Rumah nenek terlihat masih sama seperti yang diingat oleh Nisa dan Nafisa saat terakhir kali mereka kunjungi. Rumah model limasan bernuansa tradisional Jawa yang tampak teduh dan damai. Halamannya luas dan ditanami beraneka tanaman buah yang rimbun. Begitu pula dengan rumahnya. Di bagian depan ada beranda untuk menerima tamu. Sedangkan di bagian dalam terdapat banyak kamar dan ruangan yang lebar untuk bermacam-macam aktivitas.
Sesuai dengan nuansa yang dihadirkan oleh bangunan fisiknya, rumah itu memang terasa amat damai dan nyaman ketika nenek masih ada.
Namun, kali ini tampaknya berbeda. Rasanya penuh ketegangan. Tidak ada lagi sambutan dan pelukan hangat nenek, juga tawa renyah nenek di tengah canda dan perdebatan antara Nisa dan Nafisa. Tidak ada lagi belaian lembut tangan keriput nenek di kepala anak-anak perempuan itu.
Nenek kesayangan Nisa dan Nafisa sudah meninggal dunia tiga bulan yang lalu. Ini pertama kali mereka mengunjungi rumah ini lagi setelah nenek tiada.
Hari ini seluruh keluarga kembali berkumpul untuk mendengarkan pembacaan wasiat oleh pengacara.
Semua pandangan mata orang-orang yang sudah sedari tadi mengisi ruang tamu rumah besar itu tertuju pada mereka berempat yang baru saja tiba. Bunda dan Ayah segera menghampiri dan menyalami orang-orang itu, sementara Nisa dan Nafisa mengekor di belakangnya.
"Syukurlah kalian sudah sampai, kami sudah cukup lama menunggu kalian. Pak Firman, pengacara yang ditunjuk oleh ibumu juga sudah di sini sejak pagi tadi. Bisa kalau langsung kita mulai saja?" Seorang laki-laki baya yang merupakan adik kandung nenek tanpa tedeng aling-aling memulai pembicaraan.
"Maaf, Paklik, jalanan lebih macet dari biasanya," kata Ayah memberi alasan.
"Sudahlah ndak usah banyak alasan. Kamu itu pasti tidak senang kami ikut diundang dalam pembacaan wasiat ini. Kamu pasti berharap seluruh warisan mertuamu jatuh ke tangan istrimu kan," balasnya ketus.
"Maaf, Mbah, Ayah berkata jujur karena saat ini memang musim liburan. Lagian kami baru saja sampai setelah perjalanan jauh, loh, duduk pun belum," timpal Nafisa sambil mendebas keras.
Tatapan tajam Ayah dan Bunda langsung menusuk Nafisa. Namun, gadis itu tampak tak gentar.
"Sebaiknya kalian berdua istirahat saja atau pergi main dulu," pinta Bunda tegas.
Nisa menarik lengan kakaknya, memperingatkan agar tidak perlu ikut campur urusan orang dewasa.
Nafisa tampak enggan, tetapi tetap menuruti adiknya itu. Mereka berdua keluar dari ruang tamu itu menuju rumah paviliun yang lebih sepi.
"Ngapain, sih, lo pakai cegah gue balas mulut pedas Mbah Sur tadi? Omongan beliau tuh keterlaluan," semprot Nafisa jengkel.
"Kekesalan lo nggak lihat tempat. Bunda tadi kelihatan marah banget karena kelakuan lo bisa bikin mereka tambah salah paham," balas Nisa.
Bukan Nafisa dan Nisa namanya jika tidak bertengkar. Tiada hari tanpa perdebatan yang ujung-ujungnya menjadi pertengkaran.
Memang usai nenek mereka meninggal dan meninggalkan banyak kekayaan terjadilah perebutan harta oleh sanak saudara lainnya.
Tanpa sadar Nisa dan Nafisa berjalan ke arah gudang yang sejak dulu menjadi area terlarang bagi mereka untuk main. Biasanya selalu ada asisten rumah tangga nenek yang menjaga mereka bermain, tapi kali ini tidak.
Kedua kakak beradik itu saling pandang melihat gembok yang tergantung dengan anak kuncinya di pintu gudang itu.
Tema day 1: Buat cerita sekreatif mungkin tentang pengalaman pertama.
KAMU SEDANG MEMBACA
LET'S PLAY
General FictionNafisa dan Nisa tak pernah menyangka bahwa papan permainan yang mereka temukan di gudang rumah nenek mereka akan membawa mereka pada segudang petualangan. Kedua kakak beradik yang kerap terlibat sibling rivalry itu harus berjuang bersama agar bisa m...