Sejujurnya aku tidak pernah sepanik ini karena aku tidak rela lomba pertamaku harus kalah dari yang lain termasuk Regina. Aku sangat ambisius untuk memenangkan lomba cipta dan baca puisi di tahun pertamaku. Aku harus mengalahkan Regina, aku yakin sekali ia sangat profesional di bidang sastra. Walaupun kami berteman namun untuk persaingan dalam mengambil gelar juara tujuan utamaku.
Di Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, semua murid diwajibkan memilih satu dari 20 cabang lomba yang dibagi menjadi empat kategori. Ada kategori seni yang terdiri dari lomba menyanyi, cipta dan baca puisi, gitar solo, menari dan desain poster. Untuk kategori olahraga terdiri dari lomba badminton, futsal, basket, renang dan voli. Sedangkan untuk kategori cerdas cermat terdiri dari debat bahasa Inggris, debat bahasa Indonesia, hafalan UUD, ranking satu dan tebak gambar. Terakhir ada kategori lomba bebas yang terdiri dari lomba makan durian, rias wajah, hias nasi tumpeng, tarik tambang, dan mengambil uang dengan spatula.
Aku cukup tertarik dengan semua macam lomba. Namun, pihak OSIS hanya mengizinkan satu cabang lomba untuk satu murid. Sebelum kami memulai lomba, semua murid dipersilakan untuk berkumpul di lapangan karena kami akan melaksanakan upacara. Semu murid mengenakan seragam di Hari Senin yaitu putih abu-abu sedangkan semua guru dan beberapa pekerja lainnya mengenakan seragam batik PGRI.
Robby si ketua OSIS langsung mengambil mic di podium dan memberikan aba-aba kepada kami semua. Dari yang berisik seketika menjadi hening dan semua mata tertuju pada Robby. Kami mengikuti apa yang ia katakan, tiba-tiba semua murid tertawa karena melihat Robby berbicara aneh dan terlihat sangat panik. Aku bisa melihat wajahnya yang sangat mencurigakan, tangannya tidak bisa diam bahkan gemetar saat memegang mic. Ia berhenti berbicara kemudian membanting mic tersebut dan berlari melewati guru-guru. Aku melihat dari belakang ia berlari ke lorong sekolah. Aku melihat Andin menutup mulutnya karena terkejut, Syahrul dan Alvaro tertawa melihat Robby membanting mic. Beberapa murid mengatakan bahwa Robby sedang mabuk.
"Pak Bonar keknya si Robby pake narkoba deh." Ucap Margaret sambil menunjuk tangan kananya.
"Mar, apaan sih lu." Ucapku sambil menurunkan tangannya.
"Sakit tuh orang." Ucap Betty.
Beberapa saat kemudian, kami semua membicarakan Robby. Namun, saat aku sedang berbicara dengan Andin. Andin melihat ke atas.
"Ahhhhh, guys." Teriak Andin.
"Si Robby, belajar gila." Ucap Riska terkejut sambil memegang kedua kepalanya.
Semua murid saling mendempetkan barisan dan menatap ke lantai empat. Kami menyaksikan sebuah kegilaan yang tidak pernah kami lihat sebelumnya.
"Robby, lu ngapain." Teriak Rizal.
Aku melihat jelas sekali jika Robby sudah di atas dan melayangkan satu kakinya ke depan. Beberapa murid kelas 11 bersamaan Rizal segera berlari untuk menangkap Robby karena ia ingin terjun bebas dari atas gedung. Semua guru sudah berada di lapangan dan meneriaki Robby agar tidak menjatuhkan diri. Beberapa guru panik dan menangis melihat tingkah Robby yang aneh.
Kami tidak mendengar begitu jelas namun yang kudengar adalah "Ayahku." Aku tidak mengerti apa maksudnya Robby. Ia berbicara tidak lantang hanya seperti orang yang sedang kumur-kumur.
"Ahhhhhhh." Teriak Regita.
Ia menyiram dirinya dengan sebuah cairan kemudian cairan itu ditumpahkan ke lapangan sehingga semua orang terkena cairan tersebut. Aku bertanya-tanya dengan Margaret apa cairan yang Robby siram itu bensin.
"Shit, ini bukan bensin tapi thinner, Fer." Ucap Margaret kaget.
"Ha?? Ini metanol ya." Ucapku.
"Sial, ini rumus ujian kita kemaren CH30H." Ucap salah satu anak MIPA kemudian berteriak.
Anak Brigade sudah di atas namun mereka terlambat karena Robby sudah memegang korek gas di tangannya. Mereka menyuruh Robby untuk turun dari tembok pembatas. Rizal berbicara perlahan-lahan. Namun, Robby malah ingin membakar dirinya jika mereka maju. Pak Bas sudah di lantai empat dan memancing Robby untuk melihat langit. Namun, Robby tidak percaya kemudian ia menangis. Kami semua mendengar tangisan Robby yang begitu sedih.
Namun, apa daya ia sudah membakar dirinya sendiri kemudian ia berteriak dan melompatkan diri ke bawah lapangan. Kami yang melihat langsung berlari takut terbakar. Seketika tubuhnya menghantam lapangan dan darahnya muncrat ke seragam kami. Bahkan terkena wajahku, Andin dan Margaret. Seketika semuanya hening, semua murid ada yang pingsan, muntah dan beberapa murid menutup mulut karena terkejut.
"Ahhhhhh." Teriak semua murid serentak.
"Cepat panggil ambulan." Teriak seorang guru.
Kejadian ini membuat kami semua panik sehingga upacara dan acara 17 Agsutusan tidak di laksanakan. Aku dan Margaret merupakan mantan anak pramuka. Jadi, aku segera mengambil tongkat dan tali pramuka di gudang. Kami berdua ingin membentuk lima belas tandu dengan cepat. Karena tandu di sekolah hanya ada dua sedangkan yang pingsan lebih dari 100 murid laki-laki dan perempuan.
Sebagian murid yang pingsan di bawa ke Ruang UKS dan perpustakaan menggunakan tandu PMR. Ruang UKS di sekolahku masih masa perbaikan karena adanya renovasi sehingga hanya untuk beberapa murid yang bisa dibaringkan. Ruang UKS berada di ujung dekat kantin sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama. Semua murid kelas lain saling membantu agar mereka yang pingsan segera beristirahat. Begitupun guru-guru saling menolong karena lima belas guru ikut pingsan. Suasana di lapangan sudah seperti arena permainan setan. Aku tidak mengerti, setan apa yang meracuni pikiran Robby.
Bukan hanya diriku yang panik, mengucurkan air mata dan keringat menetes di lapangan tapi semua orang di sekolah. Kami semua merasa bahwa ini adalah sebuah mimpi. Aku merakit tandu dengan beban yang terasa berat sekali. Aku dan Margaret terus membuat tandu begitupun dengan anak-anak pramuka. Aku dan Margaret menyelesaikan lima belas tandu dalam waktu 20 menit. Sedangkan anak pramuka baru membentuk lima tandu dan PMR tujuh tandu.
Semua laki-laki yang berbadan besar mengangakat perempuan yang pingsan sedangkan yang lainnya menelpon masing-masing orangtua. Hampir 30 menit berlalu kemudian polisi dan ambulan datang ke sekolah kami. Suara sirine menambah ketegangan hiruk pikuk di sekolah. Polisi memberi garis kuning di wilayah dekat korban. Aku melihat Pak Bonar di ajak polisi untuk diinvestigasi sedangkan petugas ambulan membantu kami untuk membopong korban yang pingsan karena beberapa tandu pramuka patah. Tandu kayu tidak kuat mengangkat murid yang berbadan besar. Terutama anak-anak internasional yang tinggi dan berisi.
Satu jam berlalu begitu cepat, semua orangtua, reporter dan beberapa warga datang ke sekolah untuk melihat kejadian gila ini. Semua murid dipulangkan untuk melepas stress agar bisa menenangkan diri masing-masing. Saat di kantin, aku dan Margaret mengajak geng Smart Genius untuk main ke rumahku.
"Siapa lagi yang mau ikut?" Tanyaku.
"Gua, ikut." Ucap Rizal di kantin.
"Ha! Ada angin apa lu ngomong sama kita?" Ucap Margaret dengan wajah penasaran.
"Robby teman kecil gua dan gua udah anggap dia seperti saudara gua sendiri. Gua yakin dia ada hubungannya dengan Miya." Ucap Rizal yang mendekati Margaret.
"Gua kasih tau sama lu ya, Rizal. Yang punya hubungan sama Miya itu, cuma lu doang. Jadi, jangan saling mengaitkan orang lain." Ucap Margaret.
"Udah mar, gpp kalo dia mau ke rumah gua." Ucapku.
Akhirnya, Margaret, Regina, Regita, Andin, Bimo, Rizal, dan yang lainnya akan membahas kematian Robby di rumahku nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Multitalenta
Teen FictionDISCLAIMER!!! NOVEL INI PENUH DENGAN ADEGAN 18+ KEKERASAN, KATA-KATA KASAR, PEMBULIAN, BUNUH DIRI DAN KEHIDUPAN SEKS SERTA PENYAKIT SEKSUAL. "Di balik otak yang cerdas, terdapat jiwa yang kotor." Bagitulah isi novel Sang Multitalenta : Tahun pertama...