Happy reading, semoga suka.
Ebook lengkap sudah tersedia di Playstore dan Karyakarsa. Bab perbab bisa diview di Karyakarsa ya.
Luv,
Carmen
_____________________________________________________________________________
Alaina sudah bersiap-siap untuk tidur ketika pintu kamarnya diketuk dari luar.
"Alaina?" Itu suara ibunya yang memanggil. "Kau sudah tidur, Nak? Boleh Mom masuk?"
"Belum, Mom."
Ia belum sempat bangkit dari ranjang untuk membuka pintu dan ibunya sudah masuk. Wanita itu menutup pintu kamar Alaina kembali dan berjalan menuju ranjang.
"Boleh Mom bicara sebentar denganmu, Alaina?" tanya wanita itu sambil duduk di ranjang dan menatap Alaina lembut. "Sejak kau pulang, kita belum benar-benar mengobrol berdua."
Alaina mengangguk pelan. Tapi entah kenapa, ia merasa ini bukan sekadar obrolan biasa. Ibunya sudah bersikap agak aneh sepanjang hari, wanita itu lebih banyak diam, terkadang menatap Alaina seolah dia ingin mengungkapkan sesuatu namun menahannya kembali karena sepertinya ucapan itu sulit keluar. Apakah Mom sedang memiliki masalah? Alaina mungkin terlalu berfokus pada dirinya dan kegalauannya sendiri sehingga ia lupa memberi perhatian pada ibunya.
Alaina menjulurkan tangan dan ibunya menyambutnya. Ia meremas tangan tua itu dengan sayang. "Ada apa, Mom? Mom ada masalah? Mom bisa menceritakan apa saja padaku."
Lalu Alaina tersenyum.
"Aku tidak datang untuk berbicara tentang diriku, Alaina. Tapi aku juga bisa mengatakan hal yang sama padamu, kau selalu bisa menceritakan apa saja padaku, Nak."
Tanpa sadar Alaina kembali menarik diri. Jadi ibunya datang untuk menanyakan hal yang sama lagi pada Alaina? Alasan sesungguhnya ia menghilang tiba-tiba dan muncul tiba-tiba?
"Aku tahu, Mom."
"Kami akan selalu ada untukmu."
Alaina kembali mengangguk. Sebenarnya, ia sudah bisa menebak arah pembicaraan ini.
"Kau yakin tidak ada sesuatu yang penting yang ingin kau katakan pada kami?"
"Aku... aku tak mengerti," ujar Alaina kemudian.
Ibunya kemudian mendesah. "Apa yang sesungguhnya terjadi selama liburanmu, Alaina?"
Alaina kembali menatap wajah ibunya, yang kini tampak prihatin tapi juga begitu peduli. Betapa mudahnya untuk menyerah dan menceritakan segalanya, hanya untuk meringankan beban di hati Alaina, tapi ia tidak bisa melakukannya. Entah bagaimana, Alaina tidak sanggup membuka mulut dan bercerita. Lagi-lagi, ia harus berbohong. Lagi dan lagi sampai-sampai Alaina mulai merasa lelah.
"Ti... tidak ada, Mom. Bukankah aku sudah mengulanginya berkali-kali? Aku hanya ingin menyendiri sejenak jadi aku memutuskan untuk berlibur sendirian." Lama-lama, kebohongan itu semakin lancar keluar dari bibirnya.
"Alaina..."
"Mom, please."
Ibunya kembali mendesah berat. "Alaina, kalau memang tidak ada apa-apa, mengapa kau mengenakan cincin kawin di jarimu?"
Alaina terkesiap keras. Ia mengangkat tangannya dengan cepat dan memperhatikan cincin emas yang menghiasi jari manisnya. Bagaimana Alaina bisa lupa? Ia... ia tidak menyadarinya selama ini, kalau cincin tersebut masih bertengger di jarinya. Entah karena Alaina terlalu sibuk menyikapi perasaannya sendiri, atau karena ia terlalu syok dengan semua yang terjadi sehingga pikirannya sedikit kacau atau karena... karena ia sudah terbiasa melihat dan mengenakan cincin tersebut sehingga otaknya tidak lagi mengirimkan sinyal bahwa cincin itu harus disingkirkan.
Ia kembali menatap ibunya, tahu bahwa wajahnya pasti memucat. "Ini... ini..."
Alaina bisa saja berbohong. Ia bisa mengarang alasan mengapa ia mengenakan cincin di jari manisnya. Tidak berarti bahwa itu adalah cincin kawin, bukan? Ia bisa saja tertawa sekarang dan memberitahu ibunya bahwa dia sudah berpikiran konyol, mana mungkin Alaina sudah menikah tanpa memberithu mereka? Tapi ternyata sangatlah sulit untuk memaksakan sebuah tawa agar keluar dari bibirnya. Tidak ketika ibunya sedang menatap Alaina seperti ini.
"Alaina... tolong jangan berbohong lagi pada kami."
Kalimat itu mendorong batas terakhir pertahanan diri Alaina dan ia menyerah. Air matanya merebak di kedua matanya saat ia membiarkan dinding kebohongan itu runtuh. Alaina tidak sanggup lagi menahan beratnya.
"Maafkan aku, Mom..."
Ia menangis saat ibunya menariknya ke dalam pelukan. Alaina terisak tak terkendali selama beberapa saat sampai akhirnya ia cukup tenang untuk bercerita.
Alaina memberitahu semuanya kepada ibunya. Ia menceritakan bagaimana ia terpisah, bagaimana ia kemudian diculik lalu dilelang, bagaimana Tareq membelinya lalu menikahinya. Tak ada satupun detail yang tertinggal. Suaranya parau dan serak ketika ia terus bercerita. Saat menceritakan bagaimana ia kabur dari pria itu dan kembali ke Wyomig, Alaina kembali menangis.
"Tidak apa-apa, Alaina," ujar ibunya sambil memeluknya lagi. Alaina tahu wanita yang lebih tua darinya itu juga ikut menangis dan itu membuat Alaina semakin sedih. "Kau sudah kembali, kau akan baik-baik saja sekarang."
Alaina ingin mempercayai itu, sungguh, tapi ia tidak tahu apakah semua akan pernah kembali baik-baik saja untuknya. Tapi jika ada satu hal terbaik yang terjadi, ia sudah merasa jauh lebih lega sekarang, berbicara dengan ibunya membuat dada Alaina terasa lebih ringan, seolah beban berat di hatinya kini tak lagi menyesaki dirinya.
Pelan, ia menjauhkan diri dan membiarkan ibunya menghapus air matanya.
"Maafkan aku, Mom... aku benar-benar tidak sanggup bercerita tentang ini sebelumnya, aku bukannya sengaja ingin berbohong pada..."
"Tidak apa-apa, Sayang. Mom mengerti perasaanmu."
Alaina lalu mengangguk.
"Aku tahu aku tidak seharusnya mendesakmu tapi sebagai ibumu, aku tidak bisa berpura-pura tidak tahu bahwa ada sesuatu yang salah denganmu."
Selama satu jam lebih, Alaina berbicara dengan ibunya, meluahkan segalanya dan wanita itu dengan tenang mendengarkan cerita Alaina. Dia tidak menghakimi Alaina, tidak memojokkannya, hanya duduk dan mendengarkan, mendukung Alaina. Setelah Alaina tenang, barulah wanita itu berdiri.
"Baiklah, kurasa sudah cukup untuk hari ini. Kau butuh istirahat dan ingat, kau sudah kembali, Mom dan Dad dan kakak-kakakmu tidak akan membiarkan hal buruk terjadi padamu. Kau tidak perlu mencemaskan apapun, oke?"
Alaina mengangguk lemah. Setelah ibunya meninggalkan kamar, Alaina memutuskan untuk bangkit dan mencuci wajahnya lagi. Wajahnya terasa sembap setelah menangis. Saat berada di kamar mandi dan menatap bayangannya sendiri, Alaina merasakan kesedihan itu lagi. Kenangannya bersama pria itu tidak ingin berhenti menghampirinya. Dan ia merasa mual ketika menyadari bahwa ia sangat mungkin telah jatuh cinta pada pria itu. Saat kembali ke kamar, Alaina terduduk lemas menyadari kenyataan yang baru disadarinya itu.
Ia mencintai Tareq?
Ia mencintai pria itu.
Benarkah demikian?
Tidak mungkin, bukan?
Bagaimana mungkin ia bisa jatuh cinta pria itu?
Tareq telah membelinya seperti pria itu membeli pakaian di pusat perbelanjaan. Bagamana mungkin Alaina bisa jatuh cinta dengan pria seperti itu? Alaina menggeleng, tak ingin mengakui hal tersebut. Sepanjang malam itu, ia berbaring dengan mata nyalang, memikirkan tentang hal ini lagi dan lagi dan menanyakan pertanyaan yang sama berulang-ulang sampai akhirnya ia jatuh tertidur.