PERLOMBAAN PERTAMA DI TAHUN PERTAMA

3 1 0
                                    

Aku sudah hampir enam jam menunggu giliran peserta tampil karena nomor urutku berada di paling akhir, yaitu nomor urut 69 dan sekarang peserta nomor urut 67 yang tampil. Lomba yang kuikuti ini merupakan acara tahunan untuk kategori SMA yang dimana para peserta berasal dari sekolah swasta dan negeri. Acara dimulai pukul 09.00 pagi dengan banyaknya peserta yang terlambat sehingga memakan durasi waktu selama perlombaan.

Menurutku aula di gedung walikota sangat besar dan luas karena bisa menampung ratusan penonton, sedangkan untuk peserta yang tampil, peserta berdiri di panggung yang lumayan luas daripada podium sekolahku. Aku bisa memperkirakan ukuran panggung tersebut, yaitu sekitar 620 cm X 450 cm karena ukuran tersebut pernah kuhitung saat aku lomba vokal solo di FLS2N SMP yang memperebutkan juara satu berturut-turut sampai tingkat nasional. Gedung aula juga cukup berwarna-warni karena telah di dekorasi hiasan seni sehingga menambah daya estetik acara tersebut. Aku melihat beberapa bingkai foto sastrawan Indonesia dan luar negeri, ada banyak sekali kata-kata mutiara milik bapak Soekarno dan beberapa puisi milik sastrawan lainnya. Di dinding juga terdapat banner besar sebagai latar belakang pembaca puisi. "LOMBA BACA PUISI SMA PIALA BERGILIR TAHUN 2017." Begitulah isi tulisan tersebut dengan huruf kapital.

Aku baru tahu bahwa ada yang namanya Bulan Bahasa pada bulan Oktober nanti. Bulan bahasa merupakan perayaan untuk memperingati bahwa Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Bundo bilang, "Bulan bahasa, bukan hanya soal puisi tapi karya sastra lainnya seperti monolog, menyanyi, pidato, mendongeng dan yang lainnya." Sekarang aku mengerti perlombaan ini merupakan rangkaian acara untuk menyambut bulan bahasa.

Aku duduk bersama Margaret di tengah-tengah barisan kedua, ia merangkul pundakku untuk selalu semangat dan meyakiniku agar bisa menjadi juara dan mewakili Jakarta Utara di tingkat DKI nanti. Tak lama kemudian giliran nomor urutku di panggil, aku sangat senang sekali ketika MC melantangkan nomor urutku dengan kencang, saat itu juga bundo menggenggam tanganku dan tersenyum tulus.

"Ferdian, kamu harus ingat kata-kata bundo, jangan berharap untuk menjadi juara tapi tunjukkan yang terbaik karena juara itu hanya bonus dan satu lagi, jangan deg-degan" Ucap bundo.

"Iya bundo, siap?" Ucapku.

Aku berjalan meninggalkan bundo dan Margaret, aku memegang kertasku menggunakan tangan kiri dan naik ke atas tangga, lalu berdiri menghadap penonton yang sangat banyak. Di atas panggung ada standing mic berwarna hitam yang terlihat sangat mahal karena dari awal bunyi suara dari mic tersebut sangat jernih dan terdengar jelas.

Sebelum aku mulai membaca puisi, aku melihat omaku datang dari pintu arah sebelah kananku. Ia berjalan dengan cepat dan segera duduk di kursi barisan belakang, semua orang melihat omaku dengan perasaan aneh karena omaku memakai hiasan seperti bundo. Aku rasa ia terinspirasi dari bundo karena aku sempat memperlihatkan foto-foto bundo ke omaku selama latihan. Aku yakin ia tidak mau kalah terlihat muda dari anak-anak jaman sekarang. Kehadiran Margaret, bundo, dan oma membuatku semangat, dengan ucapan bismillah dan hitungan satu, dua, tiga, aku mulai melantangkan suaraku.

"Halo semuanya, perkenalkan namaku Ferdian Merriman, umur 16 tahun, asal dari SMA Negeri Internasional Jakarta. Aku akan membawakan puisi hasil goresan tangan karyaku sendiri yang berjudul Narator dalam Sebuah Batin yang terinspirasi dari sahabat terbaikku bernama Margaret yang duduk di sebelah sana. Puisi ini menceritakan bagaimana kita harus mengikuti suara hati kita sendiri dan tidak mementingkan perkataan orang lain, harus kuat dan tangguh melewati segala konflik yang ada." Ucapku sambil mengeluarkan air mata.

Entah mengapa aku merasa sedih, apakah ada sebuah koneksi antara aku dan Margaret. Seharusnya aku tidak memikirkan itu terlebih dahulu karena aku harus mengejar pendidikan dan meraih prestasiku agar bisa kuliah di Harvard. Aku mulai membaca puisiku dari judul kemudian instrumen piano masuk sebagai pengiring puisi. Perlahan-lahan, aku menutup mata dan menundukan kepalaku sejenak setelah membaca judul. Langkah selanjutnya aku meresapi instrumen dan keheningan di ruangan aula kemudian membuka mataku dan melihat ruangan sekitar. Aku terus membaca puisiku yang kupegang menggunakan tangan kiri. Namun, aku tidak selalu menatap puisi tersebut karena aku sudah hafal. Aku tidak ingin seperti yang lain membca puisi seperti membaca buku, aku terus mengeluarkan semangatku, apa yang kurasakan saat ini dan semuanya kuhempaskan di aula tersebut.

Setelah selesai, aku tidak lupa menundukkan badanku 90 derajat kepada juri di depan mataku dan semua penonton. Juri di hadapanku ada lima yang merupakan juri profesional di wilayah Kota Jakarta Utara. Untuk juri sendiri masih muda dan tidak ada kaitannya dengan peserta lain karena menurut bundo, juri yang dipilih berdasarkan pengalaman dibidang seni puisi, harus memiliki segudang prestasi dan tidak ada kaitannya dengan peserta mau itu kerabat, teman atau keluarga sekalipun.

Aku sangat lega setelah membaca puisi untuk pertama kalinya, aku bisa melihat dari beberapa penonton banyak yang menangis karena aku membacanya dari hati bukan adanya unsur kepaksaan. Aku bernapas lega kemudian turun melalui tangga samping dan berjalan ke arah bundo dan Margaret.

"Fer, gua nangis loh liat puisi lu yang indah banget dan relate sama kehidupan gua. Makasih ya Fer, lu bikin gua jadi termotivasi." Ucap Margaret kemudian memelukku.

Pelukan Margaret begitu hangat dan seragam sekolahku terkena air matanya karena ia menangis sesenggukan sehingga menjadi pusat perhatian semua orang. Aku mengusap pundak Margaret dan meminta ia untuk duduk di bangku karena masih ada satu peserta lagi yang belum tampil. Tiba-tiba, Kak Lia selaku MC memberitahu kami bahwa satu pesera lagi mengundurkan diri karena sakit. Aku sempat bertanya-tanya, siapa yang bodoh meninggalkan kesempatan emas ini.

Sang MultitalentaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang