DI MASJID DAN LANTUNAN AZAN

6 1 0
                                    

Jam di tangaku sudah menunjukkan pukul 12.00 siang, untung saja cuacanya hari ini tidak terlalu terik dan panas walau sebenarnya sudah memasuki musim kemarau. Kak Dirham memberikan komando kepada kelas Bahasa untuk melaksanakan ISHOMA atau Istirahat, Solat, lalu Makan. Aku dan yang lainnya langsung menuju tempat ibadah masing-masing. Margaret, Regina, Devi, dan Betty menuju ke gereja, sedangkan aku, Andin, Regita, dan Bimo menuju masjid. Saat aku sampai di masjid, suasana di dalam tampak sepi dan belum ada yang mengumandangkan azan zuhur.

"Fer, azan dulu. Udah masuk zuhur." Pinta Bimo.

"Ya, Bim." Kataku.

"Guys, kalo udah selesai ibadah, kumpul di kantin ya." Sahut Andin.

"Okay." Balas Devi, Regina, Margaret dan Betty.

Aku melepas kedua sepatuku kemudian kuletakkan di rak sepatu yang membentuk persegi panjang dan memiliki beberapa kotak, yaitu empat kotak memanjang membentuk vertikal dan tujuh kotak membentuk horizontal. Sebelum kumasuk, jika kugambarkan masjid ini memiliki pintu yang terbuat dari kaca yang cukup mahal dan pintunya di bagi menjadi kiri dan kanan. Di atas pintu masjid bertuliskan Ar-Rasyid, masjid ini memiliki tangga di sebelah kanan dari arah kumasuk yang menuju ke tempat solat perempuan. Di sebelah kiriku, ada tempat air wudu laki-laki yang memanjang lurus, sedangkan tempat wudu perempuan berada di belakang masjid. Di dalam masjid terlihat cukup megah, jika dibandingkan dengan masjid yang berada di luar mungkin lebih besar yang di luar. Namun, untuk ukuran masjid di sekolahku sudah termasuk besar dan megah. Masjid Ar-Rasyid dibuat dengan interior yang cukup mewah dan bergaya masjid modern. Temboknya di cat berwarna coklat susu, lantainya terbuat dari ubin yang berwarna hijau emerald, dan di apit ubin berwarna hitam berukuran 5 centimeter sebagai pembantas shaf ke belakang.

Untuk karpet masjid, berwarna merah maroon yang digelar untuk dua shaf dan sisanya berada di belakang dekat tembok yang masih tergulung. Pilar-pilar masjid di cat berwarna hijau muda, dibuat seperti bercak-bercak, dan bagian bawahnya sebagai penghubung pilar dan lantai di cat berwarna emas. Di langit-langit masjid berwarna biru disertai gambaran awan-awan putih yang menghiasi warna biru tersebut sehingga membentuk langit yang cerah. Di dalam masjid juga terdapat delapan AC, di bawah empat kemungkinan di atas juga empat. Di samping sebelah kiri dan kanan dekat jendela, ada sebuah jam besar, berwarna cokelat. Jam tersebent berbentuk seperti jam klasik dan bertuliskan angka arab. Di dinding tengah ada pemberitahuan waktu solat yang menggunakan jam digital kemudian ada sebuah mimbar di samping tempat imam solat. Mimbar tersebut berwarna coklat yang terbuat dari kayu jati yang sangat mahal. Di bawah langit-langit ada sebuah rantai yang menggantung lampu-lampu berwana putih. Di dinding atas, ada beberapa tulisan kaligrafi yang sepertinya dibuat oleh para alumni atau murid kelas sebelas dan dua belas. Seperti biasa di dinding sebelah kanan selalu ada tulisan kaligrafi Allah dan di sebelah kiri ada tulisan kaligrafi Muhammad.

Dari samping perpustakaan sampai ke kantin itu jaraknya sangat panjang dan luas sehingga sekolahku bisa membuat dua bangunan suci secara bersamaan dan saling menghargai antar agama. Di samping masjid terdapat sebuah tembok pembantas yang mengarah ke sebuah lapangan pekerjaan, kata Kak Dirham, suara getaran dan bising berasal dari sana. Setelah aku melihat-lihat sejenak, tiga murid laki-laki datang dan langsung menggelar karpet masjid, aku pikir masjid ini kemungkinan hanya bisa menampung sekitar 700-800 jamaah jika menggabungkan dua lantai.

Aku menyalakan mic dan segera kulafazkan azan dengan penuh haru dan perasaan sedih. Saat kumelafazkan kalimat Allahu Akbar, aku teringat dengan kesalahanku semalam dan aku sangat menyesali perbuatanku. Lafaz azan yang begitu indah membuatku terhanyut pada sebuah kisahku, saat aku SD kelas empat. Aku mengingat kenangan bersama kedua orangtuaku, saat itu aku dipilih oleh guru agamaku bernama Bu Sri dan Pak Gofur. Ia memintaku untuk mengikuti acara lomba azan se-DKI Jakarta yang diadakan di Masjid Islamic Center. Aku yang mendengar perintah tersebut sangat kaget karena sebelumnya aku tidak pernah mengikuti lomba azan. Hanya saja suaraku selalu dipuji oleh teman-teman sekelasku dan semua guru. Setiap pulang sekolah, kami di wajibkan untuk mengikuti solat zuhur berjamaah di mushola dan biasanya aku yang selalu melantunkan azan.

Aku mengikuti lomba azan tersebut, saat berumur sepuluh tahun dan satu tahun kemudian adalah tragedi kecelakaan bersama kedua orangtuaku. Aku memberitahu kedua orangtuaku dan mereka kaget sekaligus bangga memiliki putra yang soleh sepertiku. Mamaku memang taat dalam menjalankan ibadah daripada Ayahku. Mamaku merupakan mantan dosen filsafat di Universitas Indonesia dan selalu mengingatkanku bahwa solat itu lebih penting daripada memikirkan duniawi.

Dia pernah bilang "Nak, dengar mama! Mengejar dunia itu tidak akan pernah ada habisnya sampai kapanpun itu, tapi jika kita berbarengan mengejar akhirat, Insha Allah kita akan hidup dengan nikmat di surga nanti."

Itu adalah sebuah nasihat untuk pertama kalinya yang membuatku merasa sempurna dalam islam. Aku lebih banyak mendapat nasihat dari mamaku. Mamaku merupakan murid tercerdas saat di sekolah. Namun, sayang sekali saat mamaku ingin kuliah di Oxford untuk S3nya setelah lulus dari UI dan Harvard. Ia memutuskan menikah dengan ayahku karena tuntutan dari kedua orangtua masing-masing. Awalnya Ayahku merupakan warga negara Amerika dan ingin menetap bersama mamaku di negeri Paman Sam tersebut. Namun, omaku melarang mereka untuk tinggal di sana karena ayahku beragama kristen dan budaya di Amerika sangatlah berbeda dengan budaya di Indonesia.

Setelah membuat keputusan selama 72 jam. Akhirnya, mereka berencana kembali ke tanah air dan ingin menetap menjadi warga negara Indonesia dengan syarat permintaan terakhir dari mama ayahku, yaitu beliau ingin melihat anaknya bertunangan di New York, Amerika Serikat karena rumah kedua orangtua ayahku berada di sana. Setelah acara tunangan, mama dari ayahku meninggal dunia dan di makamkan secara kristen sesuai agamanya.

Seminggu kemudian, kedua orangtuaku kembali ke Indonesia. Ayahku langsung mualaf setelah tiga hari di Indonesia dan sebulan kemudian mereka menikah di gedung hotel mewah Jakarta. Ayahku mengundang Om Dylan Merriman, abang dari ayahku yang sudah menjadi warga negara Indonesia sejak Om Dylan bertemu pacarnya. Satu hal yang membuat Om Dylan harus di usir dari rumah adalah karena ia mualaf secara diam-diam sejak mengenal islam. Seminggu setelah ayah dan mamaku menikah, Om Dylan dan Tante Gina menyusul menikah di Jakarta, sedangkan Tante Mei, adik dari mamaku, ia menikah dengan calon tunangannya bernama Budi, sebulan kemudian setelah kedua orangtuaku menikah.

Kembali pada lombaku, aku melaksanakan lomba azan pada saat hari Jumat, sebelum berangkat dari sekolah, ayahku yang merupakan pebisnis hebat melalui investasi emas dan sangat pandai dalam ilmu matematika selalu berpesan padaku. "Ferdian, look at me. Be a champion because number one makes us respected and appreciated."

Kata-kata itulah yang membuatku semangat dan selalu ingin menjadi nomor satu dan ambis terhadap segala sesuatu yang ingin kudapatkan. Tidak peduli siapa dia, mereka, hanya fokus dan juara yang membuatku merasa hidup. Begitulah apa yang kudapatkan sampai saat ini, prestasi, pujian, dan nilai yang sempurna. Namun, sayang aku tidak memiliki sahabat seperti Margaret beberapa dari mereka kuanggap sebagai teman. Di saat perlombaan dimulai, aku mendapat nomor urut delapan, aku menunggu di sebuah kursi panjang bersama guruku, Bu Sri dan Pak Gofur. Aku sangat percaya diri dan berharap menjadi juara satu, saat tiba giliranku, orangtuaku tidak ada di sana. Mereka sibuk bekerja, omaku dan opaku pun begitu sibuk dengan bisnisnya. Aku berdiri di panggung dan menunjukkan apa yang sudah di latih guruku yang bernama Pak Gofur. Saat ku lafazkan lantunan azan secara perlahan-lahan, dengan suara yang merdu dan stabil. Lalu, kuingat nasihat ayahku dan semuanya berjalan sampai akhir. Aku mendapatkan tepuk tangan, kedua guruku menangis kemudian memelukku. Pengumuman tiba dan aku mendapat juara satu dengan hadiah Rp.500.000, piagam besar dan sebuah sertifikat.

Sang MultitalentaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang