia memprotes, pada akhirnya Alaina tetap saja digiring menuju ruang praktik sang dokter yang masih berada di dalam istana. Dan sekali lagi, ia harus menghadapi hal yang sama, malu dan terhina tapi masih tetap harus membiarkan dokter itu memeriksanya, untuk memastikan bahwa Alaina benar-benar masih perawan, bahwa ia sehat dan berfungsi baik sebagai wanita. Walaupun pemeriksaan kali ini tidaklah seburuk kemarin, tapi tetap saja ia malu setengah mati.
Setelah selesai, dr. Fatin memberikan Habiba surat pernyataan dan Alaina kembali digiring ke kamarnya. Lelah dan terkuras jasmani serta mental, ia kembali menjatuhkan diri di atas ranjang.
"Nah, tidak seburuk itu, bukan?"
Alaina menatap Habiba kesal. Ia pikir wanita ini ada di pihaknya. Tapi dipikir-pikir lagi, siapa yang berani menentang titah seorang putra mahkota?
"Ya, tentu saja. It was soooo great," ucapnya, tidak tahan untuk tidak bersikap sarkastis.
Habiba mendekat lalu meraih tangan Alaina dan menepuknya lembut. "Aku tahu perasaanmu, tapi percayalah, yang terburuk sudah lewat. Kau aman berada di sini. Sekarang, aku akan meninggalkanmu untuk beristirahat, oke?"
Habiba kemudian bangkit dan meninggalkannya. Alaina mendengar pintu ditutup pelan dan kembali, ia sendirian. Saat ia sendirian, berbagai pikiran kembali berkecamuk. Alaina kembali merasa tidak berdaya dan ketakutan. Alaina tahu situasi yang akan dihadapinya. Ia tahu Tareq, Sang Putra Mahkota itu, dia bukanlah orang suci. Ia tahu kenapa pria itu membeli dan membawanya ke sini. Ia juga tahu cepat atau lambat pria itu akan datang untuk menagih haknya. Perut Alaian serasa mengejang. Ia menggigit bibir untuk menahan tangis. Seandainya saja bisa, ia bersedia memberikan apapun, asal ia bisa kembali terbangun di kamarnya di rumahnya di Wyoming. Seandainya saja ia bisa memberikan apapun untuk membuat semua ini tidak lebih dari sebuah mimpi buruk.