Happy reading, semoga suka.
EBook sudah tersedia di Playstore dan Karyakarsa.
Luv,
Carmen_________________________________________
Sepeninggal Tareq, Alaina masih duduk termenung di tengah ranjang, berusaha keras memproses semua kejadian yang baru saja dialaminya. Apa? Apa ia baru saja setuju untuk menikah dengan pria itu?
Yang benar saja, Alaina! Apa kau masih waras?
Memangnya pilihan apalagi yang dimiliki Alaina? Ia sudah pasti tidak mau dikembalikan kepada para penculiknya. Lebih baik Alaina mati daripada harus kembali ke sana. Dan menikah dengan pria itu menjadi pilihan yang jauh lebih gampang. Setidaknya di sini, ia masih diperlakukan seperti manusia dan dengan status pria itu, Alaina tahu ia akan aman. Terlebih, jika ia berada di sini, suatu saat nanti, ia pasti akan menemukan cara untuk kabur dan kembali ke Amerika.
Kau yakin hanya karena itu? Bukan karena ciuman pria itu?
Tentu saja bukan!
Tapi jantungmu berdebar, bukan? Tubuhmu masih membara. Bekas sentuhan pria itu masih terasa. Jangan membantah, sesaat tadi kau menikmati semua perlakuannya.
Sial! Alaina ingin menangis keras. Ya benar, tubuhnya mengkhianatinya. Tapi apa yang bisa ia lalukan? Pria itu tahu caranya menyentuh wanita. Rasa malu membuat Alaina ingin memukul dirinya sendiri. Dan baru saat itu ia sadar kalau gaun tidurnya masih terbuka.
"Oh Tuhan," erangnya keras.
Dengan cepat Alaina mengancingkan gaunnya kembali, sambil mencoba melupakan rasa sentuhan pria itu di puncak dadanya.
Apa kau tahu, begitu kalian menikah, pria itu pasti akan menagih haknya?
Ya, Alaina sadar. Wajahnya terbakar saat ia menyadari bahwa dua minggu dari sekarang, ia harus menyerahkan keperawanan yang dijaganya pada seorang pria asing yang telah membeli, mengancam lalu memaksa untuk menikahinya. Tapi sekali lagi Alaina berkata pada dirinya sendiri, itu lebih baik daripada ia harus kembali dilelang dan dijual. Dan pria itu benar, mungkin saja lain kali, nasibnya akan lebih buruk daripada sekadar dipaksa menikah dengan seorang putra mahkota.
"Tidak apa-apa, Alaina. Kau pasti bisa kabur, jika nanti pria itu sudah mempercayaimu."
***
Selama dua minggu berikutnya, Alaina begitu disibukkan oleh persiapan pernikahannya dengan Tareq, Sang Putra Mahkota Zimmdabbad. Ia menghabiskan banyak waktunya bersama Habiba, yang kini juga bertugas mengajarinya tentang tata karma dan tradisi orang-orangnya. Alaina hanya belajar seadanya, baginya itu tak penting, ini bukan pernikahan Alaina yang sesungguhnya. Sementara itu, persiapan pernikahan mereka sepertinya berjalan lancar. Tapi tentu saja Alaina tidak perlu melakukan apapun, selain memilih gaun pengantin yang akan dikenakannya. Butuh tiga hari dan puluhan desainer yang datang membawa contoh, sebelum akhirnya Habiba puas. Alaina waktu itu sudah nyaris putus asa ketika berpikir bahwa pemilihan gaun pengantinnya itu tidak akan pernah berakhir.
Sementara dengan Tareq, Alaina tidak terlalu sering melihat pria itu. Di siang hari, ia jarang sekali berjumpa dengan pria itu. Tareq sepertinya memang memiliki hobi menyelinap ke dalam kamar wanita di tengah malam, karena itulah yang sering dia lakukan. Jika di siang hari pria itu jarang muncul di hadapannya, maka di malam hari, Tareq selalu bersemangat mendatanginya di tempat tidur. Dan memojokkannya, juga memerangkap Alaina, memberinya ciuman yang selalu membuat jantung Alaina berdebar tak karuan, ciuman yang selalu Alaina katakan pada dirinya sendiri, bahwa ia tidak menyukainya. Ya, ia tidak pernah menyukai ciuman pria itu. Tapi Alaina juga tidak bisa terang-terangan menolak.
Dan waktu dua minggu terasa terbang secepat kilat. Kian hari Alaina mendapati dirinya semakin tegang. Seluruh tubuhnya terasa lumpuh dan ia juga gugup setengah mati ketika membayangkan hari itu semakin dekat. Habiba juga berperan sebagai ibu pengganti yang menurut Alaina, hanya membuatnya semakin gugup dan stress. Wanita itu memberitahu Alaina secara rinci tentang apa yang akan terjadi di malam pengantin dan itu hanya membuat Alaina merasa mual. Well, ia tahu apa yang akan terjadi tapi ia benar-benar tidak butuh diingatkan seperti itu.
Dan tibalah hari pernikahan Alaina, hanya tinggal setengah jam sebelum ia harus berjalan keluar dari kamar ini menuju aula tempat upacara pernikahan mereka akan bertempat. Alaina bisa membayangkan jika aula itu sudah penuh dengan para tetamu undangan, keluarga dan kerabat pria itu, bangsawan-bangsawan, tamu-tamu penting dari berbagai negara. Dan kembali perut Alaina bergolak. Tapi ia tidak bisa mundur lagi sekarang. Ia dikelilingi oleh orang-orang pria itu, tak sedetikpun mereka meninggalkannya sendirian. Kamarnya dipenuhi para pelayan yang sibuk membantunya mengenakan gaun, merias wajahnya, rambutnya, bahkan tangan dan kaki Alaina juga tidak luput. Ia menarik napas dalam sambil berusaha menguraikan dadanya yang sesak.
Please, God... give me strength.
Ia duduk di ranjang dan membiarkan para wanita itu sibuk dengan dirinya, masih berusaha memperbaiki ini dan itu di menit-menit terakhir. Lalu seseorang berteriak bahwa sudah waktunya bagi Alaina menuju aula dan Alaina berusaha untuk tidak pingsan ketika memaksa dirinya bangun dan menyeret langkahnya keluar kamar.