Happy reading, semoga suka.
Ebook lengkap sudah tersedia di Playstore dan Karyakarsa.
Ada cerita baru juga di Karyakarsa, romance adult 21+, visit if you like, langsung tamat ya.
Luv,
Carmen
__________________________________________________________________________
Alaina adalah penunggang kuda yang sangat baik, simpul Tareq saat ia memperhatikan bagaimana wanita itu berusaha melatih kuda yang sedang ditungganginya itu. Ia tersenyum kecil, sambil terus menatap Alaina dan kuda yang sepertinya masih muda itu, dari dalam limusin yang disewanya.
"Yang Mulia, kita turun?"
Ia menoleh dan menatap Habiba. Tareq sudah menceritakan semuanya pada Habiba ketika wanita itu tiba tadi pagi. Ia yang mengatur agar Habiba menyusulnya ke Wyoming, berharap bahwa dengan kedatangan Habiba akan melembutkan hati Alaina sedikit banyak.
Apa sekarang kau menjadi pengecut, Tareq?
Bukan pengecut, ralat Tareq. Ia hanya ingin menunjukkan pada Alaina bahwa ia datang secara baik-baik untuk berbicara dengan Alaina, untuk menyelesaikan masalah apapun di antara mereka dan Habiba bisa menjadi penengah yang baik seandainya Alaina dan keluarganya menolak kedatangan Tareq. Hanya antisipasi, pikirnya. Ia tidak memiliki figur orangtua lagi, Habiba adalah sosok yang paling mendekati posisi tersebut, tentu kedatangan Habiba juga sebagai salah satu bentuk rasa hormat Tareq pada keluarga mertuanya ini.
"Sebentar lagi," jawabnya sambil terus memperhatikan Alaina. "Biarkan dia selesai melatih kudanya dulu."
Senyum masih melekat di wajah Tareq sebelum menghilang dengan cepat ketika ia menyaksikan dengan ekspresi ngeri bagaimana Alaina terjatuh dari punggung kuda dan mendarat keras dengan punggung menabrak tanah. Ia dengan cepat membuka pintu limusin dan berlari kencang menuju ring tempat wanita itu masih berbaring. Dari sudut matanya, ia melihat sosok lain juga berlari cepat menuju wanita itu sambil berteriak keras agar seseorang menelepon 911.
"Alaina! Kau tidak apa-apa? Ada yang sakit?"
Tidak ada jawaban dan Tareq panik setengah mati. Tapi ia tidak berani menggerakkan Alaina.
"Jangan menggerakkannya, kau bisa membuatnya terluka lebih parah," ucap suara keras di belakangnya.
Tareq menoleh. Lalu mengangguk.
"Kau adalah Tareq?" tanya pria itu lagi sambil berlutut di samping Tareq, suaranya tenang terkendali karena seluruh fokusnya ada pada Alaina, jika tidak, Tareq yakin kalau pria yang lebih tua itu akan menghajarnya. Ia praktis bisa mengecap amarah tertahan dari pria tersebut.
"Anda adalah Ayah Alaina?"
"Ya," ucap pria itu lalu melirik Tareq dengan amarah tertahan di kedua matanya yang begitu mirip dengan Alaina. "Kau dan aku perlu berbicara, Anak Muda, tapi setelah ini."
Tareq mengangguk setuju lalu kembali memusatkan perhatiannya pada Alaina. Saat ini, bagi Tareq, tidak ada yang lebih penting daripada keselamatan istrinya. Ia bisa mendengar suara sirene dari kejauhan sementara tampaknya Alaina pingsan karena baik Tareq maupun ayahnya gagal mendapatkan respon apapun dari Alaina. Begitu mobil ambulans tiba dan petugas paramedis turun untuk memeriksa Alaina, mereka meyakinkan bahwa wanita itu akan baik-baik saja. Pemeriksaan tanda vitalnya cukup normal, tidak ada cedera kepala serius karena helm wanita itu melindunginya, tidak ada cedera serius dan patah tulang di tubuhnya tapi pemeriksaan detail di rumah sakit tetap harus dilakukan.
Mereka kemudian mengangkat Alaina dengan hati-hati dan membaringkannya lurus di brankar lalu mengangkutnya ke dalam mobil ambulans. Baik Tareq maupun ayah wanita itu bergegas mengikuti mereka dari belakang tapi hanya satu yang diizinkan untuk naik ke mobil ambulans. Walaupun menyakitkan karena tidak bisa bersama dengan Alaina, Tareq mengalah. Ia tidak ingin memberikan kesan otoriter dan dominan di saat pertemuan pertama mereka, jadi Tareq mempersilakan ayah wanita itu untuk menemaninya dalam ambulans yang melaju ke rumah sakit. Lalu ia menawarkan kepada ibu dan kakak-kakak Alaina tumpangan ke ruma sakit.
"Kalian bisa ikut deganku, jadi kalian tidak perlu berkendara dengan keadaan kacau seperti ini. Mobilku ada di sana," tawar Tareq.
Tanpa kata-kata, ibu dan kedua kakak Alaina mengikuti mereka dan masuk ke limusin lalu kendaraan itu mengikuti mobil ambulans tersebut. Selama dalam perjalanan, ada kebisuan mencekam di antara mereka. Tidak ada satupun dari mereka yang berusaha membuka percakapan dan kedua kakak lelaki Alaina terus memberi Tareq semacam tatapan jijik. Hampir setengah jam kemudian mereka tiba di rumah sakit dan bergegas menuju ke unit gawat darurat.
Ayah Alaina ada di meja informasi, sedang memberikan informasi sementara yang lain menunggu dengan cemas. Sementara itu, Tareq tidak peduli. Ia langsung menyerbu masuk ke dalam ruang UGD tersebut, melihat Alaina sedang dipindahkan ke ranjang rumah sakit dan ia bergegas mendekat.
"Sir, maaf, tapi Anda tidak boleh..."
Ucapan perawat langsung ditepisnya kasar. Tareq tidak peduli dengan aturan rumah sakit sekarang.
"The hell I can't! Kalau aku ingin berada di sini, maka aku akan berada di sini!"
Tareq lalu mendekati ranjang dan duduk di samping Alaina lalu memengangi tangan wanita itu. Sang perawat masih berusaha membujuknya untuk meninggalkan ruangan tapi Tareq sama sekali tidak peduli. Pokoknya ia tidak akan ke mana-mana. Ia tetap tinggal di sana sementara tes demi tes dilakukan pada wanita itu.
"Sir, apakah Anda suami dari pasien?"
"Ya, aku suaminya," jawab Tareq.
Perawat itu mengangguk. "Apakah... apakah ada kemungkinan istri Anda hamil?"
Jantung Tareq melompat lebih cepat.
"Y... ya, ada kemungkinan."
"Baiklah. Kami akan melakukan tes."
Tareq mengangguk lalu mengalihkan perhatiannya kembali kepada Alaina. Ia menatap Alaina sedih, hatinya berdenyut sakit saat menatap wanita itu terbaring diam di ranjang rumah sakit, terlihat begitu lemah dan tak berdaya. Tareq tahu... ia adalah penyebab Alaina jatuh. Wanita itu pasti melihat mobilnya dan kehilangan fokus lalu jatuh. Saat pintu ruangan UGD terbuka Tareq menoleh dan melihat keluarga wanita itu berjalan masuk. Diam-diam, ia mendesah di dalam hati. Tareq tahu mereka pasti akan menuntut penjelasan darinya dan Tareq juga tidak menyalahkan mereka apabila keluarga itu menyalahkannya bahkan melaporkannya. Tareq tahu ia salah, tapi ia tidak menyesal telah menikahi Alaina, hanya caranya yang salah. Apapun itu, yang sudah terjadi tidak mungkin diubah lagi, saat ini yang bisa Tareq lakukan hanyalah mencoba memperbaiki kesalahannya. Ia belum sempat membuka mulut karena pintu kembali terbuka dan kali ini, Habiba yang berjalan masuk.
"Yang Mulia..."
Habiba belum sempat menyelesaikan kalimatnya tatkala Tareq menghindar dari pukulan salah satu kakak lelaki Alaina yang ditujukan pada wajahnya.