HARI KETIGA DI SMA

5 1 0
                                    

Hari ini adalah hari ketiga, aku melaksanakan MPLS. Tidak seperti hari biasanya, cuaca pagi membuatku tidak bergairah untuk pergi ke sekolah, di luar hujan deras dengan suara petir bergerumuh, membuatku malas untuk ke sekolah walau sebenarnya aku sudah rapi dengan seragam baru pramuka SMAku. Aku membereskan tasku dan ternyata aku lupa dengan makan siangku yang dibuat oleh Bi Ida. Aku mencium nasi goreng tersebut dan aromanya membuatku merinding sekaligus ingin muntah kemudian aku langsung membuang makanan basi tersebut di tempat sampah bersama dengan kotak makan yang bermerk Tupperware. Bi Ida sudah menyiapkan sarapan pagi. Namun, sama seperti kemarin aku tidak melihat oma di meja makan bahkan tidak bicara sepatah katapun dengannya, bagaimana aku ingin mengobrol dengannya jika ia saja tidak memberikanku lampu hijau untuk mengobrol.

Aku mengenakan seragam pramuka SMA yang dibelikan omaku sebelum masuk sekolah. Di dalam dunia pramuka, ada istilah Pakaian Dinas Lapangan atau PDL dan Pakaian Dinas Harian atau PDH karena suasana sekolah baru, aku harus memakai pakaian harian agar setara dengan murid yang lain.

Menu pagi ini adalah roti lapis isi sosis dan keju, Bi Ida tahu betul bagaimana cara membuat seseorang agar tidak bosan makan kemudian Bi Ida menyiapkan bekal makan siang untukku. Namun, aku memintanya untuk tidak menyiapkan makan siang karena aku selalu lupa memakannya. Setelah sarapan dan minum teh hangat, aku langsung mengenakan sepatu pantofel yang baru saja kubeli semalam di Alexander's Shop, toko tersebut tidak jauh dari rumahku. Namun, koleksi sepatu-sepatunya terbuat dari kulit yang sangat berkualitas dan harganya pun cukup standar. Aku ke luar rumah dan Pak Asep sudah stand by di depan pintu rumah.

"Ayo, pak!" Pintaku.

"Iya, den." Ucapnya.

Aku berangkat dari rumah dengan suhu yang dingin dan hujan yang deras membuatku malas menuju ke sekolah, saat mobil ingin jalan, Bi Ida mengetuk pintu kaca mobil dan ia memberikan sebuah hoodie kepadaku bermerk Bloods yang berwarna hitam.

"Makasih, Bi." Ucapku.

"Iya, mas. Hati-hati ya." Katanya.

Aku sangat beruntung dilayani pembantuku seperti raja. Padahal aku bukan dari pemiliki rumah melainkan cucu dari orang yang paling kaya di Jakarta Utara. Aku yakin hari ini omaku sedang memikirkan bisnisnya yang bernama Simple Chicken itu atau membuka sebuah cabang baru di Kota Bekasi. Aku memandang air hujan yang mengalir di depan kaca mobil karena aku duduk di tengah-tengah, aku membayangkan kejadian yang kualami menimpa teman-temanku padahal aku sudah dinyatakan bersih dari narkoba. Sebelum hari kelulusan, mentalku dinyatakan sudah pulih oleh seorang psikiater dan aku sudah sembuh dari narkoba semenjak mengikuti Pertemuan Ruang Rindu. Semua orang sama sekali tidak tahu apa yang kurasakan karena mereka hanya melihat bahwa aku adalah siswa yang berprestasi dan memiliki segudang talenta, nyatanya tidak semua yang dilihat dari luar baik-baik saja. Aku masih tahan jika mendengar kisah orangtuaku tapi kalau sudah melihat fotonya, aku merasa mengulang kejadian tersebut di dalam pikiranku. Aku berharap hal itu tidak pernah terjadi.

Aku sampai di sekolah kemudian keluar dari mobil dan menutupi kepalaku dengan penutup kepala hoodie. Aku terus berjalan saat di koridor untuk menuju ke kelasku. Suasana sekolah sudah sepi, hanya ada beberapa murid yang berjalan santai menuju lantai atas, saat aku melewati mading sekolah di dekat Ruang Guru, aku melihat sebuah kompetisi baca puisi yang akan di selenggarakan pada 17 Agustus nanti. Aku harus mempersiapkan diri untuk belajar sastra Indonesia. Aku harus memberitahu Regina karena ia pasti lebih paham mengenai dunia sastra. Aku segera menuju lantai atas menggunakan lift karena saat ini, lift sedang kosong kemudian aku memencet tombol lantai tiga. Aku sampai di lantai tiga dalam hitungan detik kemudian aku belok ke kiri menuju kelas sepuluh Bahasa.

Di kelas sudah ramai oleh semua murid kelas Bahasa, semua perempuan berpakain seperti pramugari terutama Andin dan Regita. Aku di sambut dengan gembira oleh Margaret dan yang lainnya, kini aku sudah tahu posisi tempat duduk Riska dan Yuni, yaitu berada di bangku depan tepat di samping Miya dan Regina. Aku menoleh meja Miya. Namun, ia tidak ada kemudian aku mulai bertanya kepada Regina.

Sang MultitalentaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang