Setelah memeriksa peta dan bertanya sana-sini akhirnya Nafisa dan Nisa menemukan alamat keluarga Josh. Rumah keluarga itu teramat sederhana, hanya berupa bilik beratap jerami di pinggiran estate milik seorang Land Lord.
Kedua bersaudara itu pada akhirnya hanya meninggalkan bungkusan milik Josh beserta surat singkat di depan rumah tersebut secara diam-diam. Bukannya tak mau berterima kasih secara langsung, tetapi mereka bingung cara memberi penjelasan mengenai siapa mereka termasuk bagaimana mereka mengenal Josh hingga pemuda itu menitipkan sebuah bungkusan untuk keluarganya.
Jelas saja daripada keluarga Josh dan orang-orang menaruh curiga, mereka memilih menghindar. Bukannya yang terpenting amanat sudah ditunaikan.
Ajaibnya, setelah bungkusan itu sampai ke tangan ibu pemilik rumah, sebuah pusaran angin berputar di sekitar Nisa dan Nafisa.
Kakak beradik itu seolah sudah menduga, mereka saling pandang dan tersenyum.
"Dadu sudah mulai beradu dan bergulir," ucap Nisa seraya mengulurkan tangannya kepada Nafisa.
Kakak perempuannya itu segera menyambut dan memegang erat tangan Nisa. Berharap pegangan kuat di antara mereka akan menempatkan mereka di tempat yang sama. Biarlah mereka masih di dunia permainan, asal berdua setidaknya mereka kini lebih merasa tenang.
***+++***
Pusaran angin itu berhenti lalu melemparkan Nisa dan Nafisa dengan keras di depan sebuah warung kecil yang tampak tak terurus.
Bunyi gedebuk membuat seorang wanita tua keluar dan mencari sumber suara itu.
Wanita tua itu berjalan memakai tongkat dengan tertatih, lalu membantu membangunkan keduanya.
"Neng, Neng nggak apa-apa?" tanyanya sambil memegang tubuh Nisa dan Nafisa secara bergantian.
Sambil mengelus-elus tangan dan kakinya yang sakit, Nisa dan Nafisa mengangguk. Dengan perlahan mereka berdiri lalu mengedarkan pandang. Tentu saja mereka berusaha mengenali tempat mereka jatuh.
Nisa dan Nafisa lagi-lagi tersenyum, setidaknya mereka kenal bahasa nenek ini dan juga barang-barang yang dijual di warung ini.
Botol-botol minuman, mie instan, dan juga rokok berbagai merk berjajar di etalase kecil yang diletakkan di atas meja.
"Kami nggak apa-apa, Nek. Ini warung Nenek? Apa kami bisa beli minuman?" tanya Nafisa.
"Boleh, boleh, Neng. Mau minum apa? Ayo, silakan duduk dulu," kata nenek tua itu dengan ramah sembari menarik kursi plastik di bawah meja kayu panjang.
"Teh manis hangat, dua, Nek. Ada?" Kali ini Nisa yang bertanya.
Si nenek mengangguk cepat. "Ada. Sebentar, Nenek buatkan dulu."
Kedua perempuan muda itu pun tersenyum mengiyakan. Kemudian duduk di atas kursi plastik yang berdebu. Jelas sekali jika warung ini sudah jarang dikunjungi pembeli.
"Nis, menurut lo misi apa lagi yang sekarang mesti kita jalani?"
Anak yang ditanya lagi-lagi hanya mengangkat bahu. Dia sama tidak tahunya dengan sang kakak.
"Mana gue tahu, tapi seenggaknya kita sudah ada di dunia yang kita kenal. Mungkin kita bisa tanya nenek ini mana tahu beliau butuh bantuan. Lo bisa lihat, warung ini kayak nggak keurus. Sepi, berdebu."
Mata mereka pun bertemu lalu mengangguk saling setuju.
Challenge day-3: tema warung
KAMU SEDANG MEMBACA
LET'S PLAY
Художественная прозаNafisa dan Nisa tak pernah menyangka bahwa papan permainan yang mereka temukan di gudang rumah nenek mereka akan membawa mereka pada segudang petualangan. Kedua kakak beradik yang kerap terlibat sibling rivalry itu harus berjuang bersama agar bisa m...