HARI KEDUA DI SMA

3 1 0
                                    

Dalam tidurku, aku mendengar lantunan suara azan subuh yang begitu indah. Biasanya, aku mendengar suara alarmku yang berisik. Namun, kali ini suara azan yang membangunkan tidurku. Aku terkejut melihat jendela kamarku terbuka, aku takut ada perampok menyelusup ke dalam kamarku. Seketika aku sadar bahwa tadi malam jendela kamarku sengaja kubiarkan terbuka. Aku tidak pernah mendengar suara azan subuh karena jendela kamarku tertutup sangat rapat. Aku mencoba menutup jendela kamarku dan benar saja jendela tersebut cukup tebal dan suara azan hanya terdengar samar-samar di telingaku.

Aku menguap sejenak kemudian aku beranjak dari tempat tidurku yang lebar dan panjang. Kunyalakan lampu kamar dan membuka pintu yang kukunci. Kuambil seragam olahragaku yang masih menggantung di gagang pintu kamar kemudian kuletakkan di tempat tidur, lalu aku pergi ke kamar mandi dan membuka pakaianku. Di kamar mandi, omaku memiliki shower yang bisa hangat dan dingin, aku lebih sering menggunakan air dingin karena air dingin membuatku segar di pagi hari. Aku memakai sampo aloe vera yang membuat rambutku tebal dan hitam pekat, lalu kusiram kepalaku lagi, rasanya mandi di pagi hari benar-benar nyaman dan tenang. Aku merasa sangat damai ketika bangun di kalah subuh. Ku lanjutkan dengan menyabuni badanku dari ujung telinga sampai kakiku, saat aku sedang mandi, aku mendengar suara Bi Ida.

"Mas, Ferdian lagi mandi ya?" Tanyanya.

"Iya bi, aku lagi mandi." Balasku.

"Oalah, Bi Ida udah masakin nasi goreng kesukaan mas Ferdian." Ucapnya lagi.

"Ok deh bi." Sahutku singkat.

Aku sering menghabiskan setengah jam waktuku hanya untuk mandi, aku merasa lebih tenang ketika air menyentuh rambutku. Aku selalu membayangkan bagaimana rasanya kehilangan orangtua dari bayi atau yang sudah tidak memiliki kedua orangtua sejak masih kecil. Aku tidak mengerti mengapa Allah membiarkan para orangtua meninggal di kala anak-anak mereka sedang membutuhkan kasih sayang, perhatian dan cinta. Aku selalu berpikir bagaimana nasib anak-anak yang tinggal di panti asuhan dan anak-anak yang hidup sebatang kara, saat ini kesedihan membuatku rapuh dan tenggelam dalam suara air yang turun dari pancuran. Aku diam sejenak kemudian kulanjutkan mandiku dengan cepat.

Setelah mandi, aku mengambil air wudhu, lalu pergi ke kamarku dan mengunci pintu. Sebelum kupakai seragam olahragaku, aku memutuskan untuk solat subuh terlebih dahulu, aku mengambil sarungku yang berada di lemari berwarna coklat tua dan baju kokoku berwarna maroon yang dibelikan oleh omaku, saat pulang dari tanah suci. Aku memiliki lemari dengan kapasitas yang cukup banyak, semua tersedia di lemariku yang berwarna coklat. Untuk kemejaku, aku menggantung di lemari khusus berwarna hitam-putih yang berada di samping lemari besar berwarna coklat. Aku mengambil sajadah di tempat perlengkapan solat, yang terdiri dari Quran, peci, tasbih, Yasin, dan sajadah. Lemari kotak tersebut lumayan besar yang berada di dekat jendela kamarku. Aku menggelar sajadah menghadap kiblat dan memakai baju koko serta sarungku. Aku menyelesaikan solat subuhku dengan perasaan senang dan hatiku terasa lebih nyaman ketika solat.

Setelah sholat, aku melihat jam di ponselku sudah menunjukkan pukul 06.00. Langsung kurapikan perlengkapan solatku dan mempersiapkan diriku, saat aku ingin memasukkan ponselku ke dalam tas, aku lupa sarapanku yang kemarin tidak kumakan. Saat kubuka tupperwareku dan kucium oromanya sangat menjijikan alias basi, ini semua akibat kerjaan Michelle yang membuatku tidak sarapan sampai saat ini.

Aku mengenakan seragam olahragaku berwarna biru muda. Seragam yang kupakai terasa lebih baru karena Bi Romlah mencuci seragamku lagi. Setelah semuanya beres, aku turun ke bawah tangga dan makan sarapan roti bakar yang dibuat oleh Bi Ida.

"Nih, mas, bibi udah siapin sarapan makan siang, nasi goreng special tapi bukan martabak." Ucapnya lucu.

"Makasih ya, bi." Balasku.

Setelah sarapan, aku menunggu oma. Namun, ia tidak keluar dari kamarnya yang berada di bawah. Aku tidak bertanya kepada Bi Ida, aku langsung ke rak sepatu-sepatu dan mengenakan sepatu sekolahku, saat aku melihat motor Harleyku yang terkapar di sebuah garasi, aku hanya memandangnya. Aku akan menggunakan motorku saat Hari Kamis nanti.

"Den, udah siap?" Tanya Pak Asep yang menungguku di depan pintu gerbang rumah.

"Sudah, pak." Ucapku.

Pak Asep jika ramah seperti ini menandakan oma mengizinkanku untuk di antar oleh Pak Asep atau bisa jadi Pak Asep yang tidak tega melihatku tidak di antarnya ke sekolah. Akhirnya, pukul 06.15 aku berangkat dari rumah dan melaju kencang menggunakan mobil Alphard berwarna hitam, sedangkan oma memiliki Alphard berwarna putih. Mobil Alphard memang besar dan harganya pun fantastis, Pak Asep melaju kencang menggunakan mobil tersebut karena jika tidak buru-buru jalanan akan macet.

Tak perlu menunggu waktu lama, aku sampai di jalan masuk menuju ke sekolah yang bernama "Jalan Justus." Namun, aku berhenti di depan jalan, karena mobil dan motor banyak yang keluar masuk.

"Pak Asep, saya turun di sini aja, soalnya mobilnya gak muat masuk." Kataku.

"Aduh, Den. Pak Asep jadi gak enakan dan merasa bersalah loh soal kamarin dan sekarang pun begitu." Ucap Pak Asep sedih mengeluarkan air mata.

Aku tahu betapa sedihnya seorang pengawal yang ingin mengerjakan tugasnya untuk sang raja. Namun, ia akan menyesal jika tidak menuruti perintah dari ratunya. Setelah kesedihan itu, aku memutuskan turun ke jalan, saat kuberjalan kaki, seseorang berteriak dari belakangku.

"Woy, seseorang!" Teriak orang di belakangku.

Saat kutengok ke belakang ternyata mereka adalah Riska dan Yuni.

"Woy, bule. Lu naik kendaraan ape?" Tanya Riska.

"Naik angkot." Jawabku singkat sambil berjalan cepat.

"Masa sih, kok kite gak liat die ya Ris." Curiga Yuni.

"Eh, denger udah ada suara pengumuman tuh, gerbang mau di tutup." Teriakku.

Aku, Riska dan Yuni segera berlari kencang menuju sekolahku. Kami bergegas dan terus berlari kencang, saat kuingin melihat jam, ternyata aku lupa mengenakan jam tangan digitalku.

"Riska, jam berapa?" Tanyaku sambil berlari.

"Jam setengah tujuh kurang semenit." Sahut Riska dengan lantang.

"Anjrittt, ayo weh bentar lagi." Ucapku teriak-teriakan juga.

Saat lima langkah dari gerbang Riska teriak ke Pak Satpam dan memanggilnya "Ayah." Sisanya yang berada di luar harus terpaksa dinyatakan terlambat, saat aku bertanya mengapa Riska memanggil "Ayah." Pada pak satpam tersebut. Ia menjelaskan ternyata satpam yang bernama Abdul Rojak tersebut adalah ayahnya Riska. Riska menjelaskan ayahnya sudah lama bekerja di SMA Internasional bersama temannya yang wajahnya sangar dan seram di hari pertama aku masuk SMA. Sementara itu, Riska bisa sekolah di SMAN Internasional Jakarta berkat ayahnya. Yuni dan Riska bisa sekolah di sini juga karena mereka berprestasi di bidang akting dan menjuarai lomba teater Nasional saat di SMP. Kami bertiga menuju lapangan yang sudah ramai oleh kelas sepuluh. Seperti biasa kelas sebelas dan dua belas memandang kami semua dari atas dan kelas sepuluh memandangku dengan perasaan yang aneh dan sorot mata yang selalu tajam.

Sang MultitalentaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang