FERDIAN X DIMAS

4 1 0
                                    

Hari ini, aku telah berangkat dari Jakarta ke Surabaya menggunakan pesawat terbang. Aku menuju Bandara Soekarno Hatta bersama bundo selepas sholat zuhur, tak lupa aku berpamitan dengan omaku sekaligus meminta dukungan dan doa agar mendapat juara lagi. Ini sudah ke-12 kalinya aku pergi ke Surabaya dengan berbagai macam perlombaan dan seminar. Beberapa di antaranya ada lomba debat bahasa Indonesia tingkat SMP, cerdas cermat tingkat SD dan SMP, OSN Matermatika tingkat SMP, O2SN Renang tingkat SMP, FLS2N menyanyi tingkat SMP, dan kegiatan seminar nasional lainnya yang mengundang siswa dan siswi berprestasi dari setiap provinsi.

Aku tak sadarkan diri sudah berada di dalam pesawat karena sepanjang perjalanan aku terus melamun memikirkan masalah teman-temanku yang belum terpecahkan. Aku harus menyelesaikan masalah tersebut sebelum semester kedua. Aku masih ada sisa waktu sekitar dua bulan lagi untuk melaksanakan Ujian Akhir Semester ganjil pertamaku di SMA.

Untuk pakaianku hari ini, aku mengenakan hoodie berwarna putih, celana krem, dan sepatu berwarna biru muda. Aku juga membawa koper kecilku berwarna hijau dengan ukuran 16 inci atau sekitar 32x17x47cm. Koper tersebut sering kubawa untuk acara perlombaan di luar kota jika hanya 1-2 hari saja. Untuk bundo sendiri, ia selalu tampil penuh warna dan mewah dengan aksesorisnya. Aku melihat cincin bundo terbuat dari batu emerald asli yang sangat mahal. Tak hanya itu, ia juga tampil flawless dari atas sampai bawah. Banyak orang-orang yang melihat pakaian bundo seperti model padahal usianya sudah hampir pensiun. Bundo membawa koper berwarna hijau sesuai dengan pakaiannya hari ini.

Saat, aku sedang memandang langit dari jendela pesawat, bundo memegang tanganku karena sebentar lagi kami akan sampai. Awalnya aku ingin mengajak Margaret, aku rela membelikannya tiket nonton dan membiayai fasilitas hotel karena aku masih memegang uang hasil lombaku di DKI senilai 10 juta rupiah. Namun, bundo tidak mengizinkan karena jadwal lomba ditunda satu hari menjadi hari Senin yang bentrok dengan pembelajaran di sekolah. Bundo memberitahuku bahwa tiket keberangkatan dari beberapa kota ada yang belum mengonfirmasi sehingga hilang miss komunikasi antara panitia dan peserta.

Tak lama kemudian kami berdua sampai di bandar Udara Internasional Juanda. Aku melihat jam, sudah menunjukkan pukul 15.14 sore. Di bandara sudah banyak peserta yang datang, seperti biasa aku selalu berkenalan singkat dengan peserta yang lain dari berbagai provinsi. Rata-rata pakaian mereka sangat sopan sekali, tidak seperti di Jakarta banyak yang terbuka karena mengikuti fashion di era modern. Kami semua di pandu untuk membawa koper masing-masing ke dalam bis yang sudah menunggu di luar. Aku berswafoto bersama bundo dan mengirim foto tersebut ke Margaret, ia membaca pesanku kemudian memanggil video melalui Whatsapp.

"Akhirnya nyampe juga kalian berdua, hai bundo sayang." Sapa Margaret melalu telepon.

"Halo, Margaret." Balas bundo.

"Nih, Fer. Gua sama anak-anak lagi dekorasi sekolah lanjutin yang kemarin." Ucap Margaret.

Aku melihat bentuk mural dan dekorasi sekolah yang mengingatkanku pada sebuah game Playstasion 2 bernama Bully, di game tersebut juga terdapat misi tentang malam halloween. Aku berharap malam halloween disekolahku sangat luar biasa. Setelah menelpon dengan Margaret, aku segera naik ke bis dan menuju hotel yang katanya bintang lima. Saat aku masuk ke dalam bis, aku menyaksikan kemewahan bis untuk ke sekian kalinya. Bis yang kunaiki selalu tampak mahal, bersih dan wangi. Kursi-kursi berwarna coklat susu dan ada pengharum ruangan rasa lemon. Saat aku duduk, kursinya begitu empuk dan membuat punggungku nyaman. Bis tersebut hanya bisa menampung dua puluh orang karena bagasi sudah kepenuhan dengan koper sehingga sisa koper di masukkan ke dalam bis sama dengan bis satunya. Namun, bisa tersebut berwarna biru, sedangkan bis yang ku tempati berwarna hitam.

Sepanjang bis berjalan, kami semua saling berkenalan dan hampir semua peserta berbicara dengan intonasi yang turun naik, artikulasi yang jelas, bahasa yang sopan dan baku. Hal ini sangat menggambarkan perbedaan orang yang mencintai sebuah seni dan bahasa dengan orang yang tidak mencintai kedua hal tersebut. Ada beberapa kesalahan yang kuucapkan seperti workshop salah seorang memberitahuku bahwa dalam bahasa Indonesia workhsop adalah lokakarya. Namun, ada salah satu peserta yang menarik perhatianku, ia duduk di depanku. Ia mengenakan hoodeie berwarna hitam dan menutupi wajahnya dengan kupluknya. Aku tidak tahu apakah ia peserta atau pembina.

Di sela pembicaraan kami yang asik dan santai. Akhirnya, kami sampai di hotel mewah dan sangat berkelas. Aku turun dari bis dan mengambil koperku dari bagasi. Saat aku sedang membawanya ke dalam, semua koper pembina dan peserta di bawakan oleh porter atau salah satu jenis pekerjaan di perhotelan yang membawa barang-barang tamu. Aku mengambil kamar atas namaku di resepsionis. Namun, ia bilang aku tidak sendirian melainkan bersama peserta yang lain. Ia bernama Dimas, aku berpamitan dengan bundo dan menuju lantai dua belas. Aku dan Dimas belum berkenalan namun aku masih ingat tampangnya yang paling menyorot perhatianku saat di bis. Sebagai mantan pecandu aku bisa melihat dari wajahnya, ia seperti pemula yang baru saja memakai narkoba. Aku bisa melihat dari pupilnya yang membesar.

"Lu abis nyabu?" Tanyaku menyenggol bahunya saat di lift.

"Jangan bilang-bilang lu, kalo mau gua kasih nih." Ucap Dimas panik.

"Gua gak bakal laporin, asal lu main aman karena lu satu kamar bareng gua." Ucapku kemudian mememojokkannya.

Untung saja di dalam lift hanya kami berdua, jadi aku bisa mengancam Dimas jika suatu saat nanti ia ketahuan. Aku dan Dimas sampai di lantai 12 dengan nomor kamar 212. Aku menempelkan kartu hotel kemudian membuka pintu. Saat di dalam, aku mengambil tempat tidur di sebelah kiri dekat jendela, sedangkan Dimas di sebelah kanan. Aku meletakkan koper di samping lemari berwarna hitam dekat pintu. Jam di tanganku menunjukkan pukul 18. 25. Aku memerhatikan seisi hotel yang memang cukup berkelas dan mahal. Ada sebuah lukisan absrak dan pemandangan dari jendel cukup indah dengan warna lampu yang menyala. Di samping itu, ada sebuah TV yang lumayan besar sekitar 55 inci, AC, dan dua ranjang kasur yang bersih dan wangi. Saat aku sedang tidur santai di kasur, aku bertanya kepada Dimas.

"Lu sejak kapan pake tuh barang?" Tanyaku sopan.

"Sejak tadi." Ucapnya yang nyeleneh.

"Hahaha, lucu juga lu ya." Ucapku kemudian beranjak ke kamar mandi.

"Lagian juga lu ngapain nanya gua? Reporter lu? Atau lu mau? Ohh jangan-jangan lu mantan pecandu ya?" Tanyanya yang kemudian tertawa.

Saat Dimas mengatakan itu, aku sulit mengontrol pikiranku kemudian niatku untuk ke kamar mandi harus terhenti. Aku membalikkan badanku lalu menghampiri Dimas kemudian memukul wajahnya dengan pukulan ringan.

"Denger baik-baik, kalo sampe lu ketahuan, jangan seret nama gua. Ngerti lu? Anjing!" Bentakku, kemudian merampas kerahnya, lalu mendorongnya ke kasur.

Aku meninggalkan Dimas sendirian dan mengambil koperku. Aku pergi ke tempat resepsionis untuk memesan kamar hotel yang baru. Aku membayar menggunakan debit dengan harga 1,2 juta per malam. Aku naik ke lantai 13 dengan nomor kamar 231. Saat di dalam, aku segera beristirahat, melupakan kejadian hari ini dan memikirkan hari esok.

Sang MultitalentaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang