Ruang BK di sekolahku berada di ujung dekat Ruang Tata Usaha, aku menelusuri lorong yang begitu panjang sembari kumenunduk karena sepanjang kami berjalan, semua murid menatap dengan perasaan terheran-heran. Aku tidak menyangka hari pertamaku adalah hari paling terburuk sepanjang aku sekolah. Kupikir kesialanku hanya terlambat saja, tetapi sebuah kasus yang tidak terduga.
"Si Rizal kasus apa lagi ini, Pak Bas?" Tanya seorang guru bernama Sri.
"Biasalah, Bu Sri." Jawab Pak Bas singkat, lalu melanjutkan jalannya.
Entah di SD, SMP bahkan Di SMA pun nama Bu Sri selalu ada. Aku tidak tahu mengapa nama tersebut sangat terkenal dan sering dipakai oleh beberapa guru. Biasanya, nama Sri itu dipakai oleh guru agama Islam atau guru Kristen yang kebanyakan di sekolah negeri. Aku melanjutkan jalanku, aku terus melihat ke arah depan dan sekelilingku, tak lama kemudian aku sampai di Ruang BK yang pintunya berlapis kaca seperti Ruang Tata Usaha.
"Assalamualikum, Bu Mei. Saya membawa kasus baru beserta anak yang baru." Ucap Pak Bas yang cara bicaranya seperti detektif.
"Ok, baik pak. Saya akan handle mereka bertiga." Ucap Bu Mei sambil membereskan berkas.
"Saya nitip mereka ya, bu. Wassalamualikum." Sahut Pak Bas kemudian menutup pintu.
"Iya pak, waalaikumsalam." Balas Bu Mei.
Di Ruang BK, ada sebuah AC yang cukup dingin dengan suhu 16°C. Cat di ruangan tersebut ada tiga warna di tembok yang masing-masing cat mengarah ke tempat duduk. Margaret bertanya mengapa di tembok sebelah kiri dari arah kumasuk dibagi menjadi tiga kemudian Bu Mei menjelaskan bahwa warna biru untuk Guru BK kelas dua belas, warna merah untuk guru BK kelas sebelas, warna kuning untuk Guru BK kelas sepuluh. Guru BK kelas dua belas bernama Bu Jaenab, ia memiliki wajah yang sudah tua dan ingin pensiun, ia mengenakan kacamata karena sudah tua. Guru BK kelas sebelas bernama Bu Sarah, ia memiliki wajah yang sudah keibuan, badannya gemuk, dan memakai hijab. Guru BK kelas sepuluh bernama Bu Mei, ia memiliki paras yang cantik dan masih muda, badannya langsing dan rambutnya pendek sebahu.
Aku melihat beberapa tumpukan berkas di meja kelas sebelas dan dua belas. Menurutku berkas tersebut adalah kasus-kasus murid. Aku duduk bersama Margaret di sofa berwarna coklat dan sofanya sangat empuk dan dingin. Ada tiga sofa di dalam ruang BK, sofa tersebut panjang membentuk sebuah huruf U dan di tengahnya ada sebuah meja yang di isi sebuah taplak meja. Taplak tersebut dibuat dari sebuah kain putih dan bercorak warna-warni, aku rasa warna tersebut hasil dari praktek murid kelas sebelas atau dua belas. Di atas taplaknya, ada sebuah bunga mawar berwarna merah muda yang diletakkan di tengah-tengah.
Di atas tiga meja tersebut yang berbaris membentuk horizontal dari tembok sebelah kiri arah kumasuk, ada sebuah komputer berwarna hitam dan di atas meja tersebut juga terdapat beberapa buku siswa dan siswi. Di atas dinding terdapat jenis kasus dan jumlah poin negatif yang didapatkan. Kasus paling tinggi, yaitu merokok poinnya 100. Di bawah jenis kasus, ada sebuah keterangan yang berbunyi "Jika poin negatif telah mencapai 100 maka dengan demikin sekolah akan mengeluarkan murid yang terlibat."
Beberapa kasus lain di bawahnya juga ada seperti membawa senjata tajam, bolos sekolah, mencuri, menonton video porno dll. Di banner sebelahnya ada sanksi keterlambatan, terlambat sekali untuk agama Islam, yaitu hafalan surat pendek, minimal enam surat yang terdiri dari tujuh ayat ke atas, sedangkan untuk agama Kristen menyebutkan enam ayat pendek di alkitab. Untuk agama yang lain seperti Hindu dan Budha akan di sesuaikan oleh beberapa guru agama yang lain. Terlambat dua kali, menyanyikan lagu Mars dan Hymne sekolah di lapangan, saat jam istirahat. Terlambat tiga kali memanggil orang tua dan SP satu kali. Keterangan terakhir juga berbunyi "Jika SP sudah mencapai tiga kali sekolah berhak mengeluarkan murid yang melanggar aturan tanpa adanya toleransi sedikitpun." Aku yang melihat peraturan tersebut menelan ludah pun susah, ternyata di balik sekolah yang mewah tersimpan peraturan yang ketat.
"Rizal kenapa sih masih pagi udah kasus mulu?" Tanya Bu Mei sambil menjewer kuping Rizal.
"Aduh, duh bu sakit." Ucap Rizal kesakitan.
"Kamu juga anak baru. Kamu tuh masih baru, masih suci, masih fresh tapi kenapa sudah mencari kasus? " Tanya Bu Mei dengan nada becanda.
Bu Mei sangat tegas. Namun, ia membarengi ketegasannya dengan nada becanda. Berbeda dengan galaknya guru di SMPku yang bernama Bu Eka. Guru tersebut kalau sudah mengamuk membawa sapu dan mengejar anak-anak yang bolos, kadang menggunting rambut yang gondrong, merobek tali pinggang celana jika tidak memakai sabuk. Dan yang lebih parahnya lagi jika tidak ada yang mengerjakan tugas, Bu Eka langsung mengusirnya keluar dan berdiri di lapangan hingga pulang sekolah. Banyak murid yang mendoakannya yang jelek-jelek, walau sebenarnya Bu Eka adalah guru yang baik dan penyayang, tetapi tetap saja doa yang jelek selalu menyertainya. Aku pernah mendengar doa dari teman-teman sekelasku yang banyak menyumpahinya yang tidak-tidak. Dan saat aku naik kelas sembilan SMP. Bu Eka meninggal karena serangan jantung, banyak murid-murid yang sedih dan sebagiannya menyesal karena telah menyumpahinya dengan kata yang tidak-tidak.
Kembali ke kasusku, Margaret menjelaskan kronologi secara singkat padat dan jelas mengenai kejadian di kantin. Rizal tidak terima saat Margaret menjelaskan adanya kesenioritasan di sekolah ini. Margaret juga yakin jika di sekolah ini kemungkinan ada korban perundungan atau mungkin pelecehan seksual karena Rizal telah berani menyentuh rambut Miya.
"Kenapa? Lu masih gak terima?" Tanya Margaret ke Rizal karena Rizal selalu mengelak.
"Fitnah lu ya." Bentak Rizal kemudian menunjuk wajah Margaret.
"Bu Mei, kami sarankan untuk mengecek di Ruang CCTV agar kita tahu siapa yang berbohong dan siapa yang playing victim" Pintaku.
Saat beberapa menit kami berdebat, Rizal tetap tidak mau mengaku salah dan ia terus-menerus menuduh kami dengan cara yang tidak etis. Dia membentak-bentak Margaret dan bahkan memojok-mojokkanku dengan menunjuk-nunjuk menggunakan jari telunjuknya. Bu Mei yang geram, akhirnya menyuruh kami untuk memantau kamera pangawas. Kami keluar dari Ruang BK dan menuju ke Ruang Kamera Pengawas, sedangkan murid-murid kelas sepuluh melanjutkan tur keliling sekolah.
"Mar, Fer. Kalo udah selesai langsung ke gedung Kolam Renang ya di samping gedung sekolah." Ucap Betty.
"Semangat kalian." Ucap anak-anak bahasa.
"Yuk bisa yuk." Sahut Margaret bersamaan denganku.
Kami menuju ke Ruang pengawas atau CCTV yang berada di samping Mading Sekolah. Kami masuk ke dalam ruangan tersebut kemudian Bu Mei langsung meminta hasil rekaman di kantin sekitar jam 09.00an. Di Ruang CCTV dijaga oleh satu pengawas bernama Pak Syarif, saat aku melihat beberapa titik kamera CCTV, ternyata jumlah kamera tersebut, ada sekitar lima puluh kamera pengawas yang tersebar di penjuru sekolah. Pak Syarif mengalihkan titik bernomor 23 yang merupakan kamera di kantin. Disitulah hasil rekap rekaman di undur ulang dan kami semua menyaksikan. Urutan dari awal kumasuk sampai Margaret menyiram Rizal menggunkan es teh. Bu Mei menyaksikan kesombongan Rizal sebagai senior dan membuat kegaduhan di kantin. Rizal hanya terdiam dan tidak bisa berkata apa-apa kemudian ia mulai kembali playing victim.
"Sudah liat kan, bu. Mereka berdua ini tidak sopan kepada kakak kelasnya." Ucap Rizal yang merasa dirinya benar.
"Maaf Rizal kamu tetap di nyatakan bersalah untuk Margaret dan Ferdian, ibu kasih kamu toleransi karena masih baru. Untuk Rizal, ibu kasih poin negatif 10 karena melakukan aksi senioritas." Ucap Bu Mei.
Aku dan Margaret terus tersenyum melihat kebodohan Rizal yang sudah jelas bersalah. Namun, terus berbohong. Aku keluar bersama Margaret dan menuju ke Gedung Kolam Renang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Multitalenta
Teen FictionDISCLAIMER!!! NOVEL INI PENUH DENGAN ADEGAN 18+ KEKERASAN, KATA-KATA KASAR, PEMBULIAN, BUNUH DIRI DAN KEHIDUPAN SEKS SERTA PENYAKIT SEKSUAL. "Di balik otak yang cerdas, terdapat jiwa yang kotor." Bagitulah isi novel Sang Multitalenta : Tahun pertama...