Sedetik setelah bersitatap, Nafisa langsung menarik lengan adiknya hingga mereka kini ada di dalam gudang.
"Ngapain, sih, kita mesti ke sini? Bukannya Nenek selalu melarang kita," ujar Nisa memperingatkan.
"Memangnya lo nggak penasaran kenapa Nenek melarang kita?" balas Nafisa gemas dengan tingkah Nisa yang terlalu menurut aturan.
Nisa mengangkat alisnya sambil menatap kakak perempuannya yang hanya berbeda sebelas bulan dengannya itu.
"Ya, gue penasaran. Cuma, gimana kalau Bunda tahu, terus marah ke kita?" balas Nisa dengan suara sedikit meninggi.
Nafisa menaruh jari telunjuknya di bibir. "Ssshh, nggak usah berisik kalau lo nggak mau kita ketahuan," katanya dengan suara nyaris berbisik.
Keduanya akhirnya sadar diri dan langsung menutup mulut mereka agar tidak ketahuan.
Perlahan Nafisa menutup kembali pintu gudang itu setelah mengambil kuncinya yang tadi tergantung. Mata mereka mengerjap untuk menyesuaikan kondisi penglihatan di tempat yang cukup gelap, meski sebuah lampu telah menyala di langit-langit.
Gudang itu terasa pengap. Sarang laba-laba dan debu terlihat menutupi barang-barang yang diletakkan di situ. Nisa tiba-tiba terbatuk-batuk saat Nafisa membuka sebuah kain penutup yang menutupi benda hitam besar yang bentuknya seperti kotak harta karun di buku-buku dongeng.
Akal sehat Nisa mengatakan seharusnya mereka segera keluar saat melihat sekilas kondisi gudang itu. Namun, kakinya enggan beranjak. Terlebih ketika melihat Nafisa mulai memeriksa isi gudang yang selalu terlarang itu.
"Nis, lihat apa yang gue temuin? Jangan-jangan ini harta karun Nenek," ujar Nafisa berasumsi. "Bisa aja kan ada sesuatu yang disembunyikan Nenek di sini sampai-sampai kita nggak pernah boleh main di sini."
"Naf, kayaknya nggak sopan deh kalau kita bongkar-bongkar ini semua tanpa izin," timpal Nisa.
Nafisa hanya mengibaskan satu tangannya di depan wajah Nisa.
"Kita kan cuma lihat, nggak mencuri. Lagian mau izin sama siapa, Nenek juga sudah nggak ada."
Nafisa pun membuka kotak itu lalu melihat bermacam-macam benda antik di dalamnya. Ada jam tangan, tusuk konde, cawan, tempat sirih, dan banyak lagi . Sepertinya barang-barang antik ini peninggalan almarhum kakek yang masih dijaga dengan baik oleh nenek mereka. Kakek Nisa dan Nafisa adalah seorang kolektor benda-benda kuno, ketika beliau meninggal banyak koleksinya yang dihibahkan ke museum-museum.
"Sini, Nis, lihat!"
Nisa mendekat lalu ikut mengaduk-aduk benda-benda lainnya yang mereka temukan. Tangan Nisa dan Nafisa berhenti bergerak ketika mereka secara bersamaan memegang sebuah kotak kecil berukiran berbentuk ular dan tangga di bagian atasnya serta tulisan dengan bahasa yang tidak mereka pahami.
Mereka pun berpandangan sejenak. Nisa buru-buru melepaskan pegangannya lalu tiba-tiba wajahnya berubah pias seakan ketakutan. Sementara Nafisa justru makin mempereratnya dengan tatapan penasaran.
Ada bunyi gemeletuk dari dalamnya ketika Nafisa mengguncang-guncang benda itu.
"Ada isinya, Nis. Jangan-jangan papan ular tangga zaman kuno," terka Nafisa asal.
"Naf, jangan sembarangan! Kembalikan aja benda itu. Feeling gue nggak enak. Semua ini kayak déjà vu. Gue rasanya pernah mimpi kita ada di sini dan setiap gue ingat mimpi itu rasanya badan gue lemas," bujuk Nisa.
"Dasar penakut!" ejek Nafisa. "Itu kan cuma mimpi, Nis."
Nisa mencebik. Memang dirinya tidak sepemberani Nafisa, tetapi ia bukan anak penakut. Ia hanya penuh perhitungan dan tidak ingin mendekati masalah.
Remaja perempuan dengan rambut dikucir ekor kuda itu mencoba membujuk kakaknya lagi dengan menceritakan mimpinya.
Bulu kuduk Nisa meremang kala ia kembali mengingat mimpi itu. Mimpi yang terasa amat nyata. Seolah-olah ia memang berada di sana, tapi ia sama sekali tidak berkuasa akan tubuhnya, meski hanya untuk berteriak.
Di mimpi itu, Nisa melihat Nenek memakai pakaian kebaya dan jarik, dengan rambut disanggul memakai tusuk konde seperti yang ada di kotak hitam itu. Beliau juga menenteng kotak berukir yang kini dipegang oleh Nafisa. Sayangnya saat Nisa ingin menyusul Nenek, dirinya dihadang oleh raksasa yang menyeramkan. Ia berusaha memanggil Nenek dan meminta tolong, tapi tubuhnya tak bergeming. Raksasa itu mengikat tangan dan kakinya, menjadikannya sandera agar penduduk segera mengumpulkan makanan untuk raksasa itu.
Nisa sudah berusaha menjelaskan bahwa ia berasal dari dunia yang berbeda. Ia bukanlah salah satu penduduk kampung itu. Namun, raksasa itu malah semakin marah. Ikatan di tubuhnya makin mengencang, bahkan raksasa itu sudah menyiapkan kayu bakar untuk memanggang dagingnya. Nisa merasakan panas merayapi seluruh tubuhnya meski dirinya belum berada di dalam kobaran api.
Saat itu Nisa sudah hampir menyerah. Ia rasanya ingin membuka matanya agar mimpi buruk ini berakhir. Namun, sulit sekali rasanya, seolah ada batu yang menindihnya. Akhirnya semua tiba-tiba hilang begitu saja, lalu ia melihat wajah Bunda di samping ranjangnya.
"Sumpah, Naf, gue nggak mau ketemu sama raksasa di mimpi itu lagi. So please, mendingan kita kembalikan aja benda itu di tempatnya."
Nafisa menggeleng-geleng lantas menyengir menunjukkan gigi-giginya yang berbaris rapi. "Itu semua cuma mimpi, Nisa. Bunga tidur. Lo bahkan sampai sekarang masih baik-baik aja, kan."
Tanpa mengindahkan peringatan adiknya, remaja perempuan yang bertubuh tinggi dan sedikit gempal itu menaruh kotak berukir yang dipegangnya di lantai lantas membuka pengaitnya.
"Naf, lo nekat, ya!"
Suara Nisa yang sebenarnya cukup keras itu hampir tak terdengar, kalah dengan pusaran angin yang tiba-tiba datang dari dalam kotak dan menyedot tubuh kedua gadis itu ke pusatnya.

Tema day-2: Buat cerita tentang lucid dream.
Sejujurnya aku nggak ingat pernah mengalami mimpi semacam ini apa nggak. Mimpi yang kita merasa sadar sedang ada di alam mimpi. Aku memang jarang banget dapat mimpi saat tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
LET'S PLAY
General FictionNafisa dan Nisa tak pernah menyangka bahwa papan permainan yang mereka temukan di gudang rumah nenek mereka akan membawa mereka pada segudang petualangan. Kedua kakak beradik yang kerap terlibat sibling rivalry itu harus berjuang bersama agar bisa m...