Saat duduk menunggu, Nisa dan Nafisa mengamati keadaan sekitar. Kampung yang mereka pijak sekarang ini amat sepi. Tak terlihat seorang pun berjalan di jalan depan warung yang cukup lebar. Tak terlihat tanda-tanda adanya aktivitas. Padahal di desa nenek mereka, pada waktu siang hari biasanya para petani dan pekebun kembali ke rumah untuk beristirahat. Ada juga yang membawa hasil kebunnya untuk dijual.
Banyak pertanyaan berkecamuk di kepala mereka. Apalagi warung ini juga sangat tidak terawat, penuh debu, dan berantakan. Apa tidak ada orang yang berbelanja?
Ketika rasa bingung semakin menjadi, nenek pemilik warung keluar dengan membawa baki berisi dua gelas teh manis hangat. Kebingungan mereka harusnya bisa segera terjawab.
"Silakan diminum, Neng."
Nisa dan Nafisa tak lagi tertarik dengan teh yang disuguhkan. Mereka mengangguk sekadarnya untuk berterima kasih, kemudian segera melontarkan pertanyaan yang dari tadi membuat mereka keheranan.
"Kenapa kampung ini kelihatan sepi sekali, Nek? Sejak tadi nggak kelihatan orang lewat, bahkan rumah-rumah di sekitar sini juga sepi," tanya Nafisa yang didukung dengan anggukan oleh adiknya.
Nenek pemilik warung tersenyum getir, bulir air mata tampak di pelupuk matanya.
"Kalian rupanya menyadari juga," kata nenek itu dengan pandangan menerawang. "Dulu kampung ini sangat ramai, damai, dan tenang. Bahkan kampung ini dijuluki surga sangking indahnya. Namun, sejak seorang profesor dari kota datang dan membuat laboratorium di rumah yang disewanya, kampung ini kehilangan kedamaiannya."
Nisa dan Nafisa menegakkan posisi duduknya, cerita nenek ini menarik rasa penasaran mereka.
"Profesor itu meneliti serum untuk kehidupan abadi. Ia menggunakan orang-orang kampung sebagai objek penelitiannya. Kelinci percobaan. Terdengar kasar memang, tetapi bukankah selalu ada pengorbanan yang harus dibayar untuk hasil yang terbaik. Mungkin itulah yang dipikirkan sang profesor. Serum itu akan sanggup mengobati berbagai penyakit dan memberi harapan hidup bagi semua," lanjut nenek pemilik warung.
"Lalu, apa yang terjadi, Nek? Di mana profesor itu? Bagaimana serumnya? Apakah serum itu bisa membantu orang-orang di kampung ini?" tanya Nisa penasaran.
Nenek pemilik warung itu menyeringai, lalu mengusap air matanya dengan punggung tangan.
"Orang-orang di desa ini terlalu lemah, mereka tidak punya imunitas dan semangat hidup yang kuat. Mereka tidak layak mendapat serum."
Nisa dan Nafisa tiba-tiba bergidik, mata mereka membelalak. "Maksud Nenek?"
"Profesor itu ada di sini. Menunggu manusia yang punya semangat dan kekuatan seperti kalian," jawab si nenek sambil terkekeh.
Nenek itu mengeluarkan sebuah suntikan dari balik lengan bajunya. Kemudian dengan cepat dan efisien menyuntikkan cairan ke dalam tubuh salah satu gadis yang menjadi tamunya.
"Aku akan menyempurnakan serum ini setelah aku melihat reaksinya di tubuh kalian!" katanya.
Challenge day-4: tema apocalypse.
KAMU SEDANG MEMBACA
LET'S PLAY
General FictionNafisa dan Nisa tak pernah menyangka bahwa papan permainan yang mereka temukan di gudang rumah nenek mereka akan membawa mereka pada segudang petualangan. Kedua kakak beradik yang kerap terlibat sibling rivalry itu harus berjuang bersama agar bisa m...