Nafisa duduk gelisah di kamarnya. Pernyataan Nisa kemarin cukup mengganggunya. Jujur saja ia takut jika harus terseret lagi ke dunia permainan. Di depan adiknya saja dia jumawa berpura-pura berani, padahal ia benar-benar khawatir.
Jam tangannya kini sudah ia lepas dan disimpan dalam lemari.
Namun, Nafisa tetap sulit memejamkan mata. Padahal tubuhnya sudah letih setelah ia paksa jogging sore tadi.
Ia malah kepikiran tentang satu-satunya teman yang dikenalnya di dunia permainan. Sepertinya ia merindukan sosok cowok itu. Cowok yang sepintas tampak cuek, tapi sebenarnya amat perhatian.
Berkat cowok itu ia jadi merasa beruntung terlahir di keluarga yang cukup hangat, meskipun kerap bertengkar dengan adiknya. Ayah dan Bunda selalu siap membantu saat ia perlukan. Perhatian keduanya pun amat bisa dia rasakan.
Sedangkan Statham, ia bahkan telah lupa siapa orang tuanya. Hanya sedikit kenangan tentang ibunya yang bisa diingatnya. Saat Nafisa bercerita tentang keluarganya, Statham terlihat antusias sekaligus sedih.
"Kamu sendiri, bagaimana dengan keluargamu? Kalau kamu sudah sedemikian lamanya di dalam dunia ini, apa mereka tidak mencarimu? Mereka pasti sedih karena kehilanganmu," kata Nafisa saat itu.
Statham mengedikkan bahu. "Ibuku sudah meninggal sejak aku masih berusia sepuluh tahun."
"Oh, sorry. Aku turut berduka, ya. Lalu ayahmu?" ucap Nafisa bersimpati.
Statham mengangguk.
Sedetik Nafisa melihat mata cowok itu menggelap, sebelum akhirnya menggeleng dan kembali bicara.
"Entahlah. Seumur hidupku, aku tidak tahu kalau aku mempunyai ayah."
Tema day 21:Akhiri cerita kalian hari ini dengan kalimat "Seumur hidupku, aku tidak tahu kalau aku mempunyai ayah."
KAMU SEDANG MEMBACA
LET'S PLAY
General FictionNafisa dan Nisa tak pernah menyangka bahwa papan permainan yang mereka temukan di gudang rumah nenek mereka akan membawa mereka pada segudang petualangan. Kedua kakak beradik yang kerap terlibat sibling rivalry itu harus berjuang bersama agar bisa m...