HITUNG WAKTU MUNDUR DAN HUKUMAN

3 1 0
                                    

Sebelum kami menuju ke lapangan, Betty mencari Irfan terlebih dahulu kemudian Margaret, Regina, dan Devi membeli camilan dan minuman di kantin, sedangkan aku, Bimo, Regita, dan Andin memutuskan untuk pergi ke toilet yang berada di depan Masjid. Toilet laki-laki berada di sebelah Ruang Seniman dan toilet perempuan berada di sebelah kiri toilet laki-laki. Aku masuk ke dalam dan ternyata tempatnya lumayan bersih, nyaman, dan tidak bau. Toilet di sekolahku lumayan besar dengan fasilitas yang cukup nyaman, pintu kamar mandi untuk buang air besar terbuat dari alumunium yang di cat berwarna putih, dan seperti biasa selalu ada celah di atas agar angin bisa keluar masuk dan tidak menimbulkan bau, saat buang air besar. Terdapat lima pintu kamar mandi yang berada di samping wastafel, kaca di dinding wastafel cukup panjang dan besar, ada empat wastafel yang di desain khusus secara otomatis, jika tangan murid mengarahkan tangannya ke keran tanpa harus memutarnya, air tersebut bisa langsung menyala karena menggunakan alat sensor. Di dekat wastafel juga terdapat sabun cuci tangan cair berwarna merah dan hijau kemudian di depan pintu kamar mandi terdapat tempat buang air kecil yang membentuk huruf L, aku menghitung ada dua belas tempat buang air kecil yang berada di toilet tanpa sedikit noda atau kerak berwarna kuning. Semua yang kulihat di toilet sekolahku seperti baru.

Aku dan Bimo langsung buang air kecil kemudian aku membersihkan sedikit noda yang masih menempel di kemejaku, lalu aku mendengar suara sayup-sayup dari luar. Aku dan Bimo segera mencuci tangan di wastafel, di samping wastafel ada sebuah pemberitahuan mengenai cara mencuci tangan yang baik dan benar dengan metode enam langkah. Di samping pemberitahuan tersebut ada mesin pengering tangan dan tisu kering. Aku segera mengeringkan kemeja dan tanganku, saat aku dan Bimo keluar, kami melihat beberapa murid baru berlari sambil membawa tas dan menuju ke lapangan. Aku juga mendengar suara Michelle yang ternyata ia sedang menghitung waktu mundur dari satu menit. Kami berpapasan dengan Andin dan Regita kemudian datang Margaret, Devi, dan Regina dari arah kantin, lalu kami segera ke atas dan berpapasan dengan Betty di koridor sambil berlari.

"Keknya si Michelle bikin aba-aba deh yang gak ke lapangan bisa kena hukuman." Ucap Margaret, saat kami berkumpul di dekat Ruang Seniman.

"Yaudah yok, kita ke atas ngambil tas abis itu ke lapangan." Ucapku.

Sebelum kami ke lapangan, kami semua menuju ke kelas untuk mengambil tas. Dari atas tangga semua murid kelas sepuluh turun dan berlari secepat mungkin. Kami berlari ke atas dengan tergesa-gesa, di kejar waktu, dan perasaan takut akan hukuman dari Michelle.

"Ayo anjir buruan." Sahut Betty.

"Ah ribet banget anjing, segala pake hitung waktu, kaga liat apa gua engos-ngosan." Ucap Margaret sambil terus berlari.

Akhirnya, kami sampai di kelas dengan berlari menggunakan tangga, aku melihat suasana kelas yang tampak sepi. Namun, saat itu juga aku dan yang lainnya cukup kaget karena melihat Miya sendiri di ruang kelas.

"Miya! Lu atheis ya?" Tanya Margaret.

"Hush." Ucap Regina.

"Bukannya lu muslim ya?" Tanya Devi.

"Gua lagi mens." Ucap Miya dengan wajah yang sedikit lelah.

"Udah yuk cabut." Ucap Bimo yang membuat kami langsung bergegas turun.

Miya membuatku bertanya-tanya, dari wajahnya cukup aneh dan menyimpan sebuah rahasia. Aku percaya kepada Miya bahwa ia sedang menstruasi terlihat dari wajahnya yang cukup lelah. Regina menyarankan Miya untuk pergi ke UKS. Namun, Miya menolak dan ingin ikut turun bersama kami semua. Pertanyaannya Margaret sangat frontal dan tidak basa-basi, untung saja Miya tidak marah,saat Margaret menyebutnya atheis. Setelah mengambil tas, kami segera menuju lift yang berada di samping, Betty memencet tombol turun berkali-kali sembari kami menunggu, kami mendengar suara Michelle yang menggema di koridor.

"10, 9, 8...." Sahut Michelle yang membuat kami bersembilan kalang kabut.

Lift telah tiba di hadapan kami, kami segera masuk dan menuju lantai satu. Betty memencet tombol satu kemudian beberapa detik kemudian, kami sampai di bawah.

"3, 2, 1, times up." Sahut Michelle dengan logat bristishnya.

Kami berlari secara gerombolan kemudian belok kiri dan berlari melalui koridor, hentakan kaki secara bersamaan membuat lorong ramai dan berisik. Kami belok ke kanan menyusuri jalan kecil yang di batasi dua pot panjang membentuk horizontal. Ada beberapa pagar besi berbentuk kotak-kotak di setiap jalan kecil yang menghubungkan dari selasar menuju ke lapangan. Aku menggeser pagar tersebut dan kami berbondong-bondong ke lapangan, saat kami ingin memasuki barisan, Michelle memberi sinyal untuk berhenti.

"Eitss stop right there naughy boys and girls." Ucap Michelle.

"Shit." Bisikku.

Aku melihat sorot mata yang tajam dari murid kelas sepuluh kemudian aku melihat wajah Linda dan Melisa dengan perasaan kaget, mereka berdua berada di barisan paling depan kelas MIPA sebelah kiri dari kumasuk kemudian kami dipinta untuk maju ke depan membentuk satu baris horizontal, saat Michelle sedang mengolok-ngolok kami, aku melihat tiga murid dari ujung samping gedung perpustakaan, ada sebuah celah yang mengarah ke tempat wudhu perempuan. Michelle memanggil mereka bertiga, saat mereka semakin mendekat dan ternyata mereka adalah Sahrul, Alvaro dan Irfan.

"Cowo lu ngapain, Bet dari pojok sana?" Tanyaku bisik.

"Keknya sih pada ngerokok, tadi gua nyari dia gak ketemu, Fer." Ucap Betty.

Mereka bertiga masuk ke dalam barisan kami dan suasana di lapangan semakin menegang dan sedikit memalukan.

"Nah ini, mereka semua dengan wajah-wajah tukang bolos, nakal, dan mungkin mereka tidak berprestasi." Ucap Michelle dengan nada sombongnya.

Michelle berdiri di lapangan sambil membawa mic kemudian memutari kami dan terus mengolok-ngolok dengan perkataan yang merendahkan kami semua. Kami hanya bisa terdiam dan melihat raut wajahnya yang cantik tapi sayang kesombongan hanyalah sebuah bumerang yang bisa menghancurkan harga diri seseorang jika tidak seimbang dengan attitude-nya. Aku pikir ia baik dan ramah, ternyata ia adalah blasteran iblis yang dari sikapnya cukup menyebalkan . Aku bisa merasakan aura Margaret yang dari tadi ingin menghajar Michelle tapi ia masih sabar dan kuat meredam emosinya. Setelah Michelle naik ke atas podium, dua murid perempuan datang dari arah sebelah kiri, mereka diberhentikan oleh Michelle.

"Hello, naughty girls. Ayo masuk ke barisan anak-anak nakal." Ucapnya kembali.

"Dih ade apesih, gua abis boker sama Yuni, ngape tiba-tiba gua disuruh masuk barisan." Ucap Riska terlihat dari nametag-nya, saat mendekati kami.

"Bet, keknya mereka berdua harus masuk club kita deh, bukannya mereka anak Bahasa ya." Ucap Andin.

"Kalian berdua ini terlambat kenapa bukannya bilang iya atau maaf kak." Bentak Michelle.

"Eh busett, kenape sih lu? Ya gua kan abis boker, emang lu mau nampung tai gua, gila kali ye nih orang. Lu pikir gua ape? Hah? kucing." Balas Riska dengan logat betawinya.

Semua orang tertawa bahkan ada yang terbahak-bahak mendengar logat Riska yang berani dan keren. Michelle hanya bisa terdiam dan sepertinya malu, lalu aku melirik ke atas dan banyak murid-murid kelas sebelas dan dua belas melihat aksi Michelle yang sok keren itu. Akhirnya, Michelle terdiam bisu dan suasana di lapangan menjadi hangat dan ceria.

"Denger baik-baik untuk anak baru, kalian jangan pernah macam-macam sama anggota OSIS dan senior di sekolah ini. Buat kalian yang telat akan saya hukum dengan membut perjanjian di depan kakak kelas nanti di Hari Kamis setelah pemberitahuan NEM tertinggi." Ucap Michelle kesal.

"Okay, fine. gua turutin kemauan lu, tapi inget kalo di kelas gua ada salah satu orang yang memiliki NEM tertinggi di sekolah ini, lu yang harus minta maaf sama mereka semua, deal?" Ancam Margaret di depan semua murid.

"Deal, alright semuanya bubar kalian boleh pulang dan pengumuman besok ada pelatihan PBB jangan lupa bawa seragam olahraga SMP kalian dan jangan telat." Ucap Michelle kemudian meninggalkan podium.

Kami semua bubar dari lapangan dan pulang menuju ke rumah masing-masing.

Sang MultitalentaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang