Aku hanya pasrah setelah mendengar ucapan Margaret yang ceplas-ceplos kepada Michelle. Walau sebenarnya aku menyukai Michelle karena aku sudah tahu sifat busuknya, aku masa bodo dengan semua omongannya yang sombong dan menjijikan itu. Aku mengenakan tas selempang berwarna coklat, bermerek Eiger yang merupakan brand asal Indonesia. Aku mendapatkan tas ini dari kado Margaret yang ke-15. Namun, aku baru menggunakan tas ini sekarang. Margaret mengenakan tas punggung berwarna biru polos bermerk Adidas yang merupakan hadiah dariku karena ia memenangkan lomba Karate saat SMP kelas sembilan. Andin dan Regita mengenakan tas bermerek Gucci dan Christian Dior. Miya mengenakan tas berwarna cheerfull karena dia lebih ke arah pendiam dan agak ke kanak-kanakan. Regina mengenakan tas punggung polos berwarna pink. Devi memakai tas kecil berwarna hitam polos. Bimo memakai tas punggung berwarna coklat, merek Jansport dan Betty memakai tas selempang samping, bergambar matahari yang menandakan dia anak indie atau lebih tepatnya anak-anak santai yang menyukai sunset atau sunrise. Kami berjalan bersama menuju ke gerbang sekolah. Betty dan Irfan menyelesaikan masalah mereka di dekat podium bersamaan dengan Sahrul dan Alvaro.
"Fer, maaf ya soal tadi gua agak kesal aja sama si Michelle. Anyways, kita bakal malu-maluin Michelle pas Hari Kamis nanti, gua gak mau senioritas merajalela apalagi antek-antek OSIS yang sok iya itu pada bikin onar." Ucap Margaret.
"Iya Margaret, gua selalu mendukung lu apapun bentuknya." Ucapku tertawa.
Andin dan Regita pulang bersama, mereka berdua dijemput oleh papinya Andin yang katanya orang kaya. Margaret dan Bimo menuju parkiran sekolah.
"Miya, Regina, Devi, kalian bertiga naik apa?" Tanyaku.
"Di jemput mami gua, Fer." Ucap Miya pelan.
"Gua naik ojol, Fer." Ucap Regina.
"Gue nebeng sama Bimo, Fer soalnya rumah gua sama dia searah." Ucap Devi.
Ketika yang lain sudah memiliki tujuan masing-masing, sekarang giliranku yang sedang termangu menunggu jemputan mobil.
"Fer, mau bareng gak?" Tanya Margaret.
"Gak, Mar, makasih gua mau nyoba naik angkot aja." Ucapku sambil nyengir.
"Ok deh, take care ya, Fer." Sahutnya.
"You too." Balasku.
Sebenarnya aku ingin pulang bersama Margaret. Namun, terlintas dipikiranku, aku harus belajar mandiri tanpa harus di antar jemput oleh Pak Asep ataupun meminta bantuan orang lain. Aku berjalan keluar dari gerbang lalu belok ke kanan ke arah jalan besar. Aku berjalan kaki dengan perasaan tenang, di tambah cuaca panas, untung saja jalan yang ku lewati ini bersih dan asri. Pepohonan dan tumbuhan mengelilingi pinggiran jalan. Aku terus berjalan kaki dengan perlahan-lahan, saat aku hampir sampai di depan jalan, aku bertemu dua murid baru yang sepertinya orang Betawi yang melawan Michelle. Saat aku ingin memanggilnya, salah satu dari mereka menengokku. Aku melambaikan tangan dan mereka membalas lambaian tanganku. Aku berlari dan segera ingin mengobrol. Namun, mereka yang langsung memulai percakapan.
"Woy Bule, lu pasti dari Inggris kan." Tebak Riska sembarangan.
"No, gua keturunan Amerika-Indo." Balasku dengan senyuman.
"Ohh, kasian amat lu, kemeja lu sampe dekil begitu. Mana tadi berantem lagi sama preman sekolahan." Ucap Riska.
"Preman? Rizal maksud lu?" Tanyaku.
"Ya iye, dia itu preman di daerah gua. Emang bukan anak daerah gua sebenarnye. Anak orang kaya die mah, orang tuanya aje pengusaha sukses, ya tapi sayang, mungkin akibat kurang perhatian kali ye dari enyak sama babehnya. Dia nyari perhatian sama temen sekolahnya di wilayah gua." Ungkap Riska.
Aku menghela napas panjang yang berarti Rizal adalah seorang preman sekolah. Wajar saja dia bisa sekolah di sana tanpa prestasi apapun. Namun, uangnya yang bekerja bukan otaknya.
"Bule, kenalin nama gua Riska, ini Yuni temen sepermainan gua. Dari TK maunya main ama gua mulu, lengket bener udah kek lem China." Ucap Riska sambil ngelawak.
"Gua Ferdian." Sapaku sambil berjabat tangan.
Aku, Riska dan Yuni sekarang menjadi teman. Aku yang pertama kali naik angkot agak sedikit ragu. Angkot yang kunaiki ini berwarna merah dengan nomor kendaraan yaitu 01 yang berada di kaca mobil. Aku sempat bertanya-tanya tarif ongkos angkot, aku mengecek di google ternyata untuk anak sekolah sekitar 2000-3000 rupiah. Aku berpikir sejenak ternyata naik angkot itu sangat murah. Aku pikir 10.000 atau 20.000 rupiah per sekali jalan.
"Pokoknya abis pulang dari angkot, gua mau nonton drakor yang banyak-banyak biar pas besok PBB gua malah seneng bukan gila." Ucap Riska gembira.
"Awas lu gumoh nanti." Ledek Yuni.
"Syalan, hahaha." Ucap Riska tertawa.
Saat kami hendak asik mengobrol soal PBB besok. Aku memperhatikan gang dimana aku akan berhenti, tak lama kemudian aku melihat gang di sebelah kiriku.
"Stop." Teriakku di angkot dalam keadaan sempit dan sesak.
"Dih kenapa lu, Fer? Kesurupan?" Tanya Yuni.
"Ini gang rumah gua." Ucapku.
"Lah lu kenape teriak-teriak bilang aje kiri bang. Kek kaga pernah naik angkot aje lu. Eh buset jangan-jangan ini pertama kali lu naik angkot lagi, ya kan?" Tanya Riska.
"Iye, pertama kali nih." Ucapku mengikuti logat Betawinya Riska.
"Hahaha, bule lu jangan ngadi-ngadi ye." Teriak Riska.
Setelah aku membayar ongkos kepada supir angkot, aku berpamitan dengan Riska dan Yuni. Aku masuk ke ganganku dengan berjalan kaki, tak berselang lama aku berjalan dari dua blok, aku sampai di rumah. Di dalam rumah, aku melihat sepupu-sepupuku datang yang membuatku tersenyum tipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Multitalenta
Teen FictionDISCLAIMER!!! NOVEL INI PENUH DENGAN ADEGAN 18+ KEKERASAN, KATA-KATA KASAR, PEMBULIAN, BUNUH DIRI DAN KEHIDUPAN SEKS SERTA PENYAKIT SEKSUAL. "Di balik otak yang cerdas, terdapat jiwa yang kotor." Bagitulah isi novel Sang Multitalenta : Tahun pertama...