Malam telah larut, bising kendaraan mulai sayup-sayup, lampu rumah warga sedari tadi redup. hari itu, aku dan mama baru saja pulang dari perjalanan jauh yang mengharuskan sampai ke rumah pada waktu tengah malam.
Sudah lima menit berlangsung tak ada yang membuka pintu rumah, di dalam hanya ada Adik dan Kakak, dari mengetuk pintu, jendela, bahkan menelpon nomor handphone mereka secara berulang-ulang tak membuahkan hasil, karena kantuk mulai menghadang kami memutuskan akan tidur di rumah peninggalan nenek moyang yang tak jauh dari belakang rumah, untungnya mama punya kunci rumah itu.
“Assalamualaikum,” Ucap Mama, sekalipun tahu bahwa di dalam rumah itu tak ada orang. Sebelum masuk, heranku bertanya sepertinya ada yang berbeda dari penampilan rumah itu, sedetik kutepis dengan mungkin hanya perasaan saja.
Kaki yang digerogoti lelah melangkah ke kamar tamu, sedangkan Mama, setelah mengunci rumah menuju kamar kedua. Sembari melangkah, pandanganku seolah tertuju pada dinding-dinding rumah yang terlihat berubah warna kemerahan seirama dengan langkah kakiku.
“Mungkin hanya perasaan karena terlalu lelah,” Sembari mengalihkan pandangan
detik berlalu genggamanku perlahan mendarat pada gagang pintu kamar“Creekk,” lelahku makin menggerogoti, ganggang pintu yang kutekan seolah berbunyi dan tampak hampir akan retak. “Aneh. Gagang yang terbuat dari perak wujudnya seolah akan retak seperti retakan kayu,” Logika mulai memaksa agar otak lekas beristirahat.
Lelah mengantarku untuk rebahan di atas ranjang, kedua pasang mata terarah jelas pada atap rumah, kali ini retakan atap rumah terlihat bergerak garisnya terus menjalar meluas.
“Oh tidak, mungkin mata ini harus lekas dipejamkan.”
Aman, sepertinya takkan ada lagi gangguan halusinasi yang berlebihan karena penglihatan telah tertutup.
Baru saja akan terlelap, bantal tidurku seolah berpindah seperti ada yang menariknya.
“Cobaan apa lagi ini,” rasa kantuk tak mau berkompromi, lekas kugapai bantal itu, satu kali, bantal bergeser menjauh, dua kali, bantal itu masih bergeser, tiga kali, kantukku hilang dan tersadar akan adanya intervensi dari makhluk halus yang mengganggu kenyamanan sedari tadi.Mengalir tanpa permisi bulu kuduk merinding beriringan dengan langkah kaki bergegas ke kamar Mama.
“Mama..Mama?” Mengetuk pintu kamar Mama
“Yah.. ada apa,” cemas Mama dengan wajah mengantuknya
“Ada yang aneh dari rumah ini Ma,”
“Apa itu Nak?”
“Semuanya”
“Maksud kamu?”
“Dari dinding, gagang pintu, atap, bantal, semuanya hidup.”
“Astagah. Kamu tidak sedang ngigau?” menggerakkan sepasang bahuku lalu meletakkan telapak tangannya di jidatku. “Atau kamu sakit?”
“Tidak Ma, aku juga sehat.”
“Tidak ada yang aneh dari rumah ini” Tegas Mama
“Hmm, baiklah mungkin hanya sekedar halusinasi saja.” Sedetik pandangan, telinga kami terfokus pada bunyi yang bersumber dari sebuah lemari di ruang tamu, terlihat lemari itu bergeser perlahan.
“Tuh kan, Mama lihat itu?”
“Lihat,, tapi…”
Perkataan Mama terhenti melihat pergerakan dan bunyi lemari kian detik kian membesar..
“Allahuakbar!!,” Sahutku secara spontan, mataku terbelalak terfokus garis retakan atap rumah.
“Astaghfirullah,” nampaknya aku baru saja bermimpi. Bunyi Azan Subuh telah berkumandanng mengembalikan detak jantungku yang sempat lari tak beraturan. Beriringan dengan suara ketukan pintu yang dihiasi suara Mama membangunkan untuk Shalat Subuh.
Setelah bangkit, kubuka pintu kamar yang masih berbunyi.
“Creekk,” Tak ada Mama di depan pintu, sadarku mengingatkan bahwa sedari tadi malam karena pulang telat dari rumah teman, aku terpaksa tidur di rumah itu, seingatku hanya diriku sendiri.
Selesai.