Malam minggu pertama di liburan akhir semesterku, aku menunggu kedatangan Riska dan Yuni di depan gerbang sekolah. Aku telah menunggu hampir satu jam yang lalu. Namun, mereka tidak datang juga. Keadaan di jalan dekat sekolah sangat sepi dan tidak ada orang sama sekali, jam sudah menunjukkan pukul 21.00 malam. Aku melihat ke arah kiri dan kanan, melihat jam di tanggaku. Namun, mereka berdua tidak datang juga. Aku telah menelpon mereka secara bergantian selama 136 kali. Namun tetap saja mereka tidak datang juga.
Aku memutuskan untuk pergi sendirian saja dan meninggalkan mereka. Aku menyalakan motorku dan pergi keluar menuju jalan besar. Saat aku sudah sampai di jalan besar dan tinggal belok ke kiri, betapa terkejutnya aku melihat sekumpulan orang dari kejauhan. Aku melaju cepat dan menghampiri kerumunan tersebut. Aku pikir ada sebuah kecelakaan, aku memakirkan motorku ke pinggir. Aku membuka helmku dan melihat apa yang terjadi, saat ku tengok ternyata mereka adaalah Riska dan Yuni. Mereka berdua mengalami kecelakaan karena tertabrak sebuah truk besar, menurut para saksi ketika kutanya. Motor mereka hancur. Namun, Riska dan Yuni masih bisa diselamatkan. Saksi mata memberitahuku bahwa Riska dan Yuni terpental dan badan mereka menghantam di jalan besar.
Aku hanya terdiam dan meneriaki nama Riska dan Yuni dengan tangisan tidak percaya padahal dua jam yang lalu baru saja aku saling bertukar pesan. Aku mengambil ponsel di tasku kemudian menghubungi semua teman-temanku bahwa Riska dan Yuni mengalami kecelakaan. Suara sirine ambulan terdengar dari belakangku, petugas ambulan dengan cepat mengangkat tubuh Riska dan Yuni. Suasana jalan begitu ramai dan riuh, penuh sesak dan berisik. Aku menyalakan motorku kembali dan mengikuti suara mobil ambulan menuju rumah sakit.
Selama kurang lebih 15 menit perjalanan, aku sampai dirumah sakit besar daerah kota Jakarta Utara. Aku sangat panik sekali, aku berlarian memanggil petugas rumah sakit untuk segera menangani Riska dan Yuni. Mereka berdua dibawa menggunakan tempat tidur tandu. Aku memegang kepalaku dan mulai menggigit jariku karena aku benar-benar tidak percaya.
Aku menunggu di luar karena Riska dan Yuni sudah dibawa ke ruang IGD. Saat aku sudah menunggu begitu lama, beberapa temanku datang. Ada Margaret, Andin, Bimo dan Betty.
"Fer, are u okay?" Tanya Margaret.
"Enggak Mar, enggak. Gua bener-bener gak percaya." Ucapku sedih.
Saat aku menangis Margaret menyediakan bahunya untukku bersandar. Aku sangat takut jika Riska dan Yuni meninggal karena kecelakaan. Aku tidak seharusnya mengizinkan mereka untuk ikut denganku, seandainya aku pergi sendirian mungkin mereka berdua tidak apa-apa. Aku sangat merasa bersalah dan terpukul sekali akan peristiwa malam ini.
Kami semua duduk di kursi rumah sakit dan menunggu kabar baik dari dokter. Aku melihat raut wajah Andin begitu sedih, ia bisa merasakan kesedihanku begitu dengan Margaret dan Betty. Namun, Bimo tetap membuatku untuk tenang dan menyabarkanku. Ruang rumah sakit begitu menakutkan bagiku. Aku tidak pernah ingin berada di rumah sakit karena aku trauma semenjak kecelakaan yang menimpa diriku dan keluargaku. Aku berharap Riska dan Yuni masih bisa diselamatkan.
Hampir setengah jam aku dan yang lain duduk di bangku rumah sakit yang terbuat dari besi berwarna putih. Aku juga termangu melihat orang -orang sedang berlalu lalang. Tak lama kemudian, aku melihat ibu nya Riska datang bersamaan dengan orangtua lainnya. Aku pikir mereka semua adalah orang tua dari Yuni. Aku bangun dari tempat dudukku bersandar dan menatap sendu wajah ibunya Riska. Setelah itu, dokter keluar dari ruang IGD, tempat Riska dan Yuni. Dengan seragam seperti perawat berwarna hijau, ia juga mengenakan masker berwarna hijau dan aku bisa melihat nama di bagian nametag sebelah kanan yang bernama "Budiman."
Dokter muda tersebut, menjelaskan kepada kami semua bahwa saat ini Riska dan Yuni sedang mengalami koma yang akan berlangsung cukup lama karena bagian kepala mereka terbentur sehingga mengalami pendarahan yang serius. Aku yang mendengar kabar mengerikan itu langsung panik dan sangat merasa bersalah. Aku melihat tatapan ibunya Riska bersama dengan keluarga Yuni menangis. Mereka sangat terpukul atas kejadian yang menimpa kedua anaknya.
Aku berusaha untuk meminta maaf kepada ibunya Riska bahwa apa yang menimpa Riska dan Yuni adalah kesalahanku. Namun, di saat aku sedang meminta maaf, ayah Yuni menampar wajahku dengan kencang.
"Ngapain lu ngajak anak gue pergi ke klab jam 10 malem? Ha? Lu mau ngajakin anak gue mabok?" Tanya ayah Yuni dengan wajah yang penuh amarah.
Aku hanya terdiam dan menahan sakit akibat tamparannya. Aku tidak bisa membalas apa yang orang tua Yuni lakukan karena ini memang kesalahanku. Namun, di saat aku mencoba meminta maaf sembari bersimpuh di kaki ayahnya Yuni. Ia semakin menjadi-jasi bahkan ingin menendangku. Aku hanya mendengar teriakan dari ibunya Yuni dan orang tua Riska.
"Cukup! Anda benar-benar kelewatan." Ucap Margaret.
"Kelewatan? Gue tau anak betul anak gue kek apa!" Ucap ayahnya Yuni.
"Guys, ayo kita cabut. Lagian lu ngapain sih Fer, ngemis-ngemis minta maaf sama orang yang gak tau akar permasalahannya. Ucap Margaret dan menarik tanganku.
Aku berdiri dan menundukkan kepalaku di hadapan orang tua Riska dan Yuni. Aku berjalan diringin teman-temanku. Aku terus berjalan perlahan dan keluar dari rumah sakit. Aku memeluk Margaret saat berada di luar. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika Margaret tidak membantuku untuk pergi dari ayahnya Yuni. Mungkin aku sudah babak belur. Kami berlima berkumpul di luar rumah sakit kemudian pulang kerumah masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Multitalenta
Teen FictionDISCLAIMER!!! NOVEL INI PENUH DENGAN ADEGAN 18+ KEKERASAN, KATA-KATA KASAR, PEMBULIAN, BUNUH DIRI DAN KEHIDUPAN SEKS SERTA PENYAKIT SEKSUAL. "Di balik otak yang cerdas, terdapat jiwa yang kotor." Bagitulah isi novel Sang Multitalenta : Tahun pertama...